"Bersakit-Sakit Dahulu, Bersenang-Senang Kemudian" Bahagianya Kapan?
Ungkapan ini mengandung asumsi bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang hadir nanti, setelah segala jerih payah dan penderitaan usai. Seolah-olah proses berjuang dan kebahagiaan adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa berjalan beriringan.
Menunda Bahagia: Warisan Pepatah Lama
INTIinspira - Kita sering mendengar ungkapan “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Ungkapan ini seakan memberikan arah bagi seseorang dalam menjalani hidupnya. Berjuang dulu, bahagia kemudian. Bersusah-susah dahulu, nanti hasilnya akan membahagiakan.Ungkapan itu sudah sangat mengakar di masyarakat Indonesia, sering digunakan untuk memotivasi diri agar tidak mudah menyerah saat mengalami kesulitan. Orang tua pun juga sering menasehati anaknya dengan ungkapan tersebut.
Namun, jika direfleksikan lebih jauh, ungkapan ini mengandung asumsi bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang hadir nanti, setelah segala jerih payah dan penderitaan usai. Seolah-olah proses berjuang dan kebahagiaan adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa berjalan beriringan.
Pandangan ini juga sangat mungkin menjerumuskan seseorang pada hidup yang terus-menerus menunggu waktu untuk bahagia. Ia akan terus mengejar hasil, menargetkan masa depan, namun lupa menikmati langkah demi langkah yang ia tapaki hari ini.
Akibatnya, hidup bisa terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir. Ketika satu tujuan tercapai, muncul lagi tujuan baru. Ketika satu kesulitan terlewati, datang tantangan lain. Maka, kapan sebenarnya waktu untuk bahagia itu?
Selain itu, pepatah ini juga bisa menjadi alat pembenaran atas penderitaan yang tidak perlu. Dalam beberapa konteks, seseorang bisa saja terus-menerus bertahan dalam kondisi tidak manusiawi – dalam pekerjaan, pendidikan, atau relasi – dengan keyakinan bahwa “ini semua demi kebahagiaan nanti.” Padahal tidak semua penderitaan adalah jalan menuju kebahagiaan. Tidak semua rasa sakit layak diasuh atas nama masa depan yang belum tentu lebih baik.
Contoh aktualnya bisa dilihat dalam budaya kerja berlebihan (overworking) di banyak perusahaan startup. Banyak karyawan merasa harus terus lembur, bekerja di luar jam kerja normal, bahkan mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan mental demi "janji" kesuksesan di masa depan—entah berupa promosi, bonus, atau sekadar pengakuan sebagai "pekerja keras."
Dalam beberapa kasus, mereka bertahan dalam tekanan tinggi dan jam kerja tak manusiawi karena meyakini bahwa semua itu akan sepadan kelak. Padahal, banyak dari mereka justru mengalami burnout, depresi, atau bahkan mundur tanpa pernah benar-benar merasakan kebahagiaan yang dijanjikan.
Atau contoh lain yang bisa kita lihat dalam kehidupan banyak mahasiswa hari ini. Tidak sedikit yang memaksakan diri mengambil terlalu banyak tanggung jawab—ikut organisasi ini, panitia itu, kerja paruh waktu, bahkan skripsi pun dikejar dalam tekanan—semata-mata karena takut kalah saing dan percaya bahwa semua “kesibukan” itu adalah jalan menuju masa depan cerah.
Padahal, banyak dari mereka akhirnya kelelahan secara fisik dan mental. Beberapa mengalami gangguan kesehatan, krisis identitas, atau kehilangan arah karena selama ini hidup hanya berfokus pada pencapaian, bukan pada proses tumbuh yang sehat dan sadar. Mereka menunda kebahagiaan hari ini demi "masa depan", yang ironisnya malah jadi kabur karena beban hari ini tak tertangani.
Ungkapan “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” juga memiliki kemiripan dengan cara orang bermain gim. Dalam gim, kita sering kali terobsesi untuk menyelesaikan misi, naik level, atau mencapai “ending”. Kita bertahan dengan tantangan yang sulit karena percaya bahwa kepuasan sejati akan datang begitu misi final selesai.
Namun, sebagai seseorang yang juga suka bermain gim, aku menemukan bahwa kenyataannya tidak selalu demikian. Justru ketika gim berakhir, yang muncul bukan rasa bahagia, melainkan kehampaan—atau lebih sering, rasa bosan. Setelah tamat, tidak ada lagi tantangan. Dan tiba-tiba saja, gim yang dulu begitu menggairahkan, kini terasa tak sesuai dengan harapan.
Ini menunjukkan bahwa kesenangan sejati dalam bermain gim justru sering hadir dalam prosesnya: ketika gagal, coba lagi, menemukan teknik baru, atau tertawa karena kejadian lucu yang tak disengaja. Begitu pula hidup. Jika kita hanya berfokus pada "nanti", pada "tepian", maka kita kehilangan kesempatan untuk mengalami kebahagiaan yang muncul secara spontan dalam perjalanan itu sendiri.
Bahagia dalam Proses, Bukan di Ujung Jalan
Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknai perjuangan dan kebahagiaan?Menurutku, kita tidak perlu terus-menerus berfokus pada “nanti”—pada janji kebahagiaan yang mungkin menunggu di ujung sana. Sebab, bisa jadi “ujung” itu hanya ilusi yang terus bergeser. Tidak ada titik pasti di mana kita akan merasa “selesai” dan “bahagia seutuhnya”.
Maka, yang justru perlu ditekankan adalah bagaimana kita menjalani proses itu sendiri. Bagaimana kita hadir utuh dalam setiap langkah, setiap usaha, dan setiap detik dari kehidupan kita yang sedang berjalan di detik ini.
Kita perlu belajar menciptakan kebahagiaan di dalam proses itu, bukan di luar atau setelahnya. Dengan begitu, perjuangan dan kebahagiaan tidak lagi menjadi dua hal yang terpisah—bukan lagi “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”—melainkan menyatu dalam satu tarikan napas. Usaha itu sendirilah yang menjadi sumber kebahagiaan. Bukan karena kita berharap imbalannya, tetapi karena kita menghayati dan menemukan makna di dalamnya.
Seperti dalam gim yang kita nikmati bukan karena tamatnya, tetapi karena petualangannya; hidup pun menjadi berharga bukan karena hasil akhirnya, tapi karena setiap detik yang kita jalani dengan sepenuh hati. Dan, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya: bukan tentang hasil yang akan datang nanti, tapi buah dari kesadaran kita akan hadirnya hidup dan berproses di saat ini.
Hidup, Sisyphus, dan Budaya Kerja Ekstrem
pemikiran Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus terasa sangat relevan. Camus menggambarkan sosok Sisyphus yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali berulang kali—sebuah metafora tentang absurditas hidup manusia. Namun, alih-alih putus asa, Camus menyatakan bahwa "one must imagine Sisyphus happy." Artinya, kebahagiaan tidak terletak pada keberhasilan mencapai puncak, tetapi pada kesadaran dan keberanian Sisyphus dalam menjalani prosesnya.Begitu pula dengan hidup kita. Kebahagiaan tidak harus menunggu sampai “misi selesai” atau semua impian tercapai. Ia bisa hadir dalam usaha yang dijalani dengan kesadaran, dalam langkah-langkah yang mungkin berat, tetapi tetap dijalani.
Gagasan ini juga menjadi semakin penting untuk direfleksikan di tengah arus hustle culture yang marak di media sosial. Kita disuguhi berbagai konten motivasi yang mendorong orang untuk bekerja tanpa henti, tidur sedikit, produktif setiap waktu, dan menahan lelah dengan keyakinan bahwa “nanti akan terbayar”. Narasi seperti “kerja keras dulu, nanti pensiun muda” atau “tidur itu untuk orang gagal” menjadi semacam mantra baru yang terus diulang-ulang.
Padahal, cara pandang semacam itu sering kali membuat seseorang terjebak dalam siklus hidup yang tidak manusiawi—terus bekerja demi impian yang belum tentu datang, dan menunda kebahagiaan seolah ia adalah hadiah yang hanya pantas diterima setelah pengorbanan maksimal. Ini selaras dengan kritik terhadap pepatah tadi: hidup dikerdilkan menjadi deretan target, dan kebahagiaan dikurung dalam masa depan yang belum tentu bisa diraih.
Ironisnya, banyak dari mereka yang mempromosikan gaya hidup “kerja terus demi sukses” justru memperlihatkan tanda-tanda kelelahan emosional, kehilangan makna, dan kejenuhan yang mendalam. Layaknya pemain gim yang menamatkan semua level tapi merasa hampa di akhir permainan, hidup yang digerakkan oleh hustle culture sering berakhir bukan dengan kebahagiaan, melainkan dengan kelelahan yang tidak sempat dinikmati.
Sebagai penutup, yang penting disadari adalah hidup tidak harus selalu berakit-rakit ke hulu. Kadang kita bisa menikmati aliran sungai sambil berlayar perlahan.[]
Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Sunset, Boat, River image/Pixabay