Menjadi Otentik Bersama Nietzsche: Diri, Tafsir, dan Moralitas

Siluet seorang pria berdiri di samping motor di bawah langit senja yang membara.
INTIinspira - Ketika seseorang bicara tentang dunia, tentang kebenaran, tentang moralitas, atau bahkan tentang agama dan Tuhan, sejatinya dia sedang membicarakan dirinya sendiri. Ia tidak sedang menjelaskan dunia sebagaimana adanya, tetapi sedang memantulkan dunia sebagaimana yang ia alami—ia lihat—melalui lensa nilai, luka, rasa takut, bahkan hasrat pribadinya.

Nietzsche, dengan tanpa kompromi namun tajam, menghentak kesadaran kita akan hal ini. Bagi Nietzsche, tidak ada pemikiran yang benar-benar objektif. Tak ada ide yang lahir dari kehampaan.

Segala gagasan, betapapun terdengar ilmiah atau penuh dengan aroma moralitas, selalu berakar dari tubuh si pemikir—dari siapa dia, apa yang ia dambakan, apa yang ia takuti, dan bagaimana sejarah pribadinya membentuk cara berpikirnya.

Dalam kata-kata yang terkenal, “Setiap filsafat besar adalah pengakuan pribadi dari sang filsuf.” Artinya, pemikiran adalah cerminan diri—naluri, karakter, pengalaman hidup, bahkan kondisi fisik mereka yang membentuk tafsir atas dunia.

Oleh karena itu, bagi Nietzsche, tidak ada fakta murni, yang ada hanyalah interpretasi terhadap fakta. Versi kebenaran selalu melekat pada si penafsir. Namun demikian, Nietzsche tidak mengatakan bahwa kebenaran itu tidak ada. Dia membedakan antara fakta dan kebenaran.

Contoh sederhananya begini: Di sebuah persimpangan, tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Seorang pengendara motor terlempar ke aspal setelah menghantam sebuah mobil dari arah berlawanan. Orang-orang segera berkerumun. Beberapa mengambil ponsel, merekam. Yang lain mencoba membantu. Sirine ambulans terdengar mendekat. Kecelakaan itu adalah fakta. Tubuh yang tergeletak di jalan, darah yang mengalir dari pelipis, dan kaca spion yang hancur — semua itu nyata. Tapi dari fakta yang sama, lahir begitu banyak tafsir.

Korban, yang matanya masih buram karena benturan, bergumam pelan, “Mobil itu yang salah. Dia terobos lampu merah.” Baginya, ini adalah soal ketidakadilan. Pengemudi mobil itu berdiri kaku, wajahnya pucat. “Saya sudah pelan. Dia yang tiba-tiba muncul dari tikungan. Saya tak sempat mengerem.” Baginya, ini adalah musibah yang tak bisa dihindari.

Petugas polisi mencatat dan memotret, tanpa menyalahkan siapa pun. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang harus ditelusuri melalui prosedur dan bukti. Tenaga medis hanya fokus pada tekanan darah dan denyut nadi. Baginya, yang penting bukan siapa yang salah, tapi bagaimana menyelamatkan nyawa.

Seorang ibu di trotoar berkata lirih, “Orang sekarang tak sabaran. Tak heran sering celaka.” Baginya, peristiwa itu menjadi pelajaran moral. Seorang remaja memposting video ke media sosial dengan caption: “Baru aja kecelakaan di simpang empat. Gila!” Baginya, ini adalah momen dramatis yang bisa viral.

Satu fakta, banyak kebenaran. Masing-masing lahir dari sudut pandang yang berbeda—dari nilai, pengalaman, hingga kepentingan personal

Nietzsche mengingatkan bahwa yang kita sebut “kebenaran” sering kali hanyalah interpretasi yang kita percayai sebagai mutlak.

Nietzsche bukan menolak realitas, tetapi menolak klaim bahwa ada satu kebenaran objektif yang bisa dipeluk semua orang dengan cara yang sama. Kebenaran, dalam pandangannya, selalu dibentuk oleh siapa yang melihat dan dari mana ia melihat. Yang digugat Nietzsche adalah kebenaran yang dianggap tetap, objektif, dan bisa diakses secara netral oleh siapa pun kapan pun.

Sebaliknya, menurutnya, kebenaran adalah hasil dari interpretasi—bukan fakta tetap. Manusia menafsirkan realitas berdasarkan dorongan hidup (will to power), pengalaman, sudut pandang, bahkan kondisi tubuh dan budaya.

Dengan demikian, tidak ada satu pun klaim kebenaran yang benar-benar terlepas dari subjek yang memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa Nietzsche mendukung relativisme yang pasif dan permisif. Justru, ia mengkritik sikap semacam itu karena mengabaikan perjuangan tafsir yang aktif, jujur, dan bergairah.

Nietzsche menyadari bahwa dunia ini bukan semata-mata kekacauan. Realitas memang ada, tetapi hanya bisa diakses melalui kacamata tafsir si subjek. Kebenaran itu ada, namun ia terus bergerak, hidup, berubah, dan selalu melekat pada perspektif yang menafsirkannya. Karena itu, kebenaran sulit ditangkap dalam bentuk absolut dan universal.

Setelah membaca pemikiran semacam itu, dengan segera kita bertanya: jika semua pemikiran hanyalah interpretasi yang melekat pada si penafsir, lalu bukankah pernyataan Nietzsche sendiri juga hanyalah interpretasi pribadi yang tak bisa dijadikan kebenaran universal? Bukankah itu meruntuhkan dirinya sendiri?

Nietzsche sadar akan ironi ini. Tapi inilah yang membedakan dia dari banyak filsuf lain: ia tidak mencoba menyembunyikan subjektivitasnya. Ia tidak berpretensi objektif, netral, atau absolut.

Justru, ia mengaspirasikan sebuah gaya berpikir yang jujur secara eksistensial, berani mengakui bahwa semua gagasan lahir dari tubuh, kehendak, dan konteks si pemikir.

Maka, yang dia perjuangkan bukan kebenaran universal, melainkan:

Pertama, Kejujuran Radikal terhadap Diri Sendiri: Nietzsche ingin agar manusia tidak lagi bersembunyi di balik “topeng kebenaran objektif” atau nilai-nilai moral buatan. Ia ingin manusia jujur terhadap asal-usul pikirannya—bahwa banyak yang kita sebut sebagai “kebenaran” hanyalah pembenaran dari naluri, rasa takut, atau kehendak kuasa.

Nietzsche melihat bahwa manusia sering berbohong—bukan kepada orang lain, tapi kepada dirinya sendiri. Kita bilang “ini salah, itu benar” seolah-olah itu berdasar pada sesuatu yang objektif. Padahal, banyak dari “kebenaran” yang kita pegang hanya lahir dari luka batin, ketakutan, atau keinginan pribadi yang kita bungkus dengan logika moral atau agama.

Contoh sederhana begini, seseorang bilang “kekayaan itu jahat” bukan karena dia benar-benar menemukan argumen filosofis, tapi karena dia miskin dan merasa iri. Jadi, moralitas itu adalah pembenaran dari kondisi dirinya. Nietzsche menyebut ini sebagai moralitas budak—moralitas yang lahir dari rasa lemah, bukan dari kekuatan.

Moralitas bagi Nietzsche bukan semata-mata soal apa yang baik dan apa yang buruk, atau apa yang benar dan apa yang salah. Bukan pula sekadar aturan hidup yang diwariskan turun-temurun dan diterima begitu saja. Moralitas, bagi Nietzsche, adalah persoalan siapa yang menciptakan nilai, dari mana nilai itu lahir, dan untuk siapa nilai itu dibuat.

Ia melihat bahwa sepanjang sejarah, moralitas sering kali dibentuk oleh mereka yang kalah, yang lemah, yang tak mampu berkuasa secara nyata. Mereka kemudian membentuk moralitas sebagai bentuk pelarian—sebagai cara untuk membenarkan kelemahan mereka dan mengutuk kekuatan orang lain. Maka lahirlah moralitas budak: jenis moral yang tidak tumbuh dari keberanian, tapi dari rasa takut; bukan dari kekuatan, tapi dari dendam yang tersembunyi.

Dalam dunia moralitas budak, keberanian disebut angkuh, kekuasaan disebut jahat, dan kemandirian dianggap sombong. Sebaliknya, kepasrahan, kelemahan, dan kepatuhan dibingkai sebagai kebajikan. Bukan karena nilai itu benar-benar luhur, tapi karena itu satu-satunya yang mampu mereka banggakan.

Nietzsche menggugat semua itu. Baginya, moralitas yang sejati adalah moralitas yang lahir dari kekuatan, dari kehendak untuk hidup sepenuhnya. Ia menyebutnya sebagai moralitas tuan—moralitas yang berani mengatakan "ya" pada kehidupan, termasuk pada penderitaan, tantangan, dan pertarungan. Sebab hanya dari keberanian menanggung hidup apa adanya, manusia bisa mencipta nilai-nilai baru yang otentik, bukan nilai-nilai yang lahir dari kebencian terhadap kehidupan

Maka—kembali ke poin awal—Nietzsche menantang kita untuk jujur. Kalau kita marah, jangan bungkus dengan dalih keadilan. Akui saja bahwa kita marah. Kalau kita ingin berkuasa, jangan bilang kita sedang memperjuangkan kebenaran. Akui saja: aku ingin menang.

Kedua, Penemuan Diri melalui Tafsir yang Kuat: Alih-alih mencari kebenaran yang universal dan final, Nietzsche mengajak kita untuk menciptakan tafsir-tafsir baru yang lahir dari keberanian, daya hidup, dan keinginan untuk menjadi diri sendiri. Dalam istilahnya: kita harus mengatasi manusia sekarang untuk menuju Übermensch (manusia unggul).

Karena semua kebenaran adalah interpretasi, maka Nietzsche mengajak kita menjadi penafsir yang aktif. Jangan hanya menelan nilai-nilai yang diwariskan begitu saja (dari agama, orang tua, masyarakat), tapi olah dan pertanyakan sendiri.

Nietzsche menyebut manusia unggul (Übermensch) sebagai sosok yang berani menciptakan nilai-nilainya sendiri. Ia tidak hidup berdasarkan “benar-salah” dari luar, melainkan berdasarkan nilai yang ia temukan atau ciptakan sendiri lewat pengalaman, perenungan, dan keberanian eksistensial.

Jadi, Nietzsche tidak mengatakan: “Semua bebas tafsir, terserah.” Tidak. Ia menuntut kita menjadi penafsir yang bertanggung jawab, bukan sekadar ikut-ikutan.

Ketiga, Perlawanan terhadap Dogma dan Kepalsuan Moralitas: Nietzsche melihat bahwa banyak yang disebut sebagai “moral” atau “agama” hanyalah bentuk domestikasi (penjinakan) kehendak manusia. Ia ingin meruntuhkan itu, agar manusia berhenti hidup berdasarkan ilusi-ilusi yang mengekang naluri dan kebebasannya.

Nietzsche amat muak dengan moralitas yang dogmatis—yang membungkam pertanyaan dan memberangus naluri. Bagi Nietzsche, banyak moral dan ajaran agama yang katanya “baik” justru lahir dari kebencian terhadap kehidupan: mengingkari tubuh, nafsu, kekuatan, kreativitas, bahkan kebahagiaan.

Ia melihat moral sebagai alat domestikasi, manusia dijinakkan oleh norma-norma supaya jadi “baik”, padahal itu berarti pasif, tunduk, dan lemah. Maka Nietzsche berusaha membongkar semua nilai itu dan bertanya: siapa yang diuntungkan oleh moral seperti ini?

Nietzsche ingin membebaskan manusia dari moralitas palsu yang membuat kita hidup setengah mati—mengutuk diri, menekan hasrat, dan menyembah ilusi akan “kebajikan”.

Keempat, Menghidupkan Filsafat sebagai Gaya Hidup, Bukan Sekadar Teori. Bagi Nietzsche, filsafat bukan soal teori netral, melainkan pengungkapan nilai dan pilihan hidup. Dia tidak sedang menawarkan sistem, tapi menantang pembaca untuk berpikir ulang: “Apakah kamu berani hidup menurut nilai-nilaimu sendiri, bukan nilai-nilai yang diwariskan padamu?”

Nietzsche bukan tipe pemikir yang ingin mendirikan sistem atau teori. Ia tidak sedang membuat “ajaran Nietzschean” yang bisa diajarkan di sekolah. Ia menulis untuk menggugah kesadaran, bukan untuk membentuk dogma baru.

Baginya, filsafat adalah soal bagaimana kamu hidup. Apa nilai yang kamu jalani? Apa keberanianmu dalam menghadapi hidup? Apa kamu hidup karena takut dosa, atau karena cinta pada kehidupan itu sendiri.

Nietzsche tidak mau kita menjadi “pengikut”-nya. Ia ingin kita berpikir sendiri, menafsir sendiri, dan hidup dengan nilai yang kita temukan sendiri. Filsafat, bagi Nietzsche, adalah alat untuk menghancurkan ilusi dan membangun kembali diri yang lebih otentik.

Lalu, apakah pemikirannya meruntuhkan dirinya sendiri?

Nietzsche akan menjawab: Ya—jika kamu memaksakan logika objektivitas padanya. Tapi tidak—jika kamu memahami bahwa seluruh bangunan pikirannya memang tidak dimaksudkan untuk menjadi doktrin. Nietzsche tidak ingin dipercaya, tapi digunakan—sebagai “palu” untuk meruntuhkan dan membangun kembali. Nietzsche tidak memberi kita "kebenaran". Ia memberi kita keberanian untuk menafsirkan, mempertanyakan, dan mencipta ulang.

Jadi, aspirasi Nietzsche bukan meruntuhkan segala makna agar manusia hidup sembarangan. Justru sebaliknya: ia ingin mendorong manusia untuk hidup lebih sadar, lebih jujur, dan lebih berani. Agar kita tidak jadi budak nilai-nilai lama yang sebenarnya tidak pernah kita pilih.

Bagi Nietzsche, hanya dengan kehancuran ilusi kita bisa membangun kehidupan yang benar-benar bermakna. Bukan hidup dari warisan dogma, tapi dari keberanian menjadi diri sendiri.[]

Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Man, Male, Human/Pixabay.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan