Belajar Diam, Belajar Dekat: Catatan dari SLB-B YPAC Banda Aceh
INTIinspira - Sabtu pagi, 22 November 2025, kami—mahasiswa Program Studi Psikologi UIN Ar-Raniry—datang ke SLB-B YPAC di Gampong Keramat. Tidak ada ekspektasi khusus di kepala penulis saat itu.
Dalam bayangan penulis, kunjungan ini akan berjalan seperti kegiatan kunjungan biasa: datang, melihat-lihat, mencatat seperlunya, lalu pulang. Tapi sejak melangkah masuk ke lingkungan sekolah, perasaan itu sedikit demi sedikit berubah.
Kunjungan ini merupakan bagian dari mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dibimbing oleh Hari Santoso, S.Psi., M.Ed.
Secara tujuan, tentu ini kegiatan belajar. Tapi di lapangan, penulis merasa lebih seperti tamu yang sedang diajak masuk ke dunia yang selama ini hanya penulis tahu lewat buku dan slide presentasi.
SLB-B YPAC menaungi anak-anak dengan hambatan pendengaran dan bicara, dari jenjang SD sampai SMA. Namun, yang pertama kali penulis dapati bukanlah “hambatan”, melainkan anak-anak yang sibuk dengan dunianya sendiri—tertawa, berlarian kecil, saling menarik perhatian.
Sejujurnya, sebelum datang ke sana, penulis membawa banyak asumsi. Dalam pikiran penulis, anak-anak SLB akan tampak sangat berbeda, baik secara fisik maupun perilaku.
Tapi beberapa menit pertama berada di sana langsung membuyarkan bayangan itu. Mereka terlihat seperti anak-anak pada umumnya.
Kalau penulis tidak diberi tahu, mungkin penulis tidak akan menyadari bahwa sebagian besar dari mereka tidak bisa mendengar seperti kita.
Ada satu anak laki-laki di jenjang SD yang sejak awal benar-benar menarik perhatian. Penulis sampai “salah fokus”. Anak ini sangat aktif, ekspresif, dan terus bergerak ke sana ke mari. Jujur saja, dia juga tampan.
Dari situ, kepala penulis langsung dipenuhi pertanyaan: apa sebenarnya kekurangannya? Kenapa dia bersekolah di SLB? Tapi semua pertanyaan itu hanya berhenti di dalam kepala.
Dalam bayangan penulis, kunjungan ini akan berjalan seperti kegiatan kunjungan biasa: datang, melihat-lihat, mencatat seperlunya, lalu pulang. Tapi sejak melangkah masuk ke lingkungan sekolah, perasaan itu sedikit demi sedikit berubah.
Kunjungan ini merupakan bagian dari mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dibimbing oleh Hari Santoso, S.Psi., M.Ed.
Secara tujuan, tentu ini kegiatan belajar. Tapi di lapangan, penulis merasa lebih seperti tamu yang sedang diajak masuk ke dunia yang selama ini hanya penulis tahu lewat buku dan slide presentasi.
SLB-B YPAC menaungi anak-anak dengan hambatan pendengaran dan bicara, dari jenjang SD sampai SMA. Namun, yang pertama kali penulis dapati bukanlah “hambatan”, melainkan anak-anak yang sibuk dengan dunianya sendiri—tertawa, berlarian kecil, saling menarik perhatian.
Sejujurnya, sebelum datang ke sana, penulis membawa banyak asumsi. Dalam pikiran penulis, anak-anak SLB akan tampak sangat berbeda, baik secara fisik maupun perilaku.
Tapi beberapa menit pertama berada di sana langsung membuyarkan bayangan itu. Mereka terlihat seperti anak-anak pada umumnya.
Kalau penulis tidak diberi tahu, mungkin penulis tidak akan menyadari bahwa sebagian besar dari mereka tidak bisa mendengar seperti kita.
Ada satu anak laki-laki di jenjang SD yang sejak awal benar-benar menarik perhatian. Penulis sampai “salah fokus”. Anak ini sangat aktif, ekspresif, dan terus bergerak ke sana ke mari. Jujur saja, dia juga tampan.
Dari situ, kepala penulis langsung dipenuhi pertanyaan: apa sebenarnya kekurangannya? Kenapa dia bersekolah di SLB? Tapi semua pertanyaan itu hanya berhenti di dalam kepala.
Ada perasaan tidak enak untuk bertanya. Takut terdengar tidak sopan. Takut melukai. Akhirnya, penulis memilih diam dan mengamati.
Kami memulai kegiatan dengan berkumpul di aula. Karena hari itu jadwal olahraga, kami semua—mahasiswa, guru, dan siswa—ikut senam pagi bersama.
Gerakannya sederhana saja, tapi suasananya hangat. Tidak ada sekat yang jelas antara kami dan mereka. Kami bergerak bersama, tertawa bersama, kadang saling menunggu kalau ada yang tertinggal.
Di momen itu, penulis merasa tidak sedang berada di “tempat observasi”, tapi di ruang yang nyaman.
Sesi perkenalan kemudian dimulai. Beberapa siswa maju ke depan dan memperkenalkan diri menggunakan bahasa isyarat.
Penulis memperhatikan jari-jari mereka yang bergerak cepat, ekspresi wajah yang hidup, dan cara mereka saling menatap.
Kami mencoba mengikuti, meski sering salah menebak. Rasanya agak canggung, tapi juga menyenangkan.
Di situ penulis sadar, bahwa selama ini penulis terlalu bergantung pada suara, padahal mereka sudah terbiasa membangun makna dengan cara lain.
Dari semua siswa yang maju, dua siswa laki-laki kembar di jenjang SMA kembali mencuri perhatian penulis.
Mereka menyampaikan cita-cita ingin menjadi guru olahraga. Energi mereka terasa kuat, bahkan tanpa suara.
Kami memulai kegiatan dengan berkumpul di aula. Karena hari itu jadwal olahraga, kami semua—mahasiswa, guru, dan siswa—ikut senam pagi bersama.
Gerakannya sederhana saja, tapi suasananya hangat. Tidak ada sekat yang jelas antara kami dan mereka. Kami bergerak bersama, tertawa bersama, kadang saling menunggu kalau ada yang tertinggal.
Di momen itu, penulis merasa tidak sedang berada di “tempat observasi”, tapi di ruang yang nyaman.
Sesi perkenalan kemudian dimulai. Beberapa siswa maju ke depan dan memperkenalkan diri menggunakan bahasa isyarat.
Penulis memperhatikan jari-jari mereka yang bergerak cepat, ekspresi wajah yang hidup, dan cara mereka saling menatap.
Kami mencoba mengikuti, meski sering salah menebak. Rasanya agak canggung, tapi juga menyenangkan.
Di situ penulis sadar, bahwa selama ini penulis terlalu bergantung pada suara, padahal mereka sudah terbiasa membangun makna dengan cara lain.
Dari semua siswa yang maju, dua siswa laki-laki kembar di jenjang SMA kembali mencuri perhatian penulis.
Mereka menyampaikan cita-cita ingin menjadi guru olahraga. Energi mereka terasa kuat, bahkan tanpa suara.
Cara mereka berdiri dan berinteraksi membuat penulis spontan berpikir, “Kalau di sekolah umum, mereka pasti anak yang diandalkan.”
Anak-anak SD dan SMP terlihat nyaman berada di dekat mereka. Seperti ada peran tidak tertulis, dua kakak yang menjaga adik-adiknya. Hubungan mereka terasa erat, seperti keluarga.
Ada juga seorang siswi SMA yang ceritanya cukup membekas. Saat ditanya soal cita-cita, ia mengaku belum tahu ingin menjadi apa. Ia hanya bercerita tentang hobinya menjahit.
Guru-guru mengetahui itu dan mendukungnya. Tapi dari caranya bercerita, terlihat ada keraguan. Ia seperti menahan diri untuk bermimpi terlalu jauh.
Mendengar itu, saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ada rasa kagum, tapi juga ada rasa sesak yang sulit dijelaskan.
Semakin lama berada di sana, penulis semakin melihat betapa beragamnya karakter anak-anak di SLB-B YPAC. Ada yang sangat aktif dan membutuhkan kesabaran ekstra. Ada yang pendiam tapi tegas. Ada yang lembut dan sangat peduli pada sekitarnya.
Saat mereka duduk bersama di aula, peran-peran itu terlihat jelas tanpa perlu diatur. Yang lebih besar menjaga yang kecil. Yang lebih tenang menenangkan yang lain. Mereka saling memahami dengan caranya sendiri.
Kegiatan ditutup dengan sarapan bersama dan menyaksikan aktivitas olahraga, termasuk senam lantai.
Tawa kembali riyuh saat satu per satu siswa mencoba guling ke depan. Gerakannya tidak selalu rapi, tapi mereka melakukannya dengan berani.
Di akhir kegiatan, kami menyampaikan pesan motivasi sederhana. Tidak muluk-muluk, hanya tentang semangat dan menghargai diri sendiri.
Saat sesi foto bersama, penulis baru benar-benar merasa bahwa kunjungan ini meninggalkan kesan luar biasa. Bukan hanya pengetahuan, tapi perasaan yang sulit dirumuskan.
Pulang dari SLB-B YPAC, penulis membawa lebih dari sekadar catatan kuliah. Penulis membawa cara pandang baru—tentang keterbatasan, tentang komunikasi, dan tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih empati.
Penulis: Geubrina Salsabilla. Sy (Mahasiswa Psikologi Uin Ar- Raniry Banda Aceh)
Foto: Dok. Untuk INTIinspira
Anak-anak SD dan SMP terlihat nyaman berada di dekat mereka. Seperti ada peran tidak tertulis, dua kakak yang menjaga adik-adiknya. Hubungan mereka terasa erat, seperti keluarga.
Ada juga seorang siswi SMA yang ceritanya cukup membekas. Saat ditanya soal cita-cita, ia mengaku belum tahu ingin menjadi apa. Ia hanya bercerita tentang hobinya menjahit.
Guru-guru mengetahui itu dan mendukungnya. Tapi dari caranya bercerita, terlihat ada keraguan. Ia seperti menahan diri untuk bermimpi terlalu jauh.
Mendengar itu, saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ada rasa kagum, tapi juga ada rasa sesak yang sulit dijelaskan.
Semakin lama berada di sana, penulis semakin melihat betapa beragamnya karakter anak-anak di SLB-B YPAC. Ada yang sangat aktif dan membutuhkan kesabaran ekstra. Ada yang pendiam tapi tegas. Ada yang lembut dan sangat peduli pada sekitarnya.
Saat mereka duduk bersama di aula, peran-peran itu terlihat jelas tanpa perlu diatur. Yang lebih besar menjaga yang kecil. Yang lebih tenang menenangkan yang lain. Mereka saling memahami dengan caranya sendiri.
Kegiatan ditutup dengan sarapan bersama dan menyaksikan aktivitas olahraga, termasuk senam lantai.
Tawa kembali riyuh saat satu per satu siswa mencoba guling ke depan. Gerakannya tidak selalu rapi, tapi mereka melakukannya dengan berani.
Di akhir kegiatan, kami menyampaikan pesan motivasi sederhana. Tidak muluk-muluk, hanya tentang semangat dan menghargai diri sendiri.
Saat sesi foto bersama, penulis baru benar-benar merasa bahwa kunjungan ini meninggalkan kesan luar biasa. Bukan hanya pengetahuan, tapi perasaan yang sulit dirumuskan.
Pulang dari SLB-B YPAC, penulis membawa lebih dari sekadar catatan kuliah. Penulis membawa cara pandang baru—tentang keterbatasan, tentang komunikasi, dan tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih empati.
Penulis: Geubrina Salsabilla. Sy (Mahasiswa Psikologi Uin Ar- Raniry Banda Aceh)
Foto: Dok. Untuk INTIinspira


