Belajar itu Membosankan: Saat Belajar Bukan Lagi Milik Siswa
INTIinspira - Di ruang kelas, banyak siswa hanya hadir sebagai tubuh. Batinnya, tak sepenuhnya terlibat. Mereka duduk rapi. Mendengar dan mencatat, tapi itu hanya menjadi rutinitas kosong yang wajib mereka jalani. Bukan karena adanya api semangat dalam diri.
Banyak dari siswa menganggap bahwa belajar itu membosankan. Kering, dan ingin cepat-cepat keluar kelas. Pertanyaannya, mengapa kegiatan yang seharusnya menyenangkan dan membebaskan ini, justru terasa seperti beban yang melelahkan?
Apa yang menyebabkan ini? Apakah karena materi yang sulit dipahami, atau metode pembelajaran yang penuh dengan repetisi. Atau ada persoalan lain yang lebih mendalam, yaitu hilangnya rasa memiliki dalam proses belajar itu sendiri?
Tulisan ini mencoba untuk mencari jawab bagi persoalan hilangnya rasa memiliki dalam proses belajar. Siswa sering kali tidak merasa bahwa apa yang mereka pelajari adalah bagian dari denyut nadi perjalanan hidupnya. Bagi mereka, proses ini hanyalah kewajiban, memenuhi harapan orang lain, dan untuk mengejar nilai. Belajar dijalani bukan karena merasa itu penting bagi pertumbuhan dirinya.
Mencoba memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan teori Self-Determination Theory (selanjutnya ditulis SDT) yang dikembangkan oleh Edward Deci dan Richard Ryan. Teori ini menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar yang jika itu terpenuhi, maka akan mendorong motivasi internal dan keterlibatan aktif, yaitu: autonomy, competence, dan relatedness.
Akibatnya, siswa belajar bukan karena mereka merasa tertarik atau penasaran, tetapi karena disuruh. Mereka tidak diberi kesempatan untuk bertanya, memilih pendekatan belajar, atau mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Inilah yang membuat mereka merasa belajar adalah aktivitas yang jauh dari dirinya—ia hadir di kelas, tapi tidak merasa terlibat secara emosional.
Ketika siswa tidak merasa dirinya mampu, motivasinya akan menurun. Ia akan menghindari tantangan, merasa putus asa, dan semakin menjauh dari proses belajar. Padahal, rasa mampu bisa tumbuh jika guru memberikan dukungan yang sesuai, memberi umpan balik yang membangun, dan merancang pembelajaran yang mendorong keberhasilan bertahap.
Padahal, rasa keterhubungan ini sangat penting agar siswa merasa nyaman, dihargai, dan dilibatkan. Ketika siswa merasa menjadi bagian dari komunitas belajar yang suportif, motivasi mereka akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka tidak lagi belajar karena terpaksa, tetapi karena merasa dihargai dan dibutuhkan.
Banyak dari siswa menganggap bahwa belajar itu membosankan. Kering, dan ingin cepat-cepat keluar kelas. Pertanyaannya, mengapa kegiatan yang seharusnya menyenangkan dan membebaskan ini, justru terasa seperti beban yang melelahkan?
Apa yang menyebabkan ini? Apakah karena materi yang sulit dipahami, atau metode pembelajaran yang penuh dengan repetisi. Atau ada persoalan lain yang lebih mendalam, yaitu hilangnya rasa memiliki dalam proses belajar itu sendiri?
Tulisan ini mencoba untuk mencari jawab bagi persoalan hilangnya rasa memiliki dalam proses belajar. Siswa sering kali tidak merasa bahwa apa yang mereka pelajari adalah bagian dari denyut nadi perjalanan hidupnya. Bagi mereka, proses ini hanyalah kewajiban, memenuhi harapan orang lain, dan untuk mengejar nilai. Belajar dijalani bukan karena merasa itu penting bagi pertumbuhan dirinya.
Mencoba memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan teori Self-Determination Theory (selanjutnya ditulis SDT) yang dikembangkan oleh Edward Deci dan Richard Ryan. Teori ini menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar yang jika itu terpenuhi, maka akan mendorong motivasi internal dan keterlibatan aktif, yaitu: autonomy, competence, dan relatedness.
Kurangnya Autonomy: Belajar Karena Diperintah
Autonomy atau kebutuhan akan kebebasan memilih adalah elemen penting dalam SDT. Dalam konteks pendidikan, autonomy bukan berarti membiarkan siswa bebas sepenuhnya, melainkan memberi ruang bagi mereka untuk merasa memiliki kendali atas apa dan bagaimana mereka belajar. Sayangnya, sistem pendidikan kita sering kali bersifat sangat sentralistik. Kurikulum ditentukan dari atas, metode diajarkan seragam, dan ruang untuk eksplorasi pribadi nyaris tidak ada.Akibatnya, siswa belajar bukan karena mereka merasa tertarik atau penasaran, tetapi karena disuruh. Mereka tidak diberi kesempatan untuk bertanya, memilih pendekatan belajar, atau mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Inilah yang membuat mereka merasa belajar adalah aktivitas yang jauh dari dirinya—ia hadir di kelas, tapi tidak merasa terlibat secara emosional.
Kompetensi yang Tak Tumbuh
Kebutuhan kedua dalam SDT adalah competence, yaitu perasaan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu dengan baik. Banyak siswa yang sebenarnya memiliki potensi besar, namun tidak mendapatkan penguatan yang cukup karena ukuran keberhasilan di sekolah hanya dilihat dari nilai ujian. Mereka yang lambat memahami pelajaran sering diberi label negatif, sehingga rasa percaya dirinya merosot.Ketika siswa tidak merasa dirinya mampu, motivasinya akan menurun. Ia akan menghindari tantangan, merasa putus asa, dan semakin menjauh dari proses belajar. Padahal, rasa mampu bisa tumbuh jika guru memberikan dukungan yang sesuai, memberi umpan balik yang membangun, dan merancang pembelajaran yang mendorong keberhasilan bertahap.
Relasi yang Rapuh
Aspek terakhir dalam SDT adalah relatedness, yaitu kebutuhan untuk merasa terhubung dengan orang lain dan dengan lingkungan belajar. Sayangnya, banyak siswa merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan guru, teman, bahkan dengan materi pelajaran itu sendiri. Hubungan antara guru dan siswa cenderung formal dan kaku, sementara pembelajaran terlalu berpusat pada konten, bukan konteks kehidupan siswa.Padahal, rasa keterhubungan ini sangat penting agar siswa merasa nyaman, dihargai, dan dilibatkan. Ketika siswa merasa menjadi bagian dari komunitas belajar yang suportif, motivasi mereka akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka tidak lagi belajar karena terpaksa, tetapi karena merasa dihargai dan dibutuhkan.
Menuju Pendidikan yang Menghidupkan
Belajar menjadi membosankan ketika prosesnya tidak lagi menjadi milik siswa. Mereka merasa asing, terpaksa, bahkan terasing dari kegiatan belajar itu sendiri. Jika kita ingin menciptakan pendidikan yang membebaskan dan bermakna, maka kita harus membangun kembali rasa memiliki itu—dengan memberi ruang untuk autonomy, menguatkan rasa kompetensi, dan membangun hubungan yang hangat serta bermakna.Sekolah bukan hanya tempat menyampaikan pengetahuan, tetapi ruang untuk menumbuhkan manusia. Ketika kebutuhan psikologis siswa terpenuhi, maka belajar akan menjadi kegiatan yang membangkitkan semangat, bukan sekadar rutinitas yang membosankan.
Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Schoolgirls and Schoolboys in Classroom/Pexels
Penutup
Belajar akan terus terasa membosankan jika siswa tidak dilibatkan secara utuh—baik pikiran, perasaan, maupun keinginannya. Dengan memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan akan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan, kita diingatkan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan membangun pengalaman belajar yang bermakna dan manusiawi. Sudah saatnya ruang sekolah memungkinkan siswa untuk merasa bahwa ini adalah proses belajarku, ini bagian dari diriku.[]Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Schoolgirls and Schoolboys in Classroom/Pexels