Dari Pandemi ke Endemi: Siasat Perubahan Tatanan Pasca Covid-19


Oleh: Ramli Cibro*

    Seiring berjalannya waktu, pandemi Covid-19 telah menunjukkan betapa rapuh struktur kehidupan manusia. Analogi tentang petani yang membakar lumbung untuk memusnahkan seekor tikus menjadi metafora yang tepat untuk menggambarkan langkah-langkah destruktif yang diambil dalam menghadapinya. Namun kini, kita harus bersiap menghadapi akibat yang lebih mendalam, seperti layaknya petani yang kehilangan seluruh lumbung dan tak tahu pasti apakah tikus tersebut benar-benar telah musnah, sementara api masih berkobar, membakar lumbung, menjalar ke ladang.

    Pandemi membawa dampak luar biasa, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Kita menyaksikan kekacauan ekonomi yang mengakibatkan kehilangan pekerjaan dan penurunan daya beli, disertai kesimpangsiuran informasi yang terkadang membingungkan masyarakat. Lebih jauh, ada dualisme sikap negara dalam menghadapi pandemi yang menunjukkan kerentanannya terhadap krisis semacam ini. Pertanyaan mendasar muncul: Sejauh mana pemerintah memandang serius ancaman Covid-19? Dan apakah langkah-langkah yang diambil sejalan dengan kebutuhan dan urgensi yang ada?

     Salah satu contoh konkret adalah kebijakan vaksinasi yang digalakkan. Namun, keputusan ini tidak selalu didasarkan pada kajian yang komprehensif, seringkali terasa sebagai tindakan mendesak yang mungkin semakin mendekatkan kita pada ketakutan akan masa depan yang samar. Ini mengingatkan kita pada kebutuhan akan perencanaan dan persiapan yang lebih baik dalam menghadapi krisis sejenis di masa yang akan datang. 

Pandemi Seperti Sudah Diramalkan

     Dalam konteks ini, buku Slavoj Zizek berjudul "Pan(d)mic" memberikan perspektif yang menarik. Buku ini, terbit hanya beberapa bulan setelah wabah pandemi diumumkan, seolah telah dipersiapkan sebagai analisis mendalam tentang kekacauan yang ditimbulkan. Zizek menyoroti reaksi panik dari masyarakat yang berujung pada aksi boros dan tergesa-gesa, seperti pengejaran tisu toilet dan kelangkaan masker di beberapa negara. Namun, Zizek juga mengingatkan kita tentang bahaya dari endemi yang muncul setelah pandemi. Endemi, menurutnya, adalah suatu campuran dari berbagai faktor alam, ekonomi, budaya, dan politik yang saling terkait. Faktor ini seringkali terabaikan karena fokus terlalu besar pada penanganan pandemi berbasis kesehatan dan keamanan. Padahal, pandemi hanya merupakan satu dari begitu banyak potensi krisis yang dapat muncul dari hubungan kompleks antara manusia, lingkunga dan sistem sosial.

Dampak Endemi bagi Kehidupan 

    Dari sudut politik, endemi menghadirkan tantangan besar. Perubahan politik yang tajam dapat mempengaruhi stabilitas suatu negara dan memunculkan ketidakpastian yang lebih besar. Ini terlihat dalam beberapa negara yang mengalami gejolak politik sebagai dampak langsung dari pandemi. Ada negara yang bangkrut. Ada negara yang menahan untuk tidak melaksanakan transisi kepemimpinan dan hanya memenangkan pertahana dalam pemilu. Ada juga negara yang tanpa ragu, melakukan invasi, memborbardir negara lain, tanpa sungkan.

   Sektor ekonomi juga berada dalam ancaman endemi. Krisis keuangan yang dapat melanda berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebagai contoh, gelombang pengangguran dan inflasi yang terjadi selama pandemi menjadi peringatan betapa rentannya sistem ekonomi terhadap goncangan dari luar. Belum lagi, tuntutan akan energi, pasar dan bahan baku menjadikan negara dunia ketiga penghasil sumber daya alam, dieksploitasi secara membabi buta. 

   Endemi juga membawa implikasi sosial yang serius. Ketidaksetaraan dan ketegangan sosial dapat memuncak, terutama dalam situasi krisis seperti pandemi ini. Kelompok rentan seperti pekerja informal, migran, dan golongan ekonomi bawah menjadi paling terpukul akibat situasi ini. Kelas menengah, dalam beberapa analisis akan lenyap, bergabung dengan kelas bawah. Sebaliknya, kelas jet set akan semakin melambung ke atas, memperlebar jarak antara mereka dengan kelas bawah. Bukan saja secara finansial, tapi juga kultur. Sudah lama, sejak pendidikan menjanjikan kenyamanan kelas pekerja dan menengah, sejak saat itu, tradisi antara kelas atas dan non atas dibedakan. Ketika kelas atas membahas mengenai bisnis, kelas menengah membahas mengenai skill dan kapasitas, portopolio dan lamaran pekerjaan. Sedangkan kelas bawah, harus siap menelan pil pahit, kultur pendidikan tidak membicarakan mereka. 

    Aspek religi juga tidak luput dari dampak endemi. Konflik berbasis keyakinan dapat meningkat, terutama jika muncul perbedaan dalam persepsi terhadap krisis dan cara mengatasinya. Pandemi telah menguji kekuatan dan kesatuan komunitas agama di seluruh dunia. Dimana-mana radikalisme agama muncul, perlawanan terhadap doktrin pengetahuan juga mencuat justru dari kantong-kantong agama. Memang, agama berperan dalam membantu manusia menghadapi pandemi, tapi setelahnya? Kita tidak tahu. 

    Terakhir, kesehatan masyarakat adalah aspek utama yang terpengaruh oleh endemi. Sistem kesehatan di berbagai negara terbebani hingga batas maksimal. Belajar dari pengalaman ini, perlu ada investasi yang lebih besar dalam memperkuat infrastruktur kesehatan dan sistem surveilans untuk menghadapi endemi di masa depan. Demikian pula, aspek ekologi juga tidak boleh diabaikan. Endemi ekologi mencakup krisis lingkungan dan perubahan iklim yang semakin mengintensif, diperburuk dengan pengrusakan lingkungan dan penambangan masif. Lingkungan yang tidak sehat dapat menjadi sarang potensial bagi munculnya penyakit baru, seperti yang terjadi dengan Covid-19.

Solusi Mengakhiri Endemi

    Untuk mengatasi endemi, perlu dilakukan langkah-langkah konkret. Pertama, masyarakat harus lebih sadar akan resiko-endemi yang mungkin terjadi di masa depan. Edukasi dan peningkatan kesadaran akan mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi situasi krisis dengan lebih baik. Kedua, perlu ada perencanaan dan persiapan yang lebih baik dari pemerintah. Kesiapan infrastruktur kesehatan, strategi ekonomi yang adaptif, serta perencanaan sosial yang inklusif akan menjadi kunci dalam menghadapi endemi. Ketiga, kolaborasi internasional juga sangat diperlukan. Krisis semacam ini tidak mengenal batas negara, dan kerjasama global dalam penanganan krisis menjadi krusial. Keempat, perlu ada inovasi dan penelitian yang terus menerus dalam bidang kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Penemuan dan teknologi baru dapat memainkan peran dalam memitigasi dampak endemi.

    Dalam menghadapi endemi, dibutuhkan perubahan paradigma dari cara kita memandang dan menyikapi krisis. Tidak hanya fokus pada penanganan akut, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor struktural yang dapat mempengaruhi kestabilan tatanan kehidupan manusia.

   Di samping itu, endemi juga menuntut kesadaran akan keterkaitan antara manusia, lingkungan, dan sistem sosial. Semua ini membutuhkan komitmen bersama dari berbagai pihak, mulai dari individu, komunitas, pemerintah, hingga lembaga internasional.

      Dengan kesadaran dan kerja sama yang kuat, dapat dibangun masyarakat yang lebih tangguh terhadap krisis, dan siap menghadapi tantangan-tantangan global. Pandemi adalah momentum penting untuk merefleksikan kembali nilai-nilai dan prioritas dalam kehidupan manusia, serta untuk mempersiapkan generasi mendatang dalam menghadapi realitas yang lebih kompleks dan dinamis.[]

Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh


Baca artikel menarik lainnya di Buletin INTIinspira

Download secara gratis melalui link dibawah ini











Link 1





Link 2



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan