Menghadapi Musibah dengan Kesadaran: Dari Duka ke Evaluasi

INTIinspira - Bencana yang menimpa kita akhir-akhir ini seharusnya menjadi cermin besar bagi bangsa ini. Di tengah kepedihan dan keresahan masyarakat, kita diajak untuk merenung bahwa musibah bukan sekadar peristiwa alam yang datang tiba-tiba, tetapi juga bagian dari ujian dan ketetapan Allah yang menyimpan pesan penting.

Namun, menerima bencana sebagai takdir bukan berarti kita mengabaikan penyebab yang lahir dari tangan kita sendiri. Justru di sinilah kita perlu jujur melihat bahwa ada peran manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi.

Jika kita mau jujur, kerusakan ekologis di negeri ini bukanlah hal baru. Hutan telah dibabat habis, baik secara legal maupun ilegal. Penambangan yang tak memperhatikan lingkungan terus dilakukan, seakan bumi ini tak memiliki batas kemampuan untuk pulih.

Sungai tercemar, tanah longsor, dan kawasan lindung berubah menjadi area perkebunan atau industri tanpa perencanaan berkelanjutan. Semua ini berlangsung bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, dan akhirnya masyarakat kecil menjadi korban paling pertama.

Mereka yang tinggal di pinggir hutan, di lereng gunung, di bibir sungai yang tak pernah merasakan hasil dari eksploitasi besar-besaran justru menjadi pihak yang menerima dampak paling berat.

Bencana yang kita lihat hari ini seolah-olah membuat gunung-gunung itu bersuara, mengatakan bahwa mereka tak lagi sanggup menahan beban kerusakan yang kita lakukan.

Air bah yang datang tiba-tiba, tanah yang bergerak tanpa peringatan, hingga kabut dan asap yang menutup langit, semuanya menjadi penanda bahwa alam sedang "membalas".

Kenyataan ini bukan dendam, tetapi konsekuensi dari hukum alam yang selama ini kita abaikan. Seperti sebuah wadah yang terus diisi tanpa pernah dikosongkan, pada akhirnya ia akan meluap dengan sendirinya.

Tak berhenti sampai di situ, kita juga harus menyoroti bagaimana keseriusan pemerintah pusat dalam menangani bencana ini.

Negara-negara lain menunjukkan kepedulian, mengulurkan tangan, bahkan menyiapkan bantuan untuk meringankan penderitaan masyarakat Indonesia.

Namun di tengah dukungan itu, justru muncul kabar bahwa ada pihak yang menolak sebagian bantuan dengan alasan kita mampu mengatasi sendiri. Tentu saja kita berharap penolakan tersebut bukanlah bentuk pencitraan atau cara untuk menghindari pengakuan atas kesalahan kebijakan masa lalu.

Ironi ini menjadi bahan pertanyaan bagi banyak pihak: apakah kita benar-benar sanggup menanganinya, ataukah kita sekadar gengsi mengakui bahwa kerusakan yang terjadi adalah hasil dari kelalaian kolektif yang tidak boleh dipertontonkan di mata dunia?

Melihat lebih jauh ke belakang, peringatan terhadap kerusakan alam sebenarnya telah datang sejak lama.

Pada tahun 2004, Hutan Hujan Tropis Sumatra diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia karena nilai ekologis dan keanekaragaman hayatinya yang luar biasa.

Namun hanya berselang beberapa tahun, tepatnya pada 2011, status itu berubah menjadi Warisan Dunia dalam Bahaya.

Perubahan status tersebut adalah alarm keras bahwa kerusakan sudah berada pada titik mengkhawatirkan.

Kebakaran hutan, ekspansi perkebunan, pembalakan liar, hingga pembangunan yang tidak terkontrol membuat kawasan itu semakin menurun kualitasnya. Dunia telah mengingatkan kita, namun kita memilih abai. Kita larut dalam hasil jangka pendek yang diperoleh dari eksploitasi alam, seolah-olah keuntungan finansial hari ini dapat menutupi kerugian ekologis di masa depan.

Sudah cukup, seharusnya semua ini menjadi pelajaran besar bagi kita. Alam adalah amanah dari Allah, dan kewajiban manusia adalah menjaganya, bukan merusaknya.

Dalam Surah Al-A’raf ayat 56, Allah telah memperingatkan agar manusia tidak melakukan kerusakan di muka bumi setelah Tuhan memperbaikinya.

Kini, harapan kita mengarah pada pemerintah agar mengambil langkah konkret, bukan hanya reaktif.

Bencana yang terjadi tidak cukup ditangani dengan bantuan logistik dan kunjungan pejabat. Yang lebih penting adalah evaluasi menyeluruh: memperbaiki tata kelola kehutanan, memperketat izin industri ekstraktif, memperbaiki tata ruang, hingga memperkuat edukasi masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan.

Tanpa langkah sistematis, kita hanya akan mengulang pola yang sama: bencana-penanganan-lupa-kemudian bencana lagi.

Sebagai masyarakat, kita pun memiliki peran penting. Bencana ini bukan hanya milik satu kelompok, daerah, atau pemerintah semata. Ini adalah bencana kita bersama.

Seorang muslim yang baik akan merasakan apa yang saudaranya rasakan. Ketika satu bagian tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan nyeri. Begitu pula ketika saudara-saudara kita dilanda ketakutan, kehilangan, dan kesedihan akibat bencana, maka kita pun seharusnya turut tersentuh.

Kita perlu terus berdoa, membantu semampu mungkin, dan mengulurkan tenaga untuk meringankan beban mereka.

Akhirnya, bangsa yang hebat bukanlah bangsa yang tidak pernah mengalami bencana, tetapi bangsa yang mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa.

Bukan hanya mengucapkan belasungkawa atau memberikan bantuan sesaat, melainkan melakukan evaluasi menyeluruh dan perubahan nyata agar kesalahan yang sama tidak berulang.

Semoga musibah ini menjadi titik balik bagi kita semua titik di mana kita kembali sadar bahwa alam bukanlah sesuatu yang bisa dieksploitasi tanpa batas, melainkan amanah yang harus dijaga demi generasi hari ini dan generasi yang akan datang.[]

Penulis: Muhammad Aulia (Mahasiswa Pascasarjana UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Sumatera Barat)
Foto: /
Pexels.com
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan