Seulangké dan Tantangan Kontekstualisasi Adat dalam Masyarakat Aceh Masa Kini

buku seulangke

Gambaran Umum dan Orientasi Buku Seulangké

Ada satu kutipan hadih maja yang muncul di awal buku Seulangké (Adat Perkawinan Aceh) karya Teuku Dadek. Bunyi kutipannya adalah:

“Ta eu boh kayè ba' watè meubungong,
Ta kalon inong bè' saja rupa;
Carong inong ceudah jimeungui,
Beujroh peurangui malém agama”

Kutipan ini menjadi salah satu pintu masuk untuk memahami orientasi buku Seulangké, yang secara umum membahas landasan dan praktik adat dalam perkawinan Aceh.

Jika mengikuti pengelompokan Mortimer Adler dan Charles van Doren dalam How to Read a Book, buku Seulangké termasuk buku praktis. Artinya, buku ini memberi panduan tentang bagaimana sesuatu dilakukan. Dalam hal ini, bagaimana adat perkawinan Aceh dijalankan.

Buku dengan ketebalan enam belas halaman pendahuluan dan sembilan puluh dua halaman isi ini, disusun dengan rapi dan sederhana. Penulis menjelaskan tujuh belas tahap adat perkawinan Aceh.

Tahapannya dimulai dari Meurisé’, Ja' Keumalon/Cah Rot, Meulakèe, Due’ Pakat Pihak Keluarga Dara Barö, Ranub Kong Haba, Ja’ Ba Tanda, Ranup Pakat, Jo’ Bu Tuhè, Peungui Teumpat, Khatam Al-Qur’an, Meugaca, Manoe Puco’, Meugatip, Walimah, Intat Lintö, Tueng Dara Barö, dan Bubar Panitia.

Agar mudah diikuti, buku yang diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Aceh Barat ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian Prapernikahan. Lalu bagian tentang Walimah atau kenduri. Setelah itu, ada bagian yang membahas rincian bentuk. Terakhir, ada bagian mengenai tata cara peusijuk. Pembagian ini membuat pembaca mengikuti alurnya dengan mudah tanpa kebingungan.

Dalam bagian Iftihah, penulis menjelaskan latar belakang penyusunan buku ini.

Menurutnya, perubahan dan modifikasi adat perkawinan di Aceh Barat yang dipengaruhi perkembangan zaman menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya unsur-unsur asli tradisi.

Padahal, keaslian itu penting untuk dipertahankan karena menjadi ciri khas atau kekhususan adat Aceh. Karena itu, buku Seulangké disusun sebagai pedoman agar rangkaian adat perkawinan tetap lestari dan tidak kehilangan bentuk dasarnya.

Setelah membaca keseluruhan isi, tampak bahwa salah satu keunggulan buku ini terletak pada bahasanya yang ringan, mengalir, dan langsung pada pokok persoalan. Tidak ada bagian yang terasa bertele-tele.

Buku yang diterbitkan tahun 2018 ini juga memperkaya wawasan tentang adat perkawinan Aceh, terutama bagi generasi Z yang mungkin tidak lagi akrab dengan tradisi tersebut. Selain itu, Seulangké dapat menjadi pedoman yang praktis bagi siapa pun yang akan melaksanakan prosesi perkawinan dalam masyarakat Aceh.

Keterbatasan Buku dan Tantangan Kontekstualisasi Adat

Namun, di balik semua kelebihannya—sebagaimana kodratnya sebuah karya tulis—tentu ada kekurangan. Salah satu kelemahan penting yang perlu dicatat ialah bahwa buku Seulangké pada dasarnya bersifat normatif-deskriptif. Ia hanya memotret ketentuan adat dalam perkawinan Aceh sebagai sesuatu yang statis, sebagaimana yang diwariskan oleh generasi terdahulu.

Padahal, ketika kita berbicara tentang ketentuan adat, kita sebenarnya sedang merujuk pada aturan-aturan yang lahir dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pada masa lalu—masa yang tentu saja tidak lagi sama dengan hari ini.

Di sinilah persoalannya muncul. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Aceh hari ini telah berubah secara signifikan, mulai dari gaya hidup yang lebih praktis, meningkatnya biaya hidup, hingga ritme kerja yang lebih cepat.

Semua perubahan ini berpengaruh langsung pada pelaksanaan adat. Beberapa tahapan dipersingkat, dimodifikasi, atau bahkan ditinggalkan karena dianggap tidak lagi relevan atau terlalu membebani.

Dalam situasi seperti ini, memberikan penjelasan serta pemaknaan yang memadai terhadap setiap praktik adat menjadi sangat penting. Masyarakat perlu mengetahui bukan hanya soal apa yang dilakukan, tetapi juga mengapa hal itu dilakukan.

Dengan itu, horizon pemahaman masyarakat dapat terisi sehingga mereka tidak menjalankan adat sekadar sebagai rutinitas tanpa makna, serta mereka dapat merasa terhubung secara batin dengan tradisi yang dijalankan.

Hal ini sekaligus juga menjadi langkah antisipasi untuk menghindari sikap apatis masyarakat terhadap adat, terutama di kalangan generasi muda. Proses rasionalisasi pun diperlukan, terutama bagi generasi Z yang tumbuh dalam budaya kritis dan tidak mudah menerima doktrin hanya karena “itu sudah tradisi”. Mereka membutuhkan argumentasi, penjelasan, dan konteks yang logis.

Tanpa upaya rasionalisasi tersebut, tidak menutup kemungkinan bila adat kemudian dicap sebagai aktivitas yang kuno, memberatkan, tidak masuk akal, atau bahkan—dalam beberapa kasus—dianggap perbuatan syirik. Alih-alih dipahami sebagai warisan budaya yang hidup, adat justru berpotensi diposisikan sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mirisnya, indikasi-indikasi semacam itu semakin sering muncul akhir-akhir ini.

Ada persoalan lain yang tidak kalah penting, yakni bagaimana kepakeman adat dipahami sebagai instrumen, bukan sebagai tujuan dari pernikahan itu sendiri. Adat perkawinan sejatinya berfungsi sebagai perangkat pendukung—kerangka kultural yang memperindah, memperkaya, dan memberi makna pada proses penyatuan dua insan. Namun dalam praktiknya, kepakeman adat adakalanya diposisikan seolah-olah ia adalah tujuan utama, sehingga keberhasilan sebuah pernikahan dianggap bergantung pada kelengkapan seluruh tahapan adat semata.

Ketika hal ini terjadi, sejumlah masalah kerap muncul. Tekanan sosial untuk melaksanakan adat secara “lengkap” sering kali membuat keluarga terbebani, baik oleh biaya tinggi, prosesi tambahan yang tidak esensial, maupun hal-hal yang lebih dipengaruhi gengsi ketimbang kebutuhan substantif.

Karena itu, penting bagi buku seperti Seulangké untuk membahas ruang negosiasi adat, mengingat dalam praktik sehari-hari tidak semua tahapan dapat dijalankan secara sempurna dan sering memerlukan penyesuaian.

Dari sini tampak bahwa buku Seulangké sangat kuat dalam menggambarkan adat sebagaimana diwariskan, tetapi masih terbatas dalam memberikan ruang dialog bagi perubahan dan penyesuaian yang terjadi dalam masyarakat Aceh masa kini.

Ketegangan antara tradisi yang kaya tahapan dan gaya hidup masyarakat kini yang serba ringkas inilah yang menjadi tantangan mendasar hari ini. Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana kedua kecenderungan tersebut dapat dipertemukan? Bagaimana adat tetap lestari tanpa harus memberatkan, dan bagaimana modernitas dapat hadir tanpa menanggalkan identitas kultural? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini semestinya turut menjadi perhatian dalam penulisan buku seperti Seulangké.

Pada akhirnya, kita berharap di masa mendatang akan muncul penulis-penulis yang melanjutkan upaya penting seperti yang telah diusahakan oleh Teuku Dadek.

Penulisan tentang adat memiliki nilai historis dan kultural yang besar, tetapi akan menjadi jauh lebih lengkap bila mampu mengelaborasikan sisi normatif tradisi dengan dinamika masyarakat. Sehingga adat dipahami bukan sebagai aturan yang baku dan beku, melainkan sebagai praktik budaya yang senantiasa bernegosiasi dengan realitas kehidupan masyarakat.[]


Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).
Foto: Dok. Pribadi for INTIinspira.
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan