Pemerataan Pendidikan: Jauh Api dari Panggang
Oleh: Dahri*
Pendidikan ialah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun sekelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran dan pelatihan. Dalam pendidikan juga ada namanya kebijakan, yang mengatur agar tujuan pendidikan dapat membangun negara dan bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu dari tujuan pembangunan negara bangsa secara keseluruhan. Agar pendidikan bisa disamaratakan maka perlulah yang namanya kebijakan.
Problematika Kebijakan Pendidikan
Tujuan utama dari kebijakan pendidikan ialah untuk menghadirkan kesamarataan dalam pendidikan. Namun permasalahannya, kebijakan pendidikan saat ini masih jauh dari tujuan tersebut, terlihat pada kesenjangan antara pendidikan di kota dengan di pedalaman. Pendidikan di kota begitu canggih, di saat yang bersamaan pula itu sangat kontras dengan pendidikan di pedalaman. Hal ini bukannya lagi sebuah rahasia, melainkan sudah diketahui umum. Tak jarang, kita merasa tersentak sedih dan menetes air mata, ketika melihat wajah pendidikan di pedalaman yang serba kekurangan di segala sisi.
Pendidikan selama ini belum sepenuhnya berjalan merata seperti yang diinginkan, selama ini kita hanya mampu menonton dan tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin kita termasuk orang kota, yang tidak tau bagaimana pendidikan yang ada di pedalaman atau perdesaan. Apakah meraka sudah mendapatkan pendidikan yang layak? Apakah sudah mencukupi guru sesuai bidang studi masing-masing, atau bagaiamana? Saya rasa belum, mungkin sampai saat ini, kita masih sangat sedikit yang tahu tentang perkembangan pendidikan yang ada di perkampungan atau pedalaman. Pendidikan yang ada di pedalaman itu, sangat memprihatinkan, bukan hanya gurunya tapi juga murid-muridnya, di mana mereka hanya sebatas sekolah datang dan pulang.
Maka apabila pemerintah mengadakan ujian berbasis komputer atau ujian nasional, bukankah itu sebuah penderitaan bagi siswanya. saya tidak setuju, bisa-bisanya pemerintah membuat ujian berbasis komputer, tanpa melihat kondisi dan situasi, boleh saja ujian berbasis komputer itu bisa dilaksanakan, tapi batasi, jangan disamaratakan. Kalau disamaratakan bisa-bisa bukan siswa yang akan ujian, dan yang pastinya guru, struktural sekolah atau operator sekolah, sehingga dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan ujian itu sangat rugi dan sia-sia. Bukan hanya segi materi, waktu juga. Alihkan saja untuk kebutuhan lain, seperti membayar intensif guru misalnya, atau apa saja yang dapat dimanfaatkan oleh sekolah. Karena sudah dapat kita pahami dan ketahui, jangankan mengoperasikan laptop, mungkin menghidupkan laptop saja tidak bisa, atau listrik saja tidak ada. Jadi, untuk apa kita paksakan mereka untuk melaksanakan, hanya buang-buang waktu.
Kebijakan Pendidikan: Jauh Api dari Panggang
Bukan maksud mengkritik, tapi ada sedikit curhatan tentang pendidikan, karena pemerataan pendidikan itu belum ada kenikmatan yang terlaksana. Pun bisa saja terjadi pendidikan itu seperti hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang pemenang, bila dia pintar, mudah akses untuk melanjutka pendidikan lebih tinggi, yang jadi pemenang siapa? Ya, orang kota, bukan berarti orang kota itu sukses semua dan orang pedalaman itu hanya sebagai buruh. Tapi, orang kota mempunyai kesempatan seribu banding satu dengan orang pedalaman. Penduduk kota yang sangat mudah untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, kalau mereka melanjutkan pendidikan lebih tinggi, ya pastinya mereka akan berkuasa, bukan kita pastikan untuk sukses, tapi secara hukum alam, siapa yang berusaha pasti akan mendapat. Kalau kita buka kacamata, yang paling banyak sukses itu ya pasti orang kota, sangat jarang kita temui orang pedalaman itu sukses, mungkin hanya satu dua. Dan yang lainnya pasti akan jadi buruh.
Pernah suatu hari saya mengikuti sebuah seminar, semua peserta adalah kepala sekolah dan wakil kepala bagian kurikulum. Pada saat itu hanya saya orang termuda dan awam dalam memahami pejalanan pendidikan pada saat ini. Pada waktu itu, ada pemateri yang sangat luar biasa menurut saya, dan pembahasannya cukup menarik. Tak kalah menarik ialah, ketika dibuka sesi pertanyaan, ada seorang kepala sekolah yang bertanya, pertanyaannya kurang lebih seperti ini, “Bagaiamana dengan nasib pendidikan kami yang di pedalaman sana, tidak ada guru yang mau mengajar di sana hanya ada satu dua, bahkan satu guru harus mengemban bisa tiga jabatan, dia bendahara, dia waka kurikulum, juga sebagai guru, jadi bagaimana pendidikan ini akan bisa maju, dan anak-anak yang datang ada yang jam sembilan, bahkan ada anak yang harus di jemput”. Sayang bukan generasi emas bisa terbengkalai, memang undang undang sudah mengatur, tapi pelaksanaan kebijakan itu yang masih jauh api dari panggang.
Berita ini yang sangat jarang saya dapatkan, dan ini langsung dari kepala sekolah, yang disampaikan di sebuah seminar, di sanalah saya baru sadar, sejauh mana pendidikan yang sudah terlaksana saat ini, dengan duduk terdiam termenung dan meratapi, yang dulunya hanya saya pahami, bahwa pendidikan sudah berjalan sepenuhnya dengan baik, dan walaupun ada beberapa sekolah yang terbengkalai, mungkin itu hanya sedikit. Bagi saya solusi dari ini adalah, bila ada sekolah yang terbengkalai, makmurkan gurunya, tingkatkan gajinya, atau kalau perlu bila dia seorang yang honorer, setelah satu tahun angkat dia jadi pegawai, atau buat peraturan setahun sekali; setiap guru kita roker dengan guru di kota, agar setiap yang di tugaskan tidak terlalu keberatan, karena waktu yang tidak terlalu lama. []
* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prodi Pendidikan Agama Islam/Pengajar di SLB-YPPC Banda Aceh.