Segelas Susu dan Setumpuk Buku




Oleh: Arizul Suwar*

Saya mengakui bahwa otak saya tidaklah seperti mesin fotokopi, yang mampu "mengingat" semua tulisan yang dimasukkan ke dalamnya, untuk kemudian mengeluarkan produk baru yang sama. Yang bisa saya usahakan adalah tetap fokus ketika membaca. Membaca sebagai kuantitas ialah membaca cepat yang bertujuan untuk memperkaya kosakata. Sedangkan membaca sebagai kualitas ialah membaca yang disertai analisis, dan membaca semacam ini mutlak membutuhkan fokus. Kuantitas bertujuan untuk memperluas sedangkan kualitas untuk memperdalam. Kebanyakan novel merupakan bacaan kuantitas. Semenjak lulus S1, dapat dikatakan, bacaan novel saya sangat sedikit. Karena itu, mau tidak mau, saya harus terus menerus berusaha untuk melatih konsentrasi dan fokus terhadap bacaan walaupun bacaannya sedikit. 

Konsentrasi dan fokus tentu perlu latihan, termasuk kegiatan membaca. Pikiran, sebagaimana disampaikan Sadghuru memiliki dua sifat yang sama dengan monyet, yaitu banyak melakukan gerakan yang tidak perlu alias tidak mudah diam, loncat ke sana ke sini, dan suka meniru. Karena itu, pikiran harus didisiplinkan. Melatih disiplin pikiran dapat dilakukan dengan cara menyadari naik-turun napas. Tindakan untuk menyadari naik-turun napas ini dapat dilakukan lebih kurang lima menit dalam dua puluh empat jam, dan latihan ini perlu diusahakan terus menerus. 

Secangkir susu dan setumpuk buku dapat menjadi teman menghabiskan malam, begitulah kira-kira kalimat yang terlintas di benak saya. Jika anda bertanya untuk apa setumpuk buku? Saya tidak bisa memberikan jawaban universal, tapi bagi saya, inilah konsekuensi yang harus saya lalui dengan senang hati, karena inilah pilihan hidup yang saya pilih. Saya sadar bahwa jalan yang saya ambil ini bukanlah jalan yang populer, jalan yang "kurang laku". Tapi inilah kecondongan jiwa--malahan--jika saya memaksakan untuk tidak menempuh jalan ini, saya akan mengalami penderitaan yang dahsyat. 

Tidak banyak yang menempuh jalan ini. Itu jelas, bahkan sangat jelas. Tapi, hidup tidak selalu berkaitan dengan banyak pengikut atau tidak, banyak yang suka atau tidak. Bagi saya, hidup soal kenyamanan, namun bukan kenyamanan dalam artian asal enak melainkan kenyamanan yang dapat dipertanggungjawabkan secara argumentatif. Tapi tidak banyak yang suka? Jawaban saya untuk ini adalah "apakah saya peduli? Tidak!."  Di sini Squidward Tentacle (salah satu tokoh dalam film Spongebob Squarepants--kartun--favorit saya) mendapatkan gaungnya kembali. 

Ngomong-ngomong tentang novel, ada beberapa novel yang menurut saya bagus, seperti Sang Alkemis oleh Paulo Coelho, Sampar oleh Albert Camus, Ramayana oleh Nyoman S Pendit, Animal Farm oleh George Orwell, dan ada beberapa lagi, sayangnya saya sedang tidak ingat judul dan penulisnya. Indikator bagus bagi saya adalah dalam novel-novel yang saya sebutkan di atas, penulisnya mampu menghadirkan ragam cara pandang manusia terhadap kenyataan hidup. Dalam Sampar, Albert Camus menggambarkan berbagai macam cara pandang manusia terhadap penyakit wabah yang melanda kota. Ada yang melihat wabah sebagai kutukan dari Tuhan, ada yang melihat sebagai tempat untuk mengabdi bagi kemanusiaan, ada pula yang melihat wabah sebagai lahan mencari keuntungan dan seterusnya. Melalui novel itu, penulis mengajak pembaca untuk memperkaya sudut pandang dalam melihat dan menilai kenyataan. Itu berharga. 

Terakhir, segelas susu dan setumpuk buku, bagi sebagian orang merupakan kebahagiaan. Bagi sebagian lagi, merupakan hal yang membosankan. Di sini, bukan perihal siapa salah dan siapa benar, melainkan lebih kepada siapa yang mampu lebih banyak berkontribusi bagi kemanusiaan, dalam berbagai bentuknya. []

*Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan