Refleksi Diri dari Kunjungan SLB: Memahami Autisme, Tuna Grahita, dan Global Developmental Delay
INTIinspira - Kunjungan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) baru-baru ini membuka mata penulis terhadap realitas kehidupan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Pengalaman ini memicu refleksi pribadi tentang kesabaran, empati, dan nilai inklusi dalam masyarakat.
Artikel ini menggabungkan pengamatan penulis dengan penjelasan ilmiah tentang autisme, tuna grahita, dan global developmental delay (GDD).
Saat memasuki SLB di Banda Aceh, suasana hangat menyambut meski penuh tantangan unik.
Penulis menyaksikan guru-guru dengan sabar membimbing siswa autisme yang sulit berkomunikasi verbal, anak tuna grahita yang belajar melalui sentuhan dan visual, serta anak dengan GDD yang lambat meraih mainan sederhana.
Interaksi singkat dengan seorang siswa autisme yang tersenyum lebar saat high-five mengajarkan bahwa kebahagiaan mereka sederhana, berbeda dari rutinitas kita yang sering rumit.
Refleksi ini membuat penulis sadar betapa sering kita mengeluh atas hal kecil, sementara ABK tetap semangat menghadapi keterbatasan.
Kunjungan ini juga menyoroti peran SLB sebagai wadah inklusi.
Di Indonesia, SLB menampung ribuan ABK, termasuk 80.837 siswa tuna grahita pada 2020/2021, dengan Jawa Barat sebagai provinsi terbanyak.
Di Aceh, data BPS 2017 mencatat 104 anak tuna grahita/Down syndrome, tertinggi di antara jenis disabilitas lain.
Gejala muncul sejak masa kanak-kanak, dengan variasi tingkat keparahan dari ringan hingga berat, termasuk kesulitan bermain dengan teman sebaya dan keterbatasan bicara.
Penyebab utamanya melibatkan faktor genetik dan lingkungan, sering dikaitkan dengan gangguan otak yang memengaruhi proses sosial.
Secara ilmiah, ASD didiagnosis berdasarkan kriteria DSM-5, di mana anak menunjukkan defisit komunikasi dan perilaku terbatas seperti gerakan berulang.
Di SLB, penulis lihat siswa autisme (sekitar 39 anak di Aceh per data 2017) merespons baik pada terapi visual dan sentuhan, sesuai karakteristik mereka yang unik.
Refleksi diri dari kunjungan ini mengingatkan saya akan pentingnya intervensi dini untuk memaksimalkan potensi mereka.
Menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD), ini melibatkan gangguan fungsi intelektual yang muncul sebelum usia 22 tahun, memengaruhi kognitif, verbal, motorik, dan sosial.
Penyebab mencakup faktor genetik seperti sindrom Down, infeksi ibu hamil (rubella, syphilis), malnutrisi, cedera otak, atau konsumsi alkohol/obat saat kehamilan.
Karakteristiknya termasuk perkembangan bahasa lambat, kesulitan rutinitas harian, dan keterbatasan komunikasi.
Di Indonesia, estimasi mencapai 1,75-5,25 juta anak, dengan SLB menangani mayoritas kasus.
Pengamatan di SLB menunjukkan guru menggunakan alat bantu sederhana untuk tingkatkan skill dasar, yang merefleksikan ketangguhan ABK tuna grahita.
Ini bukan diagnosis akhir, melainkan indikator untuk evaluasi genetik, struktural otak, atau neurodevelopmental disorder. Etiologi beragam, dari prematuritas hingga infeksi postnatal.
Anak GDD sering tumpang tindih dengan autisme atau tuna grahita, di mana tes IQ belum valid sehingga diagnosis deskriptif digunakan.
Di SLB, penulis perhatikan anak GDD membutuhkan pendekatan multisensori, yang selaras dengan temuan bahwa GDD menjadi faktor utama gangguan perkembangan. Ini menekankan urgensi deteksi dini di Indonesia, di mana ABK terus bertambah.
Penulis: Leza Syifa Ramadhani (Mahasiswa Psikologi UIN Ar-Raniry)
Foto: Dok. untuk INTIinspira
Pengalaman ini memicu refleksi pribadi tentang kesabaran, empati, dan nilai inklusi dalam masyarakat.
Artikel ini menggabungkan pengamatan penulis dengan penjelasan ilmiah tentang autisme, tuna grahita, dan global developmental delay (GDD).
Saat memasuki SLB di Banda Aceh, suasana hangat menyambut meski penuh tantangan unik.
Penulis menyaksikan guru-guru dengan sabar membimbing siswa autisme yang sulit berkomunikasi verbal, anak tuna grahita yang belajar melalui sentuhan dan visual, serta anak dengan GDD yang lambat meraih mainan sederhana.
Interaksi singkat dengan seorang siswa autisme yang tersenyum lebar saat high-five mengajarkan bahwa kebahagiaan mereka sederhana, berbeda dari rutinitas kita yang sering rumit.
Refleksi ini membuat penulis sadar betapa sering kita mengeluh atas hal kecil, sementara ABK tetap semangat menghadapi keterbatasan.
Kunjungan ini juga menyoroti peran SLB sebagai wadah inklusi.
Di Indonesia, SLB menampung ribuan ABK, termasuk 80.837 siswa tuna grahita pada 2020/2021, dengan Jawa Barat sebagai provinsi terbanyak.
Di Aceh, data BPS 2017 mencatat 104 anak tuna grahita/Down syndrome, tertinggi di antara jenis disabilitas lain.
Definisi dan Karakteristik Autisme
Autisme, atau Autism Spectrum Disorder (ASD), merupakan gangguan perkembangan neurologis yang memengaruhi interaksi sosial, komunikasi verbal-nonverbal, dan perilaku repetitif.Gejala muncul sejak masa kanak-kanak, dengan variasi tingkat keparahan dari ringan hingga berat, termasuk kesulitan bermain dengan teman sebaya dan keterbatasan bicara.
Penyebab utamanya melibatkan faktor genetik dan lingkungan, sering dikaitkan dengan gangguan otak yang memengaruhi proses sosial.
Secara ilmiah, ASD didiagnosis berdasarkan kriteria DSM-5, di mana anak menunjukkan defisit komunikasi dan perilaku terbatas seperti gerakan berulang.
Di SLB, penulis lihat siswa autisme (sekitar 39 anak di Aceh per data 2017) merespons baik pada terapi visual dan sentuhan, sesuai karakteristik mereka yang unik.
Refleksi diri dari kunjungan ini mengingatkan saya akan pentingnya intervensi dini untuk memaksimalkan potensi mereka.
Tuna Grahita: Keterbelakangan Intelektual
Tuna grahita didefinisikan sebagai kondisi keterbelakangan mental-intelektual di bawah rata-rata (IQ <70), disertai defisit adaptasi perilaku sejak masa perkembangan.Menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD), ini melibatkan gangguan fungsi intelektual yang muncul sebelum usia 22 tahun, memengaruhi kognitif, verbal, motorik, dan sosial.
Penyebab mencakup faktor genetik seperti sindrom Down, infeksi ibu hamil (rubella, syphilis), malnutrisi, cedera otak, atau konsumsi alkohol/obat saat kehamilan.
Karakteristiknya termasuk perkembangan bahasa lambat, kesulitan rutinitas harian, dan keterbatasan komunikasi.
Di Indonesia, estimasi mencapai 1,75-5,25 juta anak, dengan SLB menangani mayoritas kasus.
Pengamatan di SLB menunjukkan guru menggunakan alat bantu sederhana untuk tingkatkan skill dasar, yang merefleksikan ketangguhan ABK tuna grahita.
Global Developmental Delay (GDD)
Global Developmental Delay (GDD) adalah keterlambatan signifikan di dua atau lebih domain perkembangan anak usia <5 tahun, meliputi motorik kasar/halus, bahasa, kognitif, sosial-personal, dan aktivitas harian.Ini bukan diagnosis akhir, melainkan indikator untuk evaluasi genetik, struktural otak, atau neurodevelopmental disorder. Etiologi beragam, dari prematuritas hingga infeksi postnatal.
Anak GDD sering tumpang tindih dengan autisme atau tuna grahita, di mana tes IQ belum valid sehingga diagnosis deskriptif digunakan.
Di SLB, penulis perhatikan anak GDD membutuhkan pendekatan multisensori, yang selaras dengan temuan bahwa GDD menjadi faktor utama gangguan perkembangan. Ini menekankan urgensi deteksi dini di Indonesia, di mana ABK terus bertambah.
Refleksi Pribadi dan Ajakan Inklusi
Kunjungan ke SLB mengubah perspektif penulis sebagai calon peneliti psikologi.Secara ilmiah, pemahaman tentang autisme sebagai gangguan sosial-neurologis, tuna grahita sebagai defisit intelektual, serta Global Developmental Delay (GDD) sebagai keterlambatan perkembangan global, memperkaya refleksi ini.
Sebagai mahasiswa UIN Ar-Raniry, pengalaman tersebut mendorong penulis untuk terlibat lebih jauh, misalnya melalui perancangan intervensi berbasis social identity theory guna mengurangi stigma terhadap anak berkebutuhan khusus.
Lebih luas, masyarakat perlu memperkuat budaya inklusi. SLB bukanlah akhir dari harapan, melainkan awal dari pengembangan potensi. Pengalaman semacam ini patut dijadikan katalisator tumbuhnya empati kolektif bangsa.
Penulis: Leza Syifa Ramadhani (Mahasiswa Psikologi UIN Ar-Raniry)
Foto: Dok. untuk INTIinspira


