Seberapa Penting Jurusan Pendidikan
INTIinspira - Jurusan kuliah yang paling banyak diminati adalah jurusan pendidikan.
Kita bisa menjumpai di kampus-kampus banyak sekali jurusan pendidikan, mulai dari Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Matematika, dan lainnya.
Selesai dari kuliah jurusan pendidikan ini, mahasiswa berkeinginan untuk menjadi guru.
Masalahnya, sarjana nonpendidikan pun diperbolehkan menjadi guru, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 bahwa syarat menjadi guru hanya berijazah S-1. Hingga berhamburanlah guru di berbagai negeri.
Banyak guru juga tidak kompeten, bukan hanya dari jurusan nonpendidikan, tetapi juga guru yang berasal dari jurusan pendidikan.
Guru tidak pernah menjadi profesi yang prestisius, apalagi dipandang serius oleh pemerintah.
Padahal, negara maju seperti Finlandia memiliki perhatian besar terhadap guru. Untuk bisa kuliah di keguruan, calon mahasiswa dihadapkan dengan berbagai tes yang hanya bisa lolos 10–15% orang. Kemudian, untuk bisa menjadi guru, minimal berpendidikan S-2.
Dengan kompetensi yang tinggi, guru di Finlandia digaji layak. Menariknya, guru di sana tidak fokus pada administrasi, tetapi fokus pada bagaimana mengajar murid, bahkan tidak ada pekerjaan rumah (PR).
Sedangkan di sini, siapa pun bisa menjadi guru tanpa peduli apakah dari jurusan pendidikan atau bukan. Untuk bisa masuk ke jurusan pendidikan pun tidak ada tes yang serius, semua bisa kuliah di jurusan pendidikan asalkan membayar SPP.
Pengalaman saya selama kuliah di jurusan pendidikan adalah membosankan.
Banyak dosen yang sibuk mengajukan teori tanpa menghubungkannya dengan realitas. Terlalu banyak teori bagus, tetapi nihil penerapan.
Guru dikatakan harus mengajak siswa aktif dalam belajar, menggunakan media yang menarik, menjadi guru yang profesional, dan berbagai teori lainnya. Lalu menjelang pengerjaan skripsi, banyak yang berakhir menjadi sampah dan kertas pembungkus gorengan.
Di kampus saya, jurusan pendidikan selalu menggunakan judul “Upaya Guru...” yang berderet puluhan di rak perpustakaan. Yang diteliti pun hal-hal yang tidak penting, tentang metode ini atau strategi itu.
Bahkan kampus terlihat tak peduli dengan skripsi yang dikerjakan mahasiswa, hanya sebagai formalitas kampus saja.
Skripsi yang bertumpuk akhirnya berubah menjadi sampah, tidak ada pemikiran baru tentang apa yang harus dilakukan ketika menghadapi permasalahan di sekolah.
Setelah melanjutkan kuliah ke jenjang selanjutnya, barulah saya menyadari bahwa riset penelitian bisa saja mengulas masalah pendidikan yang nyata, bukan berkutat pada konsep-konsep pendidikan yang tidak menyelesaikan apa pun.
Penelitian tentang pendidikan bisa saja mengulas persoalan gaji guru dan motivasi mengajar, bahwa rendahnya gaji guru akan memengaruhi kualitas guru dalam mengajar.
Lalu beranjak lagi meneliti seberapa penting pergantian kurikulum dan apa dampak buruknya bagi dunia pendidikan dan guru.
Bahwa pergantian kurikulum tidak pernah menyelesaikan masalah pendidikan, malah menambah beban guru dalam mengajar.
Gaji yang rendah serta kurikulum yang berganti-ganti hanya membuat kualitas pendidikan semakin menurun.
Jika sudah selesai, penelitian juga bisa membahas soal sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah—apakah sekolah di kota dan di desa sudah merata.
Penelitian dapat menggambarkan betapa terjadi ketimpangan antara sekolah kota dan sekolah desa. Apa yang membuat hal ini tidak merata? Apakah karena sistem pendidikan yang mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah siswa, lalu memberikan bantuan dalam bentuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah)? Maka sistem seperti itu perlu dipertanyakan karena tidak membuat sarana dan prasarana menjadi merata.
Bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan sekadar untuk mendapatkan pekerjaan, lalu selesai begitu saja, melainkan pendidikan adalah proses memberikan kesadaran, terutama kesadaran kritis.
Adanya kesadaran kritis inilah yang perlu ditumbuhkan dalam dunia pendidikan.
Kesadaran kritis ini bisa dihubungkan dengan masalah politik: mengapa banyak pejabat yang korupsi, mengapa para dewan yang terpilih tidak peduli terhadap rakyat ketika sudah menjabat, dan mengapa masih ada politik uang.
Adanya kesadaran kritis memberikan pemahaman bahwa ada yang salah dari sistem politik dan hal itu harus dilawan.
Masyarakat yang memiliki kesadaran kritis tidak akan memilih dewan yang sejak awal tidak peduli jika kelak mendapat jabatan, serta menolak ketika suaranya hendak dibeli begitu saja, dan seterusnya.
Selama ini kesadaran masyarakat hanya berada dalam kesadaran mistis dan kesadaran naif.
Kesadaran mistis menganggap bahwa sudah takdirnya kehidupan politik Indonesia seperti ini, sedangkan kesadaran naif tahu bahwa ada yang salah dari sistem politik, tetapi merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Pendidikan seharusnya membangkitkan kesadaran kritis bahwa perubahan bisa dilakukan.
Ironisnya, yang mengalami kesadaran mistis dan kesadaran naif justru kebanyakan mahasiswa pendidikan itu sendiri.
Mereka menganggap bahwa sudah takdirnya pendidikan Indonesia bermasalah, atau beranggapan bahwa memang ada masalah dalam pendidikan, tetapi merasa tak sanggup mengubahnya.
Seharusnya mahasiswa pendidikan memiliki kesadaran kritis untuk bergerak mengubah sistem yang selama ini keliru.[]
Banyak guru juga tidak kompeten, bukan hanya dari jurusan nonpendidikan, tetapi juga guru yang berasal dari jurusan pendidikan.
Guru tidak pernah menjadi profesi yang prestisius, apalagi dipandang serius oleh pemerintah.
Padahal, negara maju seperti Finlandia memiliki perhatian besar terhadap guru. Untuk bisa kuliah di keguruan, calon mahasiswa dihadapkan dengan berbagai tes yang hanya bisa lolos 10–15% orang. Kemudian, untuk bisa menjadi guru, minimal berpendidikan S-2.
Dengan kompetensi yang tinggi, guru di Finlandia digaji layak. Menariknya, guru di sana tidak fokus pada administrasi, tetapi fokus pada bagaimana mengajar murid, bahkan tidak ada pekerjaan rumah (PR).
Sedangkan di sini, siapa pun bisa menjadi guru tanpa peduli apakah dari jurusan pendidikan atau bukan. Untuk bisa masuk ke jurusan pendidikan pun tidak ada tes yang serius, semua bisa kuliah di jurusan pendidikan asalkan membayar SPP.
Pengalaman saya selama kuliah di jurusan pendidikan adalah membosankan.
Banyak dosen yang sibuk mengajukan teori tanpa menghubungkannya dengan realitas. Terlalu banyak teori bagus, tetapi nihil penerapan.
Guru dikatakan harus mengajak siswa aktif dalam belajar, menggunakan media yang menarik, menjadi guru yang profesional, dan berbagai teori lainnya. Lalu menjelang pengerjaan skripsi, banyak yang berakhir menjadi sampah dan kertas pembungkus gorengan.
Di kampus saya, jurusan pendidikan selalu menggunakan judul “Upaya Guru...” yang berderet puluhan di rak perpustakaan. Yang diteliti pun hal-hal yang tidak penting, tentang metode ini atau strategi itu.
Harusnya yang Diriset dalam Pendidikan
Pada awalnya saya kira, untuk apa mengerjakan skripsi jika akhirnya hanya menjadi sampah. Ternyata yang salah selama ini adalah cara mahasiswa itu sendiri memperlakukan skripsi.Bahkan kampus terlihat tak peduli dengan skripsi yang dikerjakan mahasiswa, hanya sebagai formalitas kampus saja.
Skripsi yang bertumpuk akhirnya berubah menjadi sampah, tidak ada pemikiran baru tentang apa yang harus dilakukan ketika menghadapi permasalahan di sekolah.
Setelah melanjutkan kuliah ke jenjang selanjutnya, barulah saya menyadari bahwa riset penelitian bisa saja mengulas masalah pendidikan yang nyata, bukan berkutat pada konsep-konsep pendidikan yang tidak menyelesaikan apa pun.
Penelitian tentang pendidikan bisa saja mengulas persoalan gaji guru dan motivasi mengajar, bahwa rendahnya gaji guru akan memengaruhi kualitas guru dalam mengajar.
Lalu beranjak lagi meneliti seberapa penting pergantian kurikulum dan apa dampak buruknya bagi dunia pendidikan dan guru.
Bahwa pergantian kurikulum tidak pernah menyelesaikan masalah pendidikan, malah menambah beban guru dalam mengajar.
Gaji yang rendah serta kurikulum yang berganti-ganti hanya membuat kualitas pendidikan semakin menurun.
Jika sudah selesai, penelitian juga bisa membahas soal sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah—apakah sekolah di kota dan di desa sudah merata.
Penelitian dapat menggambarkan betapa terjadi ketimpangan antara sekolah kota dan sekolah desa. Apa yang membuat hal ini tidak merata? Apakah karena sistem pendidikan yang mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah siswa, lalu memberikan bantuan dalam bentuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah)? Maka sistem seperti itu perlu dipertanyakan karena tidak membuat sarana dan prasarana menjadi merata.
Paulo Freire untuk Mahasiswa
Di dalam kelas, perlu kiranya mahasiswa diperkenalkan dengan pemikiran Paulo Freire, membedah bukunya satu per satu, mulai dari Pendidikan Kaum Tertindas, Politik Pendidikan, hingga Pendidikan sebagai Proses.Bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan sekadar untuk mendapatkan pekerjaan, lalu selesai begitu saja, melainkan pendidikan adalah proses memberikan kesadaran, terutama kesadaran kritis.
Adanya kesadaran kritis inilah yang perlu ditumbuhkan dalam dunia pendidikan.
Kesadaran kritis ini bisa dihubungkan dengan masalah politik: mengapa banyak pejabat yang korupsi, mengapa para dewan yang terpilih tidak peduli terhadap rakyat ketika sudah menjabat, dan mengapa masih ada politik uang.
Adanya kesadaran kritis memberikan pemahaman bahwa ada yang salah dari sistem politik dan hal itu harus dilawan.
Masyarakat yang memiliki kesadaran kritis tidak akan memilih dewan yang sejak awal tidak peduli jika kelak mendapat jabatan, serta menolak ketika suaranya hendak dibeli begitu saja, dan seterusnya.
Selama ini kesadaran masyarakat hanya berada dalam kesadaran mistis dan kesadaran naif.
Kesadaran mistis menganggap bahwa sudah takdirnya kehidupan politik Indonesia seperti ini, sedangkan kesadaran naif tahu bahwa ada yang salah dari sistem politik, tetapi merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Pendidikan seharusnya membangkitkan kesadaran kritis bahwa perubahan bisa dilakukan.
Ironisnya, yang mengalami kesadaran mistis dan kesadaran naif justru kebanyakan mahasiswa pendidikan itu sendiri.
Mereka menganggap bahwa sudah takdirnya pendidikan Indonesia bermasalah, atau beranggapan bahwa memang ada masalah dalam pendidikan, tetapi merasa tak sanggup mengubahnya.
Seharusnya mahasiswa pendidikan memiliki kesadaran kritis untuk bergerak mengubah sistem yang selama ini keliru.[]
Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)
Ilustrasi: HMan in Black and White Polo Shirt Beside Writing Board/Pexels.com