Ketika Politik Kehilangan Nurani
INTIinspira - Kalau kita pikir-pikir, politik itu seharusnya menjadi jalan untuk menegakkan keadilan dan menyejahterakan rakyat.
Tapi kenyataannya, terutama di negeri kita, politik sering terasa dingin, kaku, bahkan kadang kejam.
Banyak rakyat kecil yang kalau mendengar kata “politik,” langsung teringat pada janji-janji manis yang ujung-ujungnya tidak ditepati.
Kalau ditanya siapa yang salah, saya rasa bukan sistemnya. Demokrasi itu bagus kalau dijalankan dengan hati yang benar. Tapi masalahnya, banyak orang yang duduk di kursi kekuasaan justru lupa nurani.
Mereka sibuk mencari keuntungan pribadi, bukan memikirkan bagaimana rakyat bisa hidup lebih baik. Di situlah letak masalah utamanya.
Nepotisme sudah seperti penyakit lama yang tidak kunjung sembuh. Dari pusat sampai ke daerah, dari birokrasi sampai partai politik, selalu ada cerita tentang jabatan yang “turun-temurun” ke keluarga atau kerabat.
Nepotisme sudah seperti penyakit lama yang tidak kunjung sembuh. Dari pusat sampai ke daerah, dari birokrasi sampai partai politik, selalu ada cerita tentang jabatan yang “turun-temurun” ke keluarga atau kerabat.
Kadang yang mendapat posisi bukan karena kemampuan, tetapi karena hubungan darah atau kedekatan dengan orang penting. Saya sering melihat di berita, ada pejabat baru tetapi ternyata anak atau saudara dari pejabat sebelumnya. Rasanya seperti lingkaran yang tidak pernah putus.
Padahal, kalau melihat buku Democracy for Sale karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot, demokrasi seharusnya memberi ruang bagi semua warga negara untuk berpartisipasi secara adil.
Padahal, kalau melihat buku Democracy for Sale karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot, demokrasi seharusnya memberi ruang bagi semua warga negara untuk berpartisipasi secara adil.
Tapi kenyataan di Indonesia justru sebaliknya. Kekuasaan berputar di antara kelompok yang sama, sementara rakyat hanya menjadi penonton.
Pemimpin berbicara tentang moral di depan kamera, tapi di belakang layar justru melakukan hal yang bertolak belakang. Tidak heran jika banyak orang menganggap politik di Indonesia kejam.
Secara teori, politik itu alat untuk mengatur kebijakan demi kebaikan bersama. Tapi seperti kata Gabriel Almond, sistem sebaik apa pun akan rusak kalau dijalankan oleh orang yang kehilangan arah moral.
Secara teori, politik itu alat untuk mengatur kebijakan demi kebaikan bersama. Tapi seperti kata Gabriel Almond, sistem sebaik apa pun akan rusak kalau dijalankan oleh orang yang kehilangan arah moral.
Saya sangat setuju, karena tanpa nurani, kekuasaan hanya akan menjadi alat untuk menindas yang lemah. Lihat saja hukum di negeri kita. Kalau rakyat kecil bersalah, cepat sekali diproses. Tapi kalau yang bersalah pejabat, urusannya bisa hilang entah ke mana.
Mungkin ini yang membuat rakyat semakin muak. Banyak yang merasa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Akibatnya, rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah perlahan-lahan hilang.
Robert Dahl pernah mengatakan, demokrasi akan gagal kalau pemerintah tidak mau mendengarkan suara rakyat. Dan itulah yang kita rasakan hari ini. Rakyat berteriak, tapi penguasa seolah pura-pura tuli. Mereka sibuk dengan pidato dan citra, sementara kenyataan di lapangan tidak berubah.
Robert Dahl pernah mengatakan, demokrasi akan gagal kalau pemerintah tidak mau mendengarkan suara rakyat. Dan itulah yang kita rasakan hari ini. Rakyat berteriak, tapi penguasa seolah pura-pura tuli. Mereka sibuk dengan pidato dan citra, sementara kenyataan di lapangan tidak berubah.
Janji reformasi sudah terlalu sering kita dengar, tapi nepotisme tetap tumbuh hanya berganti wajah. Dulu bentuknya kolusi terang-terangan, sekarang menjadi dinasti politik dan sistem titip-menitip jabatan.
Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 hanya 34 dari 100. Artinya, kita masih sangat jauh dari kata bersih. Tidak heran kalau banyak yang pesimis terhadap politik.
Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 hanya 34 dari 100. Artinya, kita masih sangat jauh dari kata bersih. Tidak heran kalau banyak yang pesimis terhadap politik.
Saya sendiri sering berpikir, kenapa negara sebesar ini, dengan sumber daya yang melimpah, malah sering dikuasai oleh segelintir orang yang lupa tanggung jawab moral?
Namun saya percaya, harapan belum habis. Masih banyak orang baik di negeri ini yang mau memperjuangkan keadilan. Politik tidak perlu diganti sistemnya, tapi manusianya yang harus dibenahi.
Namun saya percaya, harapan belum habis. Masih banyak orang baik di negeri ini yang mau memperjuangkan keadilan. Politik tidak perlu diganti sistemnya, tapi manusianya yang harus dibenahi.
Hukum harus ditegakkan dengan adil, tanpa pandang bulu. Jabatan publik seharusnya diisi oleh orang yang benar-benar berkompeten, bukan karena hubungan keluarga.
Media dan masyarakat juga memiliki peran penting. Kita tidak boleh diam. Kritik itu perlu selama tujuannya membangun. Demokrasi hanya bisa hidup kalau rakyat berani bersuara dan penguasa mau mendengar.
Yang paling penting menurut saya adalah pendidikan politik sejak dini. Anak muda harus diajarkan bahwa politik bukan hanya tentang kekuasaan, tapi juga tentang tanggung jawab moral.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed pernah mengatakan, pendidikan yang membebaskan akan melahirkan masyarakat yang sadar dan berani melawan ketidakadilan. Itulah yang kita butuhkan sekarang, yakni masyarakat yang sadar dan berani.
Demokrasi tidak akan hidup hanya dari pemilu dan pidato, tapi dari kejujuran dan ketulusan dalam bekerja untuk rakyat. Selama jabatan masih dianggap warisan, politik akan tetap kejam.
Tapi kalau rakyat berani bersuara, media terus mengawasi, dan anak muda tidak takut melawan sistem yang busuk, saya yakin politik bisa berubah menjadi alat kebaikan. Karena politik sejati bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang paling tulus bekerja untuk rakyat.[]
Penulis: Saudah (Mahasiswi prodi Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan Universitas Abulyatama)
Ilustrasi: Citizens protest/Pexels.com


