Ketika Guru Kehilangan Kesadaran Kritis: Menyingkap Penindasan Sistem Pendidikan
INTIinspira - Paulo Freire, seorang filsuf di bidang pendidikan, membagi kesadaran masyarakat ke dalam tiga kategori.
Pertama, kesadaran mistis, yakni keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah merupakan takdir. Kedua, kesadaran naif, yang menganggap bahwa peristiwa atau kondisi buruk terjadi semata karena kesalahan individu. Ketiga, kesadaran kritis, yaitu kesadaran bahwa terdapat ketidakadilan dalam sistem sosial yang menyebabkan penindasan.
Pemikiran Paulo Friere baru aku ketahui selama kuliah di Jogja. Selama menempuh pendidikan di jurusan pendidikan, nama Freire bahkan tidak pernah disebut—apalagi mempelajari karya-karyanya. Tidak satu pun dosen yang menyinggung namanya sebagai tokoh penting dalam pendidikan.
Tokoh yang diperkenalkan kepada kami hanya John Dewey dengan gagasan learning by doing, Benjamin S. Bloom dengan taksonominya, serta Jean Piaget dengan teori perkembangan kognitif. Nama Paulo Friere tak pernah aku dengan sama sekali.
Ketika akhirnya aku mendengar pemikirannya, aku begitu terpukau. Bahkan, ada beberapa buku yang ternyata terinspirasi oleh pemikiran Freire, seperti Guru: Mendidik Itu Melawan! dan Orang Miskin Dilarang Sekolah!, keduanya ditulis oleh Eko Prasetyo.
Buku “Guru: Mendidik Itu Melawan!” menguliti soal isu kesejahteraan guru dan apa yang sebaiknya guru ajarkan di sekolah.
Dalam buku tersebut, Eko Prasetyo membandingkan kondisi guru yang serba kekurangan dengan para pejabat tamak yang hanya mementingkan diri sendiri, dan ironinya itu terjadi sampai saat ini.
Bahkan di dunia pendidikan, nama Paulo Freire masih belum populer, dan istilah kesadaran kritis belum menjadi pemahaman umum.
Padahal, kesadaran kritis sangat penting bagi guru, terutama terkait isu kesejahteraan. Posisi guru yang tertindas tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan individu, melainkan akibat sistem sosial, ekonomi, dan politik yang tidak berpihak pada mereka.
Gaji guru jauh dari kata layak, sedang tuntutan guru tak pernah ada habisnya. Berbagai sistem yang dibangun justru seringkali menambah beban, bukan mendukung.
Beban administrasi yang begitu besar, misalnya, membuat guru kesulitan fokus pada tugas utama mereka untuk memberikan pendidikan dan pembelajaran yang bermakna.
Selain beban administratif yang menumpuk, ruang gerak guru juga semakin sempit karena tekanan sosial dan regulasi.
Padahal, kesadaran kritis sangat penting bagi guru, terutama terkait isu kesejahteraan. Posisi guru yang tertindas tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan individu, melainkan akibat sistem sosial, ekonomi, dan politik yang tidak berpihak pada mereka.
Gaji guru jauh dari kata layak, sedang tuntutan guru tak pernah ada habisnya. Berbagai sistem yang dibangun justru seringkali menambah beban, bukan mendukung.
Beban administrasi yang begitu besar, misalnya, membuat guru kesulitan fokus pada tugas utama mereka untuk memberikan pendidikan dan pembelajaran yang bermakna.
Selain beban administratif yang menumpuk, ruang gerak guru juga semakin sempit karena tekanan sosial dan regulasi.
Undang-Undang Perlindungan Anak kini kerap dijadikan alat bagi orang tua untuk melaporkan guru ketika anak diberi hukuman atau bahkan sekadar ditegur. Seolah terdapat kesenjangan persepsi antara orang tua dan guru.
Tidak jarang guru dilaporkan kepada pihak berwajib tanpa melalui klarifikasi dari sekolah terlebih dahulu. Orangtua dengan buru-buru melaporkan guru ke pihak wajib.
Seolah guru hanya dipandang "pembantu" yang apabila memberikan hukuman, maka bisa dilaporkan. Padahal guru harusnya menjadi kawan bagi orang tua, untuk saling bekerjasama mendidik anak.
Situasi ini menunjukkan bahwa sistem sosial, budaya, dan politik masih menekan posisi guru. Apalagi dengan slogan "jadi guru harus ikhlas, jangan mengharap gaji" atau bilang "jika ingin kaya ya jadi pedagang bukan guru".
Slogan yang seolah indah tapi meninabobokan kenyataan. Padahal, negara maju yang menaruh perhatian pada pendidikan justru memberikan penghargaan yang layak bagi guru.
Dengan begitu, guru dapat fokus mengajar tanpa harus pusing memikirkan sumber penghasilan tambahan.
Program-program pemerintah saat ini pun belum sepenuhnya berpihak pada guru; sebagian justru menjadi beban. Salah satu contoh adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang malah menimbulkan sejumlah masalah.
Banyak siswa dilaporkan mengalami keracunan, dan salah satu solusi yang diusulkan pemangku kebijakan adalah meminta guru mencicipi makanan terlebih dahulu sebelum dibagikan.
Tugas ini semakin menambah beban guru, apalagi mereka juga diminta membereskan tempat makan siswa—padahal hal tersebut semestinya menjadi tanggung jawab petugas MBG.
Dalam film dokumenter Dirty Vote 2 dijelaskan secara rinci bahwa program MBG (Makan Bergizi Gratis) menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama TNI dan Polri.
Tidak jarang guru dilaporkan kepada pihak berwajib tanpa melalui klarifikasi dari sekolah terlebih dahulu. Orangtua dengan buru-buru melaporkan guru ke pihak wajib.
Seolah guru hanya dipandang "pembantu" yang apabila memberikan hukuman, maka bisa dilaporkan. Padahal guru harusnya menjadi kawan bagi orang tua, untuk saling bekerjasama mendidik anak.
Situasi ini menunjukkan bahwa sistem sosial, budaya, dan politik masih menekan posisi guru. Apalagi dengan slogan "jadi guru harus ikhlas, jangan mengharap gaji" atau bilang "jika ingin kaya ya jadi pedagang bukan guru".
Slogan yang seolah indah tapi meninabobokan kenyataan. Padahal, negara maju yang menaruh perhatian pada pendidikan justru memberikan penghargaan yang layak bagi guru.
Dengan begitu, guru dapat fokus mengajar tanpa harus pusing memikirkan sumber penghasilan tambahan.
Program-program pemerintah saat ini pun belum sepenuhnya berpihak pada guru; sebagian justru menjadi beban. Salah satu contoh adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang malah menimbulkan sejumlah masalah.
Banyak siswa dilaporkan mengalami keracunan, dan salah satu solusi yang diusulkan pemangku kebijakan adalah meminta guru mencicipi makanan terlebih dahulu sebelum dibagikan.
Tugas ini semakin menambah beban guru, apalagi mereka juga diminta membereskan tempat makan siswa—padahal hal tersebut semestinya menjadi tanggung jawab petugas MBG.
Dalam film dokumenter Dirty Vote 2 dijelaskan secara rinci bahwa program MBG (Makan Bergizi Gratis) menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama TNI dan Polri.
Entah bagaimana, aparat justru terlibat dalam pelaksanaan program ini melalui struktur Badan Gizi Nasional (BGN), yang banyak diisi oleh mantan jenderal. Padahal, jika ditelusuri, mereka tidak memiliki kompetensi di bidang gizi.
Maka, tidak mengherankan bila program ini justru menimbulkan banyak kasus keracunan di kalangan siswa, akibat tata kelola yang buruk dan orientasi keuntungan semata. Situasi ini juga dimanfaatkan oleh para politisi dengan menjadi penyedia bahan pangan bagi MBG.
Belum usai urusan MBG, ketika muncul keluhan mengenai rendahnya kompetensi guru, pemerintah justru menghadirkan Smart TV—yang pada akhirnya menjadi proyek baru. Padahal, yang dibutuhkan adalah peningkatan kapasitas guru.
Lebih jauh lagi, sebelum menuntut guru berkompeten, kesejahteraan mereka harus dipenuhi terlebih dahulu. Sudah seharusnya ada standar upah minimum bagi guru, termasuk yang berstatus honorer.
Jika pemerintah atau pihak sekolah tidak mampu memenuhi hal tersebut, lebih baik hentikan saja proses rekrutmen guru, daripada mereka terus-menerus diabaikan.
Melihat banyaknya tuntutan dan beban yang harus dipikul, rasanya ingin melarang setiap anak yang bercita-cita menjadi guru. Bahkan, tidak perlu memilih jurusan pendidikan, karena masa depan profesi ini terlihat suram.
Lagi pula, menurut undang-undang, menjadi guru tidak mensyaratkan gelar sarjana kependidikan; cukup lulusan S-1. Artinya, untuk menjadi guru seseorang tidak harus kuliah di fakultas pendidikan.
Barangkali menurunnya minat generasi muda untuk menjadi guru dapat menjadi penanda bahwa profesi ini membutuhkan perhatian serius. Penurunan minat ini bisa menjadi bentuk kesadaran kolektif bahwa peran guru selama ini diabaikan, namun tuntutan terhadapnya terus bertambah.[]
Maka, tidak mengherankan bila program ini justru menimbulkan banyak kasus keracunan di kalangan siswa, akibat tata kelola yang buruk dan orientasi keuntungan semata. Situasi ini juga dimanfaatkan oleh para politisi dengan menjadi penyedia bahan pangan bagi MBG.
Belum usai urusan MBG, ketika muncul keluhan mengenai rendahnya kompetensi guru, pemerintah justru menghadirkan Smart TV—yang pada akhirnya menjadi proyek baru. Padahal, yang dibutuhkan adalah peningkatan kapasitas guru.
Lebih jauh lagi, sebelum menuntut guru berkompeten, kesejahteraan mereka harus dipenuhi terlebih dahulu. Sudah seharusnya ada standar upah minimum bagi guru, termasuk yang berstatus honorer.
Jika pemerintah atau pihak sekolah tidak mampu memenuhi hal tersebut, lebih baik hentikan saja proses rekrutmen guru, daripada mereka terus-menerus diabaikan.
Melihat banyaknya tuntutan dan beban yang harus dipikul, rasanya ingin melarang setiap anak yang bercita-cita menjadi guru. Bahkan, tidak perlu memilih jurusan pendidikan, karena masa depan profesi ini terlihat suram.
Lagi pula, menurut undang-undang, menjadi guru tidak mensyaratkan gelar sarjana kependidikan; cukup lulusan S-1. Artinya, untuk menjadi guru seseorang tidak harus kuliah di fakultas pendidikan.
Barangkali menurunnya minat generasi muda untuk menjadi guru dapat menjadi penanda bahwa profesi ini membutuhkan perhatian serius. Penurunan minat ini bisa menjadi bentuk kesadaran kolektif bahwa peran guru selama ini diabaikan, namun tuntutan terhadapnya terus bertambah.[]
Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)
Foto: Romario/Dok. untuk INTIinspira
Foto: Romario/Dok. untuk INTIinspira


