Menggugat Ekspektasi: Ketika Kebahagiaan Tidak Ditemukan di Luar Diri
Oleh: Arizul Suwar
Seorang karyawan kantor, sebut saja Budi, telah bekerja di tempat yang sama selama lima tahun. Setiap hari, dia duduk di belakang meja, mengerjakan laporan, menghitung angka, dan mematuhi perintah atasan.
Rutinitas yang sama terus berulang. "Aku bosan," keluhnya suatu malam kepada istrinya, "Semua ini terasa seperti mesin yang berputar tanpa tujuan."
Dalam benaknya, pekerjaan lain, yang lebih dinamis dan menantang, pasti akan lebih memuaskan.
Suatu hari, teman lamanya, Andi, muncul dengan tawaran menarik. "Aku baru saja memulai sebuah start-up," kata Andi, "Kenapa kamu nggak gabung? Gajinya memang belum terlalu besar, tapi prospeknya menjanjikan." Budi, tanpa pikir panjang, menerima tawaran itu. Dia resign dari pekerjaannya dan bergabung dengan perusahaan start-up milik Andi.
Beberapa bulan kemudian, semuanya berubah dengan cepat. Perusahaan Andi berhasil menembus pasar dan meraih kesuksesan.
Gaji Budi melonjak, jam kerjanya lebih fleksibel, dan waktu luangnya melimpah. Dia bahkan bisa bekerja dari kafe atau dari rumah tanpa merasa terikat oleh aturan kaku.
Namun, satu sore di sebuah warung kopi, saat duduk bersama Andi, Budi tiba-tiba menghela napas panjang. "Anehnya, aku sudah dapat apa yang dulu aku inginkan," ujarnya, menatap secangkir kopi yang mulai dingin. "Pekerjaan yang nggak monoton, gaji yang jauh lebih besar, dan waktu luang yang banyak. Tapi... kok aku nggak merasa bahagia ya?"
Andi, yang sibuk mengetik di laptopnya, berhenti sejenak dan menatap Budi. "Mungkin masalahnya bukan di pekerjaan atau rutinitas itu sendiri," jawabnya pelan. "Tapi di dalam diri kita. Apa kita benar-benar tahu apa yang kita cari? Apa kebahagiaan itu cuma soal materi dan kenyamanan?"
Budi terdiam. Dalam pikirannya, ia mulai merenung. Semua ekspektasi yang dulu ia gantungkan pada perubahan besar ini ternyata tak mampu memenuhi kekosongan di hatinya.
Mungkin, masalahnya bukan pada pekerjaan lama atau baru, melainkan pada dirinya yang tak pernah betul-betul memahami apa arti kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
Di sinilah letak ironi yang tak terhindarkan dalam hidup manusia. Ketika seseorang mendambakan kebebasan dari kebosanan, ia seringkali lupa bahwa yang lebih penting dari sekadar perubahan lingkungan atau rutinitas adalah pemahaman mendalam tentang diri. Apa yang ia cari, sejatinya bukan berada di luar dirinya.
Rasa puas, bahagia, atau bahkan makna, tidak datang dari hal-hal eksternal semata, tapi lebih dari dialog batin yang ia bangun dengan dirinya sendiri.
Dan Budi, seperti kebanyakan dari kita, sedang berdiri di simpang jalan, antara mimpi yang dulu ia kejar dan kenyataan yang kini ia jalani.
Pada akhirnya, hidup adalah tentang mencari dan menemukan. Namun, dalam pencarian itu, kita sering terjebak oleh ekspektasi-ekspektasi yang, tanpa kita sadari, hanyalah bayangan dari apa yang sebenarnya kita butuhkan.
Kegelisahan yang dialami Budi adalah cerminan dari pergulatan eksistensial manusia di dunia modern.
Monoton, dalam hal ini, adalah sebuah fenomena yang tidak hanya terjadi pada pekerjaan semata, melainkan pada kehidupan secara keseluruhan.
Nietzsche mengungkapkan bahwa manusia sering terjebak dalam moralitas budak—di mana seseorang tidak lagi mendefinisikan kebahagiaan dan makna hidup dari dalam diri, melainkan dari apa yang disodorkan oleh norma-norma eksternal, seperti rutinitas, karier, atau bahkan kesuksesan material.
Dalam konteks ini, Budi adalah personifikasi dari manusia modern yang menggantungkan ekspektasinya pada perbaikan keadaan eksternal.
Bagi Budi, keluar dari pekerjaan monoton adalah solusi instan untuk meraih kebahagiaan. Namun, ia lupa bahwa kebahagiaan tidak terletak pada perubahan rutinitas semata.
Bagi Budi, keluar dari pekerjaan monoton adalah solusi instan untuk meraih kebahagiaan. Namun, ia lupa bahwa kebahagiaan tidak terletak pada perubahan rutinitas semata.
Budi mungkin merasa bahwa dengan pindah ke pekerjaan baru, yang menawarkan lebih banyak kebebasan dan kenyamanan, ia akan menemukan kebahagiaan yang ia idamkan.
Tetapi, ketika ekspektasi itu bertemu dengan kenyataan, ia mendapati bahwa perasaan hampa masih terus menghantuinya. Ini sejalan dengan gagasan bahwa manusia, dalam mengejar kebahagiaan, sering terjebak dalam siklus ekspektasi yang tak berujung.
Mereka lupa bahwa kebahagiaan, seperti yang dipaparkan oleh Viktor Frankl, hanya bisa ditemukan melalui makna yang lebih mendalam—sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh materi atau rutinitas baru.
Kegagalan Budi untuk menemukan kebahagiaan dalam pekerjaan barunya bukanlah cerminan dari kesalahan dalam memilih karier, melainkan kegagalan untuk memahami kebutuhan batinnya.
Sebagai manusia, kita cenderung mengasosiasikan kebahagiaan dengan kenyamanan, kemudahan, atau kebebasan dari tanggung jawab, namun ironisnya, semakin besar kenyamanan yang kita dapatkan, seringkali semakin jauh kita dari rasa puas yang sejati.
Mungkin, dalam pencariannya akan kebahagiaan, Budi tidak sedang membutuhkan pekerjaan baru atau gaji yang lebih besar, melainkan sebuah makna yang lebih besar untuk hidupnya.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagiaan tidak semata soal menghindari kebosanan atau mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman.
Sebaliknya, kebahagiaan mungkin hanya akan muncul ketika kita mampu berdamai dengan diri sendiri, mengintegrasikan rutinitas, tantangan, dan bahkan penderitaan ke dalam narasi pribadi yang bermakna.
Kebosanan, dalam pengertian ini, bukanlah sesuatu yang harus dilawan, tetapi sesuatu yang harus dipahami—karena mungkin, justru di dalam kebosanan itu, kita akan menemukan pemicu untuk pertumbuhan yang sejati.
Pada akhirnya, kebahagiaan tidak bisa dicapai melalui jalan pintas atau sekadar perubahan situasi eksternal. Kita, seperti Budi, perlu berhadapan dengan dilema ini dan menyadari bahwa yang benar-benar kita cari mungkin bukan pekerjaan yang tidak monoton, tetapi pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri. []