Keteladanan: Bahasa Pendidikan yang Paling Dipahami Anak

Keteladanan: Bahasa Pendidikan yang Paling Dipahami Anak
INTIinspira - Suatu sore di sebuah rumah, suara TV menyala lantang. Seorang ibu berkata tegas, “Sana belajar! Besok ada ulangan!” sementara itu, tangannya tak lepas dari ponsel dan matanya tetap tertuju pada layar drama Korea.

Mendengar itu, sang anak yang sedang berada di kamar sebelah, membuka buku sekadarnya. Pensil digenggam, tapi pikirannya melayang. Belajar ini beban, bukan kebutuhan. Si anak merasa disuruh, bukan diajak. Tak ada yang menemani, tak ada yang memotivasi, yang ada hanya perintah tanpa contoh aktualisasi.

Fenomena semacam itu bukan hal baru. Kebanyakan orang tua hanya menjadi sosok pemberi instruksi. Anak disuruh membaca, sementara orang tua justru sibuk dengan hape. Anak disuruh mengurangi tontonan, tapi orang tua justru betah duduk di depan layar. Ketidaksinkronan ini telah menghadirkan kontradiksi yang ternyata membingungkan anak.

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka melihat praktik. Ketika mereka melihat bahwa membaca bukanlah kebiasaan yang dilakukan orang tua, maka membaca pun tidak mereka anggap penting.

Di sinilah letak permasalahannya. Pendidikan di rumah sering kali berubah menjadi kumpulan perintah. Hubungan antara anak dan orang tua menjadi hubungan satu arah: menyuruh dan melaksanakan. Padahal, anak-anak lebih suka diajak daripada disuruh. Kata "diajak" menandakan kebersamaan, sedangkan "disuruh" menunjuk pada relasi kuasa yang bisa memicu penolakan batin.

Tulisan ini ingin merefleksikan bagaimana praktik pendidikan di rumah sering kali kehilangan unsur keteladanan. Banyak orang tua yang berharap anak rajin belajar dan membaca, tetapi tidak menunjukkan sikap dan kebiasaan serupa. Akibatnya, proses pendidikan menjadi timpang—bukan berbasis pada kebersamaan, melainkan sekadar instruksi.

Pembahasan

Secara sepintas, “menyuruh” dan “mengajak” mungkin terlihat serupa—sama-sama mengandung arahan dari orang tua kepada anak. Namun, dari sudut pandang psikologis dan pedagogis, keduanya memiliki dampak yang sangat berbeda dalam proses pembentukan sikap dan kebiasaan belajar anak.

Menyuruh sering kali muncul dalam bentuk perintah sepihak yang tidak disertai alasan atau keterlibatan emosional. Orang tua berkata, “Belajar sana!” atau “Baca bukumu!” tanpa menunjukkan bahwa aktivitas itu juga penting dan menyenangkan. Dari sisi psikologis, pola ini menempatkan anak sebagai penerima instruksi pasif. Ia mungkin menuruti, tetapi hanya karena takut atau terpaksa. Dalam jangka panjang, hal ini tidak membentuk motivasi internal, melainkan hanya ketundukan sesaat. Anak hanya belajar karena disuruh, bukan karena paham pentingnya belajar.

Sebaliknya, mengajak mencerminkan sikap partisipatif dan komunikatif. Dalam mengajak, ada unsur kedekatan dan kebersamaan. Seorang ibu yang berkata, “Ayo kita baca buku bersama sebelum tidur,” tidak hanya memberikan instruksi, tetapi juga menciptakan ruang emosi yang hangat. Anak merasa dihargai dan dilibatkan. Ini sejalan dengan pendekatan teaching sebagaimana dijelaskan dalam artikel “Teaching vs. Telling” oleh Quinn Kelly. Mengajarkan berarti tidak hanya berkata apa yang harus dilakukan, tetapi juga mengapa itu penting. Ini adalah pendekatan proaktif yang membangun pemahaman dan kesadaran anak, bukan sekadar ketaatan.

Dari sisi pedagogis, pendekatan menyuruh tidak banyak memberi ruang pada anak untuk berpikir, memilih, atau memahami. Ia hanya menjalankan. Sementara mengajak, memberi pengalaman belajar yang lebih bermakna karena anak dilibatkan secara kognitif dan afektif. Ketika orang tua mengajak anak membaca atau belajar bersama, mereka sedang mempraktikkan pendidikan sebagai proses dialogis dan teladan, bukan komando.

Dengan demikian, mengajak memiliki efek psikologis yang memperkuat rasa dihargai, dan secara pedagogis menumbuhkan kesadaran serta kemandirian belajar. Inilah alasan mengapa ajakan memiliki daya yang lebih kuat dan lebih tahan lama dalam membentuk perilaku anak dibandingkan sekadar suruhan.

Penelitian mendukung hal ini. Studi dari berbagai lembaga pendidikan menunjukkan bahwa keterlibatan aktif orang tua—misalnya dengan membaca bersama, mengobrol soal pelajaran, atau sekadar duduk di dekat anak saat ia belajar—ternyata bisa meningkatkan motivasi, rasa percaya diri, dan bahkan prestasi akademik anak. Bukan hanya itu, anak juga jadi lebih mampu mengatur emosinya, karena mereka merasa punya sandaran yang aman: orang tuanya sendiri.

Ada istilah yang disebut “co-regulation”, yaitu proses ketika anak belajar mengatur emosinya dengan bantuan orang dewasa yang hadir dan responsif. Jadi, saat anak frustrasi karena soal sulit, kehadiran orang tua yang menyemangati atau memberi jeda tanpa marah akan sangat membantu. Ini jauh lebih efektif daripada menyuruh sambil menonton TV atau menggulir layar ponsel.

Kehadiran orang tua tidak cukup hanya sebatas tubuh yang berada di satu ruangan dengan anak. Yang dibutuhkan anak adalah kehadiran yang aktif—bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Anak akan tahu, bahkan sangat peka, apakah orang tua benar-benar hadir untuk mereka atau hanya sekadar “ada”.

Kehadiran aktif ini bisa diwujudkan dalam bentuk sederhana: membaca buku bersama, menemani saat anak belajar, atau sekadar menjadi contoh dari kebiasaan yang ingin ditanamkan. Jika orang tua ingin anak suka membaca, maka langkah pertama adalah membangun budaya membaca di rumah, dimulai dari diri sendiri. Anak akan lebih mudah meniru kebiasaan, bukan menuruti perintah.

Tak perlu waktu lama atau metode rumit. Terkadang, duduk di samping anak ketika ia mengerjakan PR, atau bertanya tentang pelajaran yang ia pelajari hari ini, sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak sendirian. Anak yang merasa didampingi akan lebih terbuka, lebih percaya diri, dan tidak mudah menyerah saat menemui kesulitan.

Sayangnya, banyak orang tua justru lebih sibuk dengan layar ponsel ketimbang menemani anak belajar. Ada ironi yang sering kita jumpai: orang tua melarang anak terlalu lama menonton, tapi dirinya sendiri tak lepas dari layar. Di sinilah urgensi memberi contoh yang nyata. Anak menilai bukan dari apa yang kita katakan, tapi dari apa yang kita lakukan.

Penutup

Pendidikan di rumah adalah fondasi utama pembentukan karakter dan kebiasaan belajar anak. Namun, sebagaimana telah diuraikan, pendidikan ini sering kali tergelincir menjadi sekadar serangkaian perintah tanpa teladan. Ketika orang tua lebih banyak menyuruh daripada mengajak, dan lebih sibuk dengan gawai daripada memberi contoh nyata, maka proses pendidikan kehilangan jiwanya. Anak tidak hanya butuh arahan, mereka membutuhkan kehadiran yang tulus dan keterlibatan yang aktif.

Mengajak berarti berjalan bersama, menunjukkan dengan perbuatan, dan menciptakan ruang emosional yang hangat. Keteladanan adalah bahasa yang paling dipahami anak. Maka, jika ingin anak tumbuh mencintai belajar, mulailah dengan menunjukkan bahwa belajar itu menyenangkan. Bila ingin anak gemar membaca, jadikan membaca sebagai kebiasaan keluarga. Pendidikan bukan tentang menyuruh, melainkan tentang hadir dan menginspirasi. Karena pada akhirnya, anak belajar bukan dari suara yang memerintah, melainkan dari sosok yang menjadi contoh.

Penulis: Admin
Ilustrasi: Child read a book/Pexels



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan