Mengapa Siswa Tidak Betah di Sekolah? Menemukan Jawabnya Bersama Totto-chan

Mengapa Belajar Tidak Lagi Menyenangkan

INTIinspira - Jika dilihat dari durasi waktu, sekolah sebenarnya telah menjadi rumah kedua bagi sebagian siswa. 

Namun ironisnya, rumah kedua ini tidak mereka rasakan sebagai rumah—melainkan sebagai tempat yang ingin cepat-cepat mereka tinggalkan.

Bel penanda pulang menjadi nada yang paling dinanti. Bahkan rapat guru pun kerap dianggap sebagai “hadiah” karena artinya mereka tidak perlu belajar di kelas. 

Tanggal merah pun tak kalah dirindukan. Saat melongok kalender dan di antara deretan angka itu ada warna merah, mereka cepat-cepat menandainya. Ada rasa girang karena hari itu bisa dihabiskan tanpa pergi ke sekolah.

Ketika akhirnya harus masuk kelas, sebagian siswa memilih keluar masuk dengan alasan ke WC, yang sebenarnya hanya menjadi jalan memutar menuju kantin untuk membeli jajanan. 

Belum selesai di situ, ada pula yang memang sudah menjadwalkan diri untuk tidak masuk—membolos saja. Saat ditanya alasannya, jawaban mereka hampir selalu sama, bosan. Belajarnya monoton, tidak terasa relevan dengan hidup mereka, dan yang paling membuat kesal adalah kewajiban duduk dari pagi hingga siang.

Fenomena-fenomena itu tentu hanya sebagian kecil. Jika mau diungkap seluruhnya, masih banyak kejadian serupa di ruang-ruang kelas yang disekat oleh empat sisi dinding itu. 

Namun, beberapa contoh di atas kiranya sudah cukup menunjukkan betapa sebagian siswa merasa terasing dari kegiatan belajar yang seharusnya menjadi bagian penting dalam pertumbuhan mereka.

Di sinilah aku sering bertanya pada diri sendiri: Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan pendidikan kita? 

Pertanyaan itu terus menggantung dan menetap di pikiranku selama beberapa tahun terakhir. Sebab pada dasarnya, kita semua berharap ruang kelas menjadi tempat di mana anak-anak belajar, bertumbuh, dan berkembang dengan ceria—tempat yang menyalakan rasa ingin tahu, tempat di mana mereka bisa menikmati setiap detik jatah hidup yang mereka miliki dengan bahagia.

Totto-chan: Sebuah Kontras yang Menggugah

Beberapa bulan lalu, aku menemukan sebuah ulasan buku di media sosial. Ulasan itu membuatku tertegun. Judulnya Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela

Setelah membaca ulasannya, segera aku ingin menyelami langsung isinya. Aku pun mencarinya ke sana kemari, hingga akhirnya menemukan versi e-book. 

Aku sangat berniat membeli bukunya suatu hari nanti, tetapi untuk sementara aku hanya bisa menikmati kisahnya lewat layar.

Waktu berlalu, dan buku itu sudah kutamatkan dua kali. Setiap membacanya, ada rasa haru yang sulit kujelaskan. 

Ternyata buku ini bukan fiksi, melainkan kisah nyata penulisnya—Tetsuko Kuroyanagi—yang semasa kecil dipanggil Totto-chan.

Bagi Totto-chan, sekolah adalah tempat yang begitu menyenangkan. Saking bahagianya, sebelum tidur pun ia memimpikan pagi esok untuk kembali ke sana. Ia merindukan sekolah setiap hari, seolah dia tidak ingin ada hari libur bersekolah.

Sosok yang paling dikaguminya adalah kepala sekolahnya—Sosaku Kobayashi—seorang yang mau mendengar ocehannya berjam-jam, sosok yang dengan penuh senyum mampu menerima segenap “keunikannya”. 

Setiap kali berpapasan, Kobayashi selalu menyapa dengan kalimat yang sama: “Kau anak baik, kau tahu itu, kan?” Kalimat itu diulang-ulang, hingga rasanya menjadi mantra yang perlahan membentuk cara Totto-chan memandang dirinya sendiri.

Yang mengharukan, Kobayashi mengatakan itu bukan karena Totto-chan selalu tertib, melainkan karena gadis kecil itu justru sering terseret dalam masalahnya sendiri—tersangkut di palang besi, tercebur ke bak pembuangan, atau mengotak-atik barang. 

Namun bagi Kobayashi, hal-hal itulah justru membuat Totto-chan istimewa. Ia melihat sisi lain dari murid kecilnya: empati pada teman-teman berkebutuhan khusus, kepedulian pada hewan-hewan terluka, dan kepolosan dalam memahami dunia.

Di sekolah itu, setiap persoalan diselesaikan langsung antara anak dengan guru-guru. Tidak ada panggilan orang tua, apalagi penghakiman. 

Perlahan, Kobayashi menanamkan keyakinan dalam diri Totto-chan bahwa ia adalah “anak baik”, sekalipun tidak selalu sesuai ekspektasi orang dewasa.

Selanjutnya, guru-guru di kelas menjadi pendamping penuh perhatian bagi proses belajarnya. 

Teman-teman sekelas pun sudah layaknya saudara: saling mendukung, bermain, dan berbagi cerita. Bahkan ketika salah satu temannya—Yasuaki-chan—meninggal dunia, kesedihan mereka begitu dalam, seolah kelas menjadi lumpuh tanpa kehadirannya.

Itulah sebabnya, segala sesuatu di sekolah itu membekas di hati Totto-chan. Baginya, sekolah adalah rumah yang hangat, aman, dan penuh kebahagiaan.

Membaca kisah itu membuat dadaku sesak. Aku bertanya-tanya, bisakah sekolah-sekolah di negeriku menjadi tempat di mana siswa merasakan kebahagiaan seperti yang dialami Totto-chan? 

Tidak harus persis, tentu saja. Tapi setidaknya, jangan sampai generasi bangsa itu merasa asing di tempat yang seharusnya mereka nikmati sebagai rumah kedua.

Namun aku tidak tahu, entah kapan harapan itu akan terwujud. Sampai hari ini, kita masih sering melihat hubungan guru–siswa lebih menyerupai relasi atasan dan bawahan, bos dan karyawan. Hubungan yang kaku, fungsional, dan penuh administrasi.

Ruang kelas pun sering kali menolak perbedaan, menertibkan spontanitas, serta membatasi ide-ide yang tidak seragam. 

Dalam beberapa kasus, jurang antara siswa dan guru bahkan jadi sesuatu mengerikan: ketegangan, kebencian, hingga aksi demo siswa terhadap gurunya.

Sementara itu, relasi antarsiswa juga tidak kalah pelik. Relasi yang terbangun bukan lagi tentang tumbuh bersama, tetapi tentang saling ingin menang sendiri. 

Tak jarang kita menyaksikan perundungan antarpelajar, konflik berkepanjangan seperti tawuran antar sekolah, bahkan insiden tragis yang merenggut nyawa—hal-hal yang seharusnya tak pernah terjadi di tempat mereka seharusnya bertumbuh sebagai manusia seutuhnya.

Entahlah. Jika kita sibuk mencari siapa yang salah, keadaan mungkin justru semakin keruh. Yang bisa kulakukan adalah terus berharap—dan mencoba melakukan hal-hal kecil yang—walau sederhana—setidaknya dapat menyumbang sebutir perubahan untuk perbaikan.

Langkah-langkah Kecil yang Bisa Kita Mulai

Sebagai pendidik, orang tua, atau siapa pun yang hatinya tergerak melihat kondisi pendidikan hari ini, sudah semestinya melakukan sesuatu. Tidak harus langkah besar—toh secara moral, usaha tidak diukur dari seberapa besar hasil yang tampak.

Aku teringat kisah seekor burung kecil yang berusaha memadamkan kobaran api yang membakar Nabi Ibrahim. Air yang dibawa dalam paruhnya hanya beberapa tetes, begitu sedikit hingga ditertawakan. Namun burung itu tetap melakukannya, karena ia tahu bahwa kelak akan jelas terlihat kepada siapa ia berpihak.

Belajar dari burung itu, kita pun bisa memulai dari hal-hal kecil. 

Bagi guru, bisa dimulai dengan membangun interaksi personal—menyapa siswa dengan hangat di awal kelas, menanyakan perasaan mereka, atau memberi ruang bagi mereka untuk sesekali bercerita. 

Guru juga dapat memberi sedikit fleksibilitas dalam ritme pembelajaran, seperti menyisipkan jeda, memberi kesempatan eksplorasi, atau menawarkan cara belajar alternatif.

Menghidupkan suasana kelas pun tidak harus dengan perubahan besar. Aktivitas-aktivitas sederhana seperti permainan kecil sebelum pelajaran dimulai, refleksi singkat, atau mengajak siswa berdiskusi, juga dapat menghangatkan suasana.

Di samping itu, orang tua juga punya peran penting. Orang tua bisa mulai dengan menghadirkan rumah sebagai ruang yang aman bagi anak untuk bercerita tentang apa yang mereka alami di sekolah. 

Mereka juga bisa mendampingi anak menemukan sisi menyenangkan dari belajar: membaca bersama, mengobrol tentang hal-hal yang memicu rasa ingin tahu, atau memberi apresiasi atas usaha kecil yang dilakukan anak.

Sementara itu, masyarakat—siapa pun—dapat berkontribusi dengan cara yang sederhana. Menghargai profesi guru, menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak, atau sekadar tidak membesarkan budaya yang meremehkan pendidikan. 

Hal-hal kecil seperti tidak mengejek anak yang bertanya, memuji kreativitas, atau memberi ruang bagi mereka bermain dan bereksplorasi pun termasuk kontribusi.

Yang tak kalah penting adalah memberi ruang bagi keunikan setiap anak. 

Ada anak yang sulit diam karena ia memang belajar lebih baik ketika bergerak. Ada pula yang tampak melamun, bisa jadi pikirannya sedang sibuk merangkai ide. Ada juga yang gemar bertanya karena rasa ingin tahunya besar, bukan untuk menguji guru. 

Karena itu, tergesa menilai sebuah “gangguan” sebagai masalah tentu tidaklah bijak; lihatlah terlebih dahulu potensi, kebutuhan, atau latar belakang yang mungkin melandasinya.

Penutup: Sebuah Harapan

Sekolah yang seharusnya menjadi ruang tumbuh justru sering terasa asing bagi anak-anak kita. Karena itu, kisah Totto-chan menghadirkan kembali keyakinan bahwa ruang belajar yang manusiawi benar-benar mungkin diwujudkan. 

Dari sanalah tampak bahwa perubahan dapat dimulai oleh siapa saja—guru, orang tua, atau masyarakat. 

Seperti burung kecil yang berusaha memadamkan api demi membela Ibrahim, mungkin usaha itu akan diremehkan. Namun kelak, akan jelas kepada siapa kita berpihak: kepada anak-anak bangsa, dan kepada harapan bahwa dunia belajar mereka bisa menjadi lebih hangat daripada hari ini.[]

Penulis: Arizul Suwar (Alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).

Foto: students-in-a-third-grade-class-at-centro-escolar-las-lajas-attend-to-their-class-assignments-576x384/Pixnio.com

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan