Bebas, tapi Mengapa Justru Tertekan?

Pendapat yang berbeda mudah berubah menjadi pertengkaran. Kebebasan berbicara tidak selalu disertai kebebasan mendengarkan.
INTIinspira - Kebebasan sering dianggap sebagai hal yang paling diinginkan manusia. Kita ingin bebas memilih, bebas menentukan jalan hidup, bebas menjadi diri sendiri.

Sejak kecil, kita diajarkan bahwa kebebasan adalah tanda kedewasaan dan kemajuan. Namun anehnya, di tengah kebebasan yang semakin luas, banyak orang justru merasa bingung, cemas, dan tertekan.

Dari sinilah muncul apa yang disebut sebagai paradoks kebebasan.

Apa Itu Paradoks Kebebasan?

Paradoks kebebasan adalah kondisi ketika semakin banyak pilihan dan kebebasan yang dimiliki seseorang, justru semakin besar beban psikologis yang ia rasakan.

Kebebasan yang seharusnya membahagiakan malah berubah menjadi sumber kegelisahan.

Secara sederhana, paradoks ini terjadi karena kebebasan selalu datang bersama tanggung jawab.

Ketika pilihan sedikit, hidup terasa lebih sederhana. Tetapi ketika pilihan terlalu banyak, manusia dipaksa terus-menerus menentukan sikap, mengambil keputusan, dan menanggung akibatnya sendiri.

Tidak semua orang siap dengan beban ini.

Contoh mudah bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya saat memilih makanan. Ketika hanya ada satu atau dua menu, kita makan tanpa banyak berpikir. Namun ketika dihadapkan pada puluhan pilihan, kita bisa lama memilih, ragu, bahkan menyesal setelah memilih.

Pikiran terus bertanya, “Tadi seharusnya pilih yang lain, ya?”

Contoh lain adalah kebebasan berekspresi di media sosial.

Setiap orang bebas berpendapat, bebas mengunggah apa saja. Namun kebebasan ini juga melahirkan kecemasan: takut dinilai, takut diserang, takut salah bicara.

Akhirnya, banyak orang justru tidak merasa bebas, melainkan tertekan oleh pandangan orang lain.

Paradoks kebebasan juga tampak dalam kehidupan modern yang serba terbuka.

Kita bebas memilih gaya hidup, karier, bahkan identitas diri. Tetapi kebebasan ini sering membuat orang bingung: “Aku harus jadi apa?”, “Pilihan mana yang paling benar?” Ketika tidak ada batas yang jelas, manusia bisa kehilangan arah.

Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari

Paradoks kebebasan sangat nyata dalam kehidupan kita, baik sebagai pelajar, pekerja, maupun anggota masyarakat.

Bagi pelajar, kebebasan belajar sering dianggap sebagai kemajuan. Siswa bebas memilih jurusan, bebas mengakses informasi, bebas belajar dari mana saja. Namun kebebasan ini juga bisa membingungkan.

Banyak pelajar merasa tertekan karena harus menentukan masa depan sejak usia muda. Salah memilih jurusan dianggap sebagai kegagalan besar. Akhirnya, kebebasan memilih justru berubah menjadi sumber kecemasan.

Di sisi lain, kebebasan tanpa batas juga bisa membuat pelajar kehilangan disiplin. Ketika tidak ada aturan yang jelas, belajar menjadi tidak terarah. Kebebasan yang tidak diimbangi tanggung jawab justru merugikan diri sendiri.

Bagi pekerja, kebebasan bekerja semakin terbuka. Ada pilihan kerja fleksibel, kerja jarak jauh, bahkan menjadi pekerja lepas.

Sekilas, ini terlihat sangat membebaskan. Namun pada kenyataannya, banyak pekerja justru merasa tidak pernah benar-benar libur. Waktu kerja dan waktu istirahat bercampur. Tidak ada batas yang jelas.

Kebebasan bekerja berubah menjadi tuntutan untuk selalu siap dan selalu tersedia.

Dalam kehidupan masyarakat, kebebasan juga sering menimbulkan paradoks. Setiap orang bebas berpendapat, tetapi kebebasan ini kadang melahirkan konflik.

Pendapat yang berbeda mudah berubah menjadi pertengkaran. Kebebasan berbicara tidak selalu disertai kebebasan mendengarkan.

Akibatnya, ruang publik menjadi bising, tetapi miskin dialog.

Paradoks kebebasan juga dapat kita temukan dalam kehidupan beragama.

Manusia diberi kebebasan untuk beriman dengan kesadaran, bukan paksaan. Namun ketika kebebasan beragama dipahami secara sempit, ia bisa berubah menjadi pembenaran untuk merasa paling benar.

Orang merasa bebas menghakimi, bebas menyalahkan, bahkan bebas membenci atas nama keyakinan. Padahal, kebebasan beragama sejatinya bertujuan membentuk manusia yang rendah hati dan berakhlak baik.

Paradoks kebebasan tidak berarti kebebasan itu buruk. Kebebasan tetap penting dan berharga.

Masalahnya muncul ketika kebebasan dilepaskan dari nilai, batas, dan tanggung jawab. Kebebasan tanpa arah bisa membuat manusia tersesat. Kebebasan tanpa kesadaran bisa melahirkan kelelahan batin.

Kesadaran akan paradoks kebebasan mengajak kita untuk memahami bahwa tidak semua batas adalah penjara.

Dalam banyak hal, batas justru membantu manusia hidup lebih tenang. Aturan, nilai, dan komitmen bukanlah musuh kebebasan, melainkan penopangnya.

Pada akhirnya, kebebasan sejati bukanlah melakukan apa saja tanpa batas, melainkan kemampuan memilih dengan sadar dan bertanggung jawab.

Dengan memahami paradoks kebebasan, kita bisa belajar hidup lebih bijak: bebas tanpa kehilangan arah, merdeka tanpa melupakan tanggung jawab, dan memilih tanpa terus-menerus dihantui penyesalan.[]

Penulis: Arizul Suwar (Alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).

Ilustrasi: People in Astronaut Costumes Standing on a Field of Yellow Flowers/Pexels.com

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan