Mengapa Kita Rela Lelah? Belajar tentang Cinta dari Augustinus

INTIinspira - Augustinus, seorang Bapa Gereja abad pertengahan, ingin menjelaskan bahwa manusia tidak selalu memilih hal yang paling menyenangkan bagi tubuhnya. 

Kadang-kadang, manusia justru rela menahan rasa sakit, lelah, atau tidak nyaman demi mendapatkan sesuatu yang dianggap lebih penting dan lebih bernilai dalam hidupnya. 

Artinya, manusia mampu memilih tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar kenyamanan tubuh.

Untuk menjelaskan hal ini, Augustinus memberi contoh tentang seorang yang sangat mencintai uang, yang sering disebut orang kikir. 

Orang ini suka menumpuk uang dan sangat sayang untuk mengeluarkannya. 

Namun, meskipun ia mencintai uangnya, ia tetap mau membeli roti untuk dimakan. Mengapa? Karena ia sadar bahwa tanpa makanan, tubuhnya akan sakit atau bahkan mati. 

Jadi, dalam situasi ini, ia rela “mengorbankan” uang yang sangat ia cintai demi menjaga kesehatan tubuhnya. 

Dari contoh ini, Augustinus ingin menunjukkan bahwa manusia selalu membuat pilihan berdasarkan apa yang dianggap paling penting pada saat itu.

Dari contoh sederhana tersebut, kita bisa memahami bahwa manusia sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengatur cinta dan keinginannya. 

Kita tidak selalu mengikuti kesenangan tubuh. Banyak orang rela belajar keras, begadang, atau menahan lelah demi lulus ujian. 

Ada juga atlet yang rela merasakan sakit saat latihan demi meraih prestasi. Semua ini menunjukkan bahwa manusia bisa meninggalkan kenikmatan sesaat demi tujuan yang lebih besar.

Selanjutnya, Augustinus membawa pemikiran ini ke tingkat yang lebih dalam, yaitu tentang Tuhan. 

Menurutnya, jika manusia saja bisa meninggalkan kesenangan tubuh demi hal lain yang dianggap lebih penting, maka seharusnya manusia juga mampu mencintai Tuhan lebih dari apa pun. 

Tuhan, bagi Augustinus, adalah tujuan tertinggi hidup manusia. Karena itu, Tuhan harus dicintai lebih dari harta, kesenangan, bahkan lebih dari tubuh kita sendiri.

Augustinus juga mengatakan bahwa manusia seharusnya mencintai Tuhan lebih dari dirinya sendiri. 

Maksudnya bukan manusia tidak boleh mencintai diri sendiri, tetapi cinta kepada diri sendiri harus ditempatkan di bawah cinta kepada Tuhan. 

Jika cinta kepada diri sendiri lebih besar daripada cinta kepada Tuhan, maka manusia akan mudah menjadi egois dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

Selain itu, Augustinus menjelaskan bagaimana seharusnya kita mencintai sesama manusia. Ia mengatakan bahwa kita harus mencintai orang lain lebih dari tubuh kita sendiri. 

Pernyataan ini mungkin terdengar aneh atau sulit dipahami. Namun, maksudnya adalah bahwa yang paling berharga dalam diri manusia bukanlah tubuhnya, melainkan jiwanya. 

Tubuh bisa sakit, menua, dan mati. Tetapi jiwa adalah bagian diri manusia yang mampu mengenal, mencintai, dan menikmati Tuhan.

Menurut Augustinus, tubuh hanya bisa hidup karena adanya jiwa. Tanpa jiwa, tubuh tidak bisa melakukan apa-apa. Melalui jiwa, manusia bisa berdoa, berpikir, memilih yang baik, dan merasakan kehadiran Tuhan. 

Karena itu, ketika kita mencintai orang lain, yang terutama harus kita perhatikan adalah kebaikan jiwanya, bukan hanya penampilan fisiknya atau manfaat yang bisa kita ambil darinya.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa dijelaskan dengan contoh sederhana. 

Misalnya, kita punya teman yang sedang kesulitan. Mungkin membantu dia akan membuat kita lelah atau mengorbankan waktu bermain. 

Namun, jika kita tetap membantu dengan tulus, kita sedang menunjukkan bahwa kita lebih peduli pada kebaikan orang lain daripada kenyamanan tubuh kita sendiri. Itulah bentuk cinta yang lebih tinggi.

Relevansi pemikiran Augustinus sangat kuat dalam kehidupan masa kini. 

Di zaman sekarang, banyak orang sangat fokus pada tubuh: penampilan, makanan enak, hiburan, dan kenyamanan. 

Media sosial sering menampilkan gaya hidup mewah dan menyenangkan, sehingga orang mudah berpikir bahwa kebahagiaan hanya berasal dari tubuh yang nyaman dan hidup yang enak.

Namun, kenyataannya, tidak semua yang menyenangkan tubuh itu baik untuk hidup kita. 

Terlalu banyak bermain gawai, misalnya, memang menyenangkan, tetapi bisa membuat kita malas belajar dan sulit berkonsentrasi. 

Makan berlebihan juga enak, tetapi bisa merusak kesehatan. Di sini kita belajar bahwa mengikuti keinginan tubuh tanpa kendali tidak selalu membawa kebaikan.

Pemikiran Augustinus mengajak kita untuk belajar mengatur cinta dan keinginan kita. 

Kita perlu bertanya: apa yang paling penting dalam hidup saya? Apakah hanya kesenangan sesaat, atau nilai-nilai yang lebih dalam seperti kebaikan, kejujuran, dan iman kepada Tuhan?

Dalam konteks sekolah, siswa sering dihadapkan pada pilihan antara belajar dan bermain. 

Bermain tentu lebih menyenangkan bagi tubuh, tetapi belajar adalah investasi bagi masa depan. 

Ketika siswa memilih belajar meskipun lelah, ia sedang mempraktikkan prinsip yang dijelaskan Augustinus: meninggalkan kenyamanan tubuh demi tujuan yang lebih tinggi.

Akhirnya, Augustinus ingin mengingatkan bahwa hidup manusia akan menjadi lebih terarah jika cinta kita tertata dengan benar. 

Tuhan harus menjadi pusat dan tujuan utama. Dari cinta kepada Tuhan, lahirlah cinta yang benar kepada diri sendiri dan kepada sesama. 

Dengan begitu, manusia tidak diperbudak oleh kesenangan tubuh, tetapi hidup dengan tujuan, makna, dan harapan yang lebih besar.[]

Penulis: Abigail 
Ilustrasi: https://www.worldhistory.org/image/5333/st-augustine/
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan