Ulasan Buku Generasi Cemas: Kala Smartphone Melahirkan Generasi Cemas
INTIinspira - Kehadiran smartphone dan media sosial telah membawa gegap gempita kemajuan umat manusia, dengan kehadirannya manusia kini mampu saling berinteraksi, memperoleh informasi, memproduksi konten, dan mereproduksi postingan.
Sejak tahun 2010-an ke atas, media sosial Instagram, Twitter, Tiktok, dan lain-lain telah menjadi konsumsi anak muda, dan sekarang telah menjadi konsumsi anak-anak.
Perlahan kita melihat munculnya sebuah generasi baru, yang dikenal dengan generasi Z.
Generasi ini dikagumi karena kemampuannya dalam menguasai teknologi informasi, mereka multitasking, siap menyambut gegap gempita perkembangan zaman.
Memiliki akun media sosial adalah hal penting, mengikuti apa yang tren adalah hal yang tak boleh ditinggalkan, update story adalah cara mereka menampilkan eksistensi diri, dan ada banyak konten yang bisa dinikmati.
Namun, entah kenapa kita melihat generasi yang rapuh, generasi yang sensitif, atau dalam buku Jonathan Haidth disebut generasi cemas.
Generasi Cemas karya Jonathan Haidth ini mengulas kenapa media sosial telah mengubah sikap anak-anak dan remaja dalam berinteraksi, dan bagaimana seharusnya kita memberikan ruang sosial untuk anak-anak dan remaja.
Anak-anak sebelum kehadiran smartphone dan media sosial, memasuki dunia bermain, langsung berjumpa dan berinteraksi dengan teman sebayanya.
Memiliki akun media sosial adalah hal penting, mengikuti apa yang tren adalah hal yang tak boleh ditinggalkan, update story adalah cara mereka menampilkan eksistensi diri, dan ada banyak konten yang bisa dinikmati.
Namun, entah kenapa kita melihat generasi yang rapuh, generasi yang sensitif, atau dalam buku Jonathan Haidth disebut generasi cemas.
Generasi Cemas karya Jonathan Haidth ini mengulas kenapa media sosial telah mengubah sikap anak-anak dan remaja dalam berinteraksi, dan bagaimana seharusnya kita memberikan ruang sosial untuk anak-anak dan remaja.
Anak-anak sebelum kehadiran smartphone dan media sosial, memasuki dunia bermain, langsung berjumpa dan berinteraksi dengan teman sebayanya.
Mereka kadang jatuh ketika bermain, kadang bertengkar dengan temannya, kadang menangis karena bermain, tapi itulah yang membuat generasi itu tangguh.
Kehidupan bersosial langsung, membuat generasi ini tumbuh dan memahami bahwa ada banyak hal yang terjadi kala manusia saling berinteraksi.
Hari ini kita melihat anak-anak sampai remaja, disibukan dengan smartphone dan media sosial. Anak-anak lebih sibuk melakukan permainan di smartphone, mereka bermain Mobile Legend, Free Fire, Roblox, dan lain-lain.
Sebuah permainan yang non wujud, tidak mempertemukan diri mereka dengan orang lain, dan dalam permainan tersebut tidak dibatasi umur, maka tak jarang anak-anak belajar bahasa caci maki yang dilontarkan dalam permainan.
Permainan ini pun dimanfaatkan predator untuk mengeksploitasi anak-anak, seperti game Roblox yang dimanfaatkan predator untuk melakukan adegan tak pantas kepada pemain anak-anak.
Media sosial telah mengubah sikap remaja, pada remaja perempuan, mereka kini bisa membandingkan diri mereka dengan berbagai remaja perempuan lainnya, perasaan minder pun menghantui.
Dengan sengaja media sosial menyuguhkan filter agar remaja perempuan bisa menampilkan dirinya secantik mungkin, dan smartphone menyediakan kamera depan agar bisa selfie terus menerus.
Hal ini menimbulkan rasa cemas bagai remaja perempuan. Belum lagi kerentanan remaja perempuan yang gampang dieksploitasi oleh remaja laki-laki dan predator.
Remaja perempuan dipaksa mengirim foto-foto yang tak pantas, hal ini membuat remaja perempuan rentan.
Kehidupan bersosial langsung, membuat generasi ini tumbuh dan memahami bahwa ada banyak hal yang terjadi kala manusia saling berinteraksi.
Hari ini kita melihat anak-anak sampai remaja, disibukan dengan smartphone dan media sosial. Anak-anak lebih sibuk melakukan permainan di smartphone, mereka bermain Mobile Legend, Free Fire, Roblox, dan lain-lain.
Sebuah permainan yang non wujud, tidak mempertemukan diri mereka dengan orang lain, dan dalam permainan tersebut tidak dibatasi umur, maka tak jarang anak-anak belajar bahasa caci maki yang dilontarkan dalam permainan.
Permainan ini pun dimanfaatkan predator untuk mengeksploitasi anak-anak, seperti game Roblox yang dimanfaatkan predator untuk melakukan adegan tak pantas kepada pemain anak-anak.
Media sosial telah mengubah sikap remaja, pada remaja perempuan, mereka kini bisa membandingkan diri mereka dengan berbagai remaja perempuan lainnya, perasaan minder pun menghantui.
Dengan sengaja media sosial menyuguhkan filter agar remaja perempuan bisa menampilkan dirinya secantik mungkin, dan smartphone menyediakan kamera depan agar bisa selfie terus menerus.
Hal ini menimbulkan rasa cemas bagai remaja perempuan. Belum lagi kerentanan remaja perempuan yang gampang dieksploitasi oleh remaja laki-laki dan predator.
Remaja perempuan dipaksa mengirim foto-foto yang tak pantas, hal ini membuat remaja perempuan rentan.
Dari data riset Jonathan Haidth, banyak remaja perempuan akhirnya depresi dan berakhir melukai diri sendiri, karena ada perasaan tidak berharga.
Pada remaja laki-laki, video game dan situs porno, telah membuat mereka candu. Kita bisa lihat sekarang betapa banyak remaja laki-laki menghabiskan waktunya untuk bermain video game, dari pagi hingga larut malam.
Bahkan aktivitas ini telah mengganggu tidur mereka, dan ikut serta mengganggu kala pembelajaran berlangsung, hingga sering tidak fokus.
Begitupun dengan situs porno yang bisa diakses remaja laki-laki, membuat mereka candu, apalagi saat sendirian di dalam kamar tanpa pengawasan orang tua.
Pada remaja laki-laki, video game dan situs porno, telah membuat mereka candu. Kita bisa lihat sekarang betapa banyak remaja laki-laki menghabiskan waktunya untuk bermain video game, dari pagi hingga larut malam.
Bahkan aktivitas ini telah mengganggu tidur mereka, dan ikut serta mengganggu kala pembelajaran berlangsung, hingga sering tidak fokus.
Begitupun dengan situs porno yang bisa diakses remaja laki-laki, membuat mereka candu, apalagi saat sendirian di dalam kamar tanpa pengawasan orang tua.
Perasaan tidak berharga pun muncul dari remaja laki-laki. Dalam riset Jonathan Haidth, remaja ini pun berakhir melakukan bunuh diri.
Situasi generasi ini sebenarnya memasuki fase berbahaya, beberapa negara maju telah membuat regulasi soal usia yang diperbolehkan menggunakan smartphone dan memiliki akun media sosial.
Dalam buku ini, Jonathan Haidt, merekomendasikan usia 16 tahun adalah usia remaja diperbolehkan menggunakan smartphone, karena sebelum usia 16 tahun, remaja masih belum memiliki kontrol diri.
Jonathan Haidth, melarang keras anak-anak bermain smartphone, karena sangat mengganggu perkembangan anak, yang seharusnya anak-anak berada di mode eksplorasi kini berada di mode bertahan akibat smartphone.
Sering kita lihat, fenomena anak-anak yang sensitif, bahkan gampang emosi ketika ditegur orang tuanya, hal ini diakibatkan smartphone, padahal anak-anak seharusnya dibiarkan tumbuh tanpa smartphone, agar dia bisa dalam mode eksplorasi memahami segala emosi diri.
Dalam buku ini, Jonathan Haidth merekomendasikan sekolah tanpa ponsel. Dia melakukan riset ini di sekolah, saat kepala sekolah mengeluh karena banyak anak-anak yang mengalami kecemasan.
Dia pun menyarankan agar anak-anak tidak diperbolehkan menggunakan ponsel, alhasil setelah beberapa bulan, kecemasan pada anak-anak menurun, mereka pun sering berinteraksi dengan teman sekelasnya, dan bermain bersama.
Mengatasi munculnya generasi cemas, perlu kerja kolektif.
Situasi generasi ini sebenarnya memasuki fase berbahaya, beberapa negara maju telah membuat regulasi soal usia yang diperbolehkan menggunakan smartphone dan memiliki akun media sosial.
Dalam buku ini, Jonathan Haidt, merekomendasikan usia 16 tahun adalah usia remaja diperbolehkan menggunakan smartphone, karena sebelum usia 16 tahun, remaja masih belum memiliki kontrol diri.
Jonathan Haidth, melarang keras anak-anak bermain smartphone, karena sangat mengganggu perkembangan anak, yang seharusnya anak-anak berada di mode eksplorasi kini berada di mode bertahan akibat smartphone.
Sering kita lihat, fenomena anak-anak yang sensitif, bahkan gampang emosi ketika ditegur orang tuanya, hal ini diakibatkan smartphone, padahal anak-anak seharusnya dibiarkan tumbuh tanpa smartphone, agar dia bisa dalam mode eksplorasi memahami segala emosi diri.
Dalam buku ini, Jonathan Haidth merekomendasikan sekolah tanpa ponsel. Dia melakukan riset ini di sekolah, saat kepala sekolah mengeluh karena banyak anak-anak yang mengalami kecemasan.
Dia pun menyarankan agar anak-anak tidak diperbolehkan menggunakan ponsel, alhasil setelah beberapa bulan, kecemasan pada anak-anak menurun, mereka pun sering berinteraksi dengan teman sekelasnya, dan bermain bersama.
Mengatasi munculnya generasi cemas, perlu kerja kolektif.
Pemerintah harus secepatnya membuat regulasi batas usia pengguna media sosial. Sekolah harus menerapkan larangan penggunaan ponsel. Sedang orang tua bersama dengan orang tua lainnya, melarang anak menggunakan ponsel, dan biarkan anak tumbuh sehat dengan bermain sesama temannya.[]
Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)
Foto: Dok. untuk INTIinspira
Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)
Foto: Dok. untuk INTIinspira


