Bukan Hanya Sekadar Guru: Menyelami Peran “Nanny” di SLB TNCC Banda Aceh

INTIinspira – Kunjungan ke SLB TNCC (The Nanny Children Center) Banda Aceh menjadi pengalaman yang meninggalkan kesan mendalam. 

Bukan sekadar agenda akademik, kunjungan ini justru membuka ruang perenungan tentang makna pendidikan yang sesungguhnya, khususnya bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Pada Rabu (19/11/2025), mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry berkesempatan mengunjungi SLB TNCC dalam rangka mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, didampingi oleh Harri Santoso, S.Psi., M.Ed.

Kehadiran rombongan disambut hangat oleh Kepala SLB TNCC Banda Aceh, DM. Ria Hidayati, S.Psi., M.Ed., bersama para pendamping kelas yang di sekolah ini dikenal dengan sebutan nanny.

Sejak melangkahkan kaki ke lingkungan sekolah, suasana yang terasa bukan hanya ruang belajar formal, melainkan ruang yang sarat dengan nilai kesabaran, empati, dan dedikasi.

Setelah pengarahan singkat dari kepala sekolah, mahasiswa dibagi ke beberapa kelas untuk melakukan observasi langsung.

Bersama tiga rekan lainnya, penulis mendapat tugas mengamati kelas IV tingkat SD—sebuah ruang kecil dengan dinamika yang luar biasa kaya.

Potret Kelas Kecil dengan Tujuh Dunia yang Berbeda

Kelas IV SD di SLB TNCC memiliki tujuh siswa dengan karakteristik yang sangat beragam.

Di kelas ini terdapat dua anak dengan Down Syndrome, satu anak dengan autisme, satu anak dengan gangguan regulasi emosi, dua anak dengan sensory distracting disorder, satu anak tunagrahita, serta satu anak dengan speech delay.

Setiap anak membawa dunia, kebutuhan, dan cara berinteraksi yang berbeda.

Kelas ini didampingi oleh dua orang nanny, Liza dan Nisa. Mengamati interaksi di dalamnya terasa seperti menyaksikan tujuh dunia kecil yang berjalan berdampingan.

Ada anak yang sangat aktif secara motorik, ada yang cenderung pasif dan membutuhkan pendekatan khusus, ada pula yang sensitif terhadap suara dan sentuhan.

Di tengah kompleksitas tersebut, kedua nanny hadir sepenuh hati: membimbing dengan sabar, mengarahkan dengan lembut, menenangkan ketika emosi anak tidak stabil, dan memberi semangat dalam langkah-langkah kecil pembelajaran.

Mengapa Disebut “Nanny”, Bukan “Guru”?

Rasa penasaran muncul ketika menyadari bahwa pendamping kelas di SLB TNCC tidak disebut “guru”, melainkan “nanny”. Pertanyaan itu akhirnya terjawab melalui percakapan singkat dengan salah satu nanny.

“Kami di sini bukan hanya sebagai tenaga pengajar, tetapi sebagai pendidik,” ujar Nanny Liza dengan nada tenang namun penuh keyakinan.

Kalimat sederhana itu terasa sangat bermakna. Sebagai pengajar, seseorang mungkin berfokus pada penyampaian materi akademik seperti membaca, menulis, atau berhitung.

Namun sebagai pendidik, peran yang dijalankan jauh melampaui itu: membimbing perilaku, menanamkan nilai, membentuk kemandirian, serta mendampingi proses tumbuh kembang anak secara menyeluruh.

Di SLB TNCC, sebutan nanny merupakan cerminan peran yang dijalani setiap hari.

Para nanny tidak hanya hadir di kelas untuk menyampaikan pelajaran, lalu selesai. Mereka terlibat dalam hampir seluruh aspek kehidupan anak selama berada di sekolah.

Pendidikan yang Menyentuh Hal Paling Dasar

Salah satu hal paling mengesankan dari penjelasan para nanny adalah bahwa tugas mereka tidak berhenti pada pembelajaran akademik.

Pendidikan di SLB TNCC menyentuh hal-hal paling mendasar dalam kehidupan anak seperti belajar berwudhu, melaksanakan shalat, makan dengan tertib, menyikat gigi, hingga bersikap saat berada di kamar mandi.

Bagi anak berkebutuhan khusus, keterampilan-keterampilan dasar ini tidak selalu berkembang secara otomatis.

Mereka memerlukan contoh yang konsisten, pengulangan yang sabar, dan pendampingan yang penuh perhatian.

Dalam proses inilah peran nanny menjadi sangat krusial. Mereka hadir dalam momen-momen kecil yang kerap dianggap sepele, tetapi sesungguhnya sangat menentukan bagi kemandirian dan harga diri anak.

Mengajarkan wudhu dan shalat berarti menanamkan nilai spiritual. Mengajarkan makan dan menjaga kebersihan diri berarti membangun kemandirian dan kesadaran kesehatan. 

Mendampingi anak di kamar mandi berarti mengajarkan batasan, privasi, dan penghargaan terhadap tubuh sendiri.

Relasi Hangat di Balik Tugas yang Tidak Ringan

Selama observasi berlangsung, terlihat jelas bahwa hubungan antara nanny dan siswa bukan sekadar relasi formal-administratif pendidik dan peserta didik.

Ada kedekatan emosional yang terbangun melalui hal-hal sederhana: cara memanggil nama anak dengan suara lembut, pelukan saat anak mulai menangis, kesabaran saat menghadapi tantrum, hingga pujian kecil ketika anak berhasil melakukan satu langkah sederhana.

Bagi anak-anak dengan Down Syndrome, autisme, atau tunagrahita, kelekatan dengan figur dewasa yang konsisten menjadi fondasi rasa aman.

Rasa aman inilah yang memungkinkan mereka berani mencoba, belajar, dan perlahan mengembangkan kemampuan. Di sini, nanny hadir layaknya orang tua kedua selama anak berada di sekolah.

Interaksi tersebut mengingatkan bahwa pendidikan yang efektif tidak pernah terlepas dari relasi yang hangat dan penuh kasih.

Di tengah situasi yang sering kali menantang—anak yang menangis, berteriak, atau menolak mengikuti instruksi—para nanny tetap memilih hadir dengan kesabaran yang luar biasa.

Tugas mereka jelas tidak ringan, tetapi justru di sanalah nilai kemanusiaan pendidikan tampak paling nyata.

Pelajaran Berharga bagi Calon Pendidik

Bagi mahasiswa dan calon pendidik, pengalaman di SLB TNCC menjadi ruang refleksi yang sangat berharga.

Teori-teori tentang anak berkebutuhan khusus, strategi pembelajaran, dan pendidikan karakter yang selama ini dipelajari di ruang kelas terasa hidup ketika disaksikan langsung di lapangan.

Setidaknya ada tiga pelajaran penting yang dapat dipetik.

Pertama, menjadi pendidik berarti siap melampaui batas definisi “mengajar” yang sempit.

Di hadapan anak, khususnya anak berkebutuhan khusus, pendidik dipanggil untuk hadir sebagai pembimbing, pengasuh, teladan, sekaligus sahabat belajar.

Kedua, pendidikan yang bermakna tidak hanya berlangsung melalui buku dan papan tulis, tetapi juga melalui rutinitas harian yang sederhana.

Ketiga, empati dan kesabaran bukan sekadar konsep indah, melainkan keterampilan nyata yang harus terus diasah.

Pada akhirnya, pengalaman singkat di kelas IV SLB TNCC menunjukkan bahwa pendidikan sejatinya bukan tentang angka dan nilai ujian semata, melainkan tentang bagaimana membantu setiap anak—dengan segala keterbatasan dan keunikannya—tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri, bermartabat, dan merasa dicintai.

Dan di balik proses itu, ada sosok-sosok nanny yang bekerja tanpa kenal lelah, dan memberi dampak besar bagi masa depan anak-anak yang mereka dampingi.

Penulis: Fathi Thahirah. A (Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Foto: Dok. untuk INTIinspira
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan