Lada dan Wasiat dari Masa Silam: Elegi Semangat Aceh dari The Aceh Code hingga Tanah Pantai Barat
INTIinspira - Pada suatu Ahad, 12 Rabi’ul Awwal 913 Hijriah, bertepatan dengan Minggu 23 Juli 1507 Masehi, Sultan Ali Mughayat Syah mengesahkan sebuah piagam agung yang kelak dikenal sebagai The Aceh Code. Di dalamnya termaktub amanat luhur yang menggema lintas abad: “Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yaitu bertani utama lada dan barang-barang tani lainnya.”
Piagam itu bukan hukum semata, melainkan semangat kolektif sebuah bangsa yang pernah mencengkeram dunia dengan harum lada yang menyebar dari Lamno hingga Lisabon.
Dalam buku Asal Mula Konflik Aceh, sejarawan besar Anthony Reid mencatat “Bahkan setelah sepuluh tahun perang dengan Belanda, pantai barat Aceh masih menyuplai separuh kebutuhan lada dunia.” Catatan yang menggugah dan berpengaruh ini menunjukkan kedahsyatan akar agraria dan perlawanan Aceh.
Namun, kolonialisme tak pernah datang dengan pengertian. Ketika Belanda menyesal telah terlambat menguasai pantai barat, rakyat Aceh telah lebih dulu membuat keputusan untuk menghancurkan kebun lada mereka sendiri. “Lebih baik lada binasa oleh tangan sendiri, daripada menghidupi penjajah dengan hasil bumi yang dirahmati.” Begitulah kira-kira keputusan yang diambil oleh rakyat saat itu.
Hari ini, dunia kehilangan seorang penjaga ingatan sejarah, dia adalah Anthony Reid, yang kini telah berpulang. Saya bersaksi atas kehilangan ini dengan duka yang dalam. Ia tidak hanya menulis sejarah, tetapi juga menyalakan api kesadaran akan jati diri kita—bangsa yang berani melawan, bahkan dengan membakar kemakmurannya sendiri demi martabat.
Saya teringat pada suatu malam di bulan November 2017. Di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, saya bertemu terakhir kali dengan Tun Sri Sanusi Juned (Tgk Chiƫk Sanusi). Dalam perbincangan panjang, saya melaporkan padanya perkembangan Perkumpulan Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT). Beliau menyambut penuh antusias. Saya katakan juga bahwa saya telah menetap di Lamno, tanah yang tenang namun sarat kisah.
Dalam obrolan itu, beliau memandang jauh ke luar jendela, lalu berujar:
“Jangan tanam sawit. Kembalilah ke lada. Kita pernah berjaya dengannya, dengan sawit kita belum tentu.”
Itu bukan saran biasa, melainkan wasiat yang telah mendaging dalam sejarah dan darah. Ia mengingatkan saya pada lima semangat The Aceh Code: Berani. Disiplin. Rajin. Amanah. Setia.
Nilai-nilai itu berdiri sejajar dengan semangat para Samurai di Jepang, para Hwarang di Korea, atau bahkan kepribadian luhur Rasulullah SAW: Shiddiq, Tabligh, Amanah, Fathanah.
Sejak saat itu, semangat lada menyala kembali dalam dada saya. Saya mulai mengkampanyekan manfaat dan kebanggaan menanam lada. Suatu hari saya pulang ke Bireuen, ke tanah Peusangan, demi mencari bibit lada unggul.
Seorang sahabat yang saya kenal melalui media sosial membantu saya mendapatkan 20 bibit. Bibit-bibit itu saya bawa pulang ke Lamno, sebagian saya tanam di kebun kecil saya, sebagian lagi saya hadiahkan kepada kerabat.
Hari ini, beberapa ruas bibit dari kebun itu di bawa menuju Meulaboh. Saya serahkan kepada sahabat saya, Imam Mufakkir, agar ditanam di tanah Aceh Barat.
Semoga semangat lama yang tersimpan dalam lada kembali tumbuh—menghijau dan mengharumkan pantai barat seperti dahulu kala.
Semoga wasiat itu menjadi nyata. Semoga lada, menjadi jalan pulang kita kepada kejayaan yang berakar, bukan yang sementara. “Karena sejarah bukan untuk dikenang saja, tapi untuk ditanam kembali.”[]
Penulis: Muhammad Amin, S.H. (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Piagam itu bukan hukum semata, melainkan semangat kolektif sebuah bangsa yang pernah mencengkeram dunia dengan harum lada yang menyebar dari Lamno hingga Lisabon.
Dalam buku Asal Mula Konflik Aceh, sejarawan besar Anthony Reid mencatat “Bahkan setelah sepuluh tahun perang dengan Belanda, pantai barat Aceh masih menyuplai separuh kebutuhan lada dunia.” Catatan yang menggugah dan berpengaruh ini menunjukkan kedahsyatan akar agraria dan perlawanan Aceh.
Namun, kolonialisme tak pernah datang dengan pengertian. Ketika Belanda menyesal telah terlambat menguasai pantai barat, rakyat Aceh telah lebih dulu membuat keputusan untuk menghancurkan kebun lada mereka sendiri. “Lebih baik lada binasa oleh tangan sendiri, daripada menghidupi penjajah dengan hasil bumi yang dirahmati.” Begitulah kira-kira keputusan yang diambil oleh rakyat saat itu.
Hari ini, dunia kehilangan seorang penjaga ingatan sejarah, dia adalah Anthony Reid, yang kini telah berpulang. Saya bersaksi atas kehilangan ini dengan duka yang dalam. Ia tidak hanya menulis sejarah, tetapi juga menyalakan api kesadaran akan jati diri kita—bangsa yang berani melawan, bahkan dengan membakar kemakmurannya sendiri demi martabat.
Saya teringat pada suatu malam di bulan November 2017. Di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, saya bertemu terakhir kali dengan Tun Sri Sanusi Juned (Tgk Chiƫk Sanusi). Dalam perbincangan panjang, saya melaporkan padanya perkembangan Perkumpulan Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT). Beliau menyambut penuh antusias. Saya katakan juga bahwa saya telah menetap di Lamno, tanah yang tenang namun sarat kisah.
Dalam obrolan itu, beliau memandang jauh ke luar jendela, lalu berujar:
“Jangan tanam sawit. Kembalilah ke lada. Kita pernah berjaya dengannya, dengan sawit kita belum tentu.”
Itu bukan saran biasa, melainkan wasiat yang telah mendaging dalam sejarah dan darah. Ia mengingatkan saya pada lima semangat The Aceh Code: Berani. Disiplin. Rajin. Amanah. Setia.
Nilai-nilai itu berdiri sejajar dengan semangat para Samurai di Jepang, para Hwarang di Korea, atau bahkan kepribadian luhur Rasulullah SAW: Shiddiq, Tabligh, Amanah, Fathanah.
Sejak saat itu, semangat lada menyala kembali dalam dada saya. Saya mulai mengkampanyekan manfaat dan kebanggaan menanam lada. Suatu hari saya pulang ke Bireuen, ke tanah Peusangan, demi mencari bibit lada unggul.
Seorang sahabat yang saya kenal melalui media sosial membantu saya mendapatkan 20 bibit. Bibit-bibit itu saya bawa pulang ke Lamno, sebagian saya tanam di kebun kecil saya, sebagian lagi saya hadiahkan kepada kerabat.
Hari ini, beberapa ruas bibit dari kebun itu di bawa menuju Meulaboh. Saya serahkan kepada sahabat saya, Imam Mufakkir, agar ditanam di tanah Aceh Barat.
Semoga semangat lama yang tersimpan dalam lada kembali tumbuh—menghijau dan mengharumkan pantai barat seperti dahulu kala.
Semoga wasiat itu menjadi nyata. Semoga lada, menjadi jalan pulang kita kepada kejayaan yang berakar, bukan yang sementara. “Karena sejarah bukan untuk dikenang saja, tapi untuk ditanam kembali.”[]
Penulis: Muhammad Amin, S.H. (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Foto: dokumen pribadi