Aceh dan Dunia yang Kehilangan Jiwanya

INTIinspira - Dunia sedang berada di titik balik sejarah. Setelah lebih dari satu abad berada di bawah dominasi satu kutub kekuatan—Barat dengan pusatnya di London dan Washington, tatanan global kini menunjukkan retakan.

Runtuhnya sistem unipolar membuka peluang lahirnya dunia multipolar: dunia dengan banyak pusat peradaban dan beragam jalan menuju kebenaran.

Kita sedang menyaksikan kebangkitan kembali poros-poros besar dunia: Eurasia, Tiongkok, Dunia Islam, India, dan Afrika. Namun di balik pergeseran kekuatan ekonomi dan militer itu, yang bergolak sebenarnya adalah jiwa dunia. Peradaban manusia kini tengah mencari makna baru setelah lama terjebak dalam bayang-bayang kemajuan material.

Filsuf Rusia Alexander Dugin berpendapat bahwa liberalisme lebih dari sekadar sistem politik, ia juga merupakan sebuah modus keberadaan — cara khas manusia Barat memahami dirinya.

Menurutnya, akar paham ini berawal dari nominalisme Anglo-Saxon yang memisahkan manusia dari identitas kolektif seperti agama, bangsa, keluarga, bahkan jenis kelamin. Akibatnya, manusia menjadi “individu murni” — bebas dari ikatan, tetapi kehilangan arah.

Nick Land, filsuf Inggris yang dikenal sebagai “rasionalis kegelapan,” menilai bahwa liberalisme modern yang moralistik dan universal telah menyimpang jauh dari akar aslinya. Ia menyebut dunia modern sebagai “puncak kosong” (the empty summit), saat tak lagi ada otoritas moral yang diakui. Pasar dan teknologi mengambil alih peran Tuhan; algoritma menggantikan nurani.

Dugin menanggapi Land dengan perumpamaan Faust: tangan-tangan tak terlihat kapitalisme ibarat Mephistopheles — roh yang menghendaki kejahatan tetapi kerap menghasilkan kebaikan. Dalam makna teologis, modernitas menjadi semacam gnosis terbalik: pencarian keselamatan melalui kekuatan destruktif yang disebut kemajuan.

Kapitalisme, Satanisme, dan Haus akan Yang Sakral

Ironisnya, di tengah modernitas yang semakin sekuler, justru muncul kembali bahasa-bahasa teologis: tentang “iblis”, “kejahatan”, bahkan “kecerdasan buatan sebagai roh jahat”. 

Barat mulai berbicara dengan istilah spiritual karena tak lagi mampu menafsirkan kekosongan yang diciptakannya sendiri. 

Kapitalisme global yang dahulu dijanjikan membawa kemakmuran universal, kini justru menimbulkan kehampaan universal. 

Krisis ini menunjukkan bahwa manusia modern merindukan kembali yang sakral — sesuatu yang melampaui dirinya. Mungkin saja, altar baru dunia itu tak lagi berdiri di Barat.

Multipolaritas: Ontologi Baru Dunia

Dunia multipolar bukan sekadar persoalan keseimbangan kekuasaan antarnegara, melainkan pengakuan bahwa tidak ada satu bentuk manusia yang berlaku untuk seluruh dunia.

Setiap peradaban memiliki Dasein-nya sendiri — cara khas memahami waktu, kematian, dan Tuhan.

Rusia menegaskan ortodoksi dan tradisi; Tiongkok menekankan harmoni dan hukum; India memelihara pluralitas spiritual; Afrika menggali kembali kearifan leluhur.

Di tengah keragaman itu, dunia Islam — termasuk Aceh — memiliki peluang besar untuk tampil kembali sebagai poros moral dan spiritual dunia, bukan melalui dominasi, melainkan lewat hikmah.

Aceh di Simpang Jalan Peradaban

Aceh merupakan simpul sejarah — jembatan yang menyatukan dunia Islam, dunia Melayu, dan dunia Eurasia.

Dari Samudra Pasai hingga Darussalam, Aceh selalu menjadi laboratorium peradaban yang menolak penyederhanaan: tidak sekuler, namun juga tidak fanatik; tidak tertutup, tetapi tidak pula larut.

Jauh sebelum istilah multipolaritas dikenal, Aceh telah mempraktikkannya. Di meunasah, orang berbicara tentang Tuhan dan dunia tanpa harus memisahkannya.

Dalam adat laot dan hikayat, manusia tidak dipahami sebagai individu yang terlepas, melainkan amanah dalam jalinan semesta.

Warisan ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, dan Syiah Kuala menunjukkan bahwa Aceh bukan sekadar penerima Islam dari Arab, tetapi pengolah maknanya dalam konteks lokal yang bijaksana.

Itulah makna sejati dari multipolaritas: kemampuan menyerap tanpa kehilangan jati diri.

Dari Mephistopheles ke Meunasah

Ketika Barat terperangkap di puncak kehampaan, Aceh telah lebih dulu belajar menatap kehampaan itu tanpa gentar.

Sejarahnya dipenuhi luka — perang, penjajahan, bencana — namun dari setiap reruntuhan, tumbuh kesadaran baru bahwa hidup hanya berarti bila berakar pada Yang Maha Ada.

Aceh mungkin tak menjadi kekuatan ekonomi dunia, tetapi ia bisa menjadi penjaga makna dunia.

Ia mengingatkan poros-poros besar bahwa multipolaritas bukan hanya tentang persoalan kekuatan, tetapi juga kedalaman jiwa.

Dalam senyap pasca-bencana, Aceh menemukan dirinya kembali: bukan di gemuruh kota, melainkan di doa yang tak pernah padam.

Penutup: Ziarah Ruhani Dunia

Multipolaritas bukan penutup sejarah, seperti yang pernah dibayangkan Fukuyama, melainkan awal dari perjalanan ruhani manusia menuju sumber keberadaannya.

Dalam ziarah panjang itu, Aceh — sebagaimana dulu dalam sejarah Islam Nusantara — tidak hanya menjadi saksi, tetapi penunjuk peta jalan.

Dunia yang kehilangan jiwanya akan mencari tempat seperti Aceh: sebuah kutub peradaban di mana doa dan keberanian masih berjalan berdampingan, dan di mana manusia dapat belajar kembali
bahwa kemajuan tanpa ruh hanyalah bentuk lain dari kejatuhan.[]

Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Ilustrasi: Hand Cutouts and an Earth Cutout/Pexels.com
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan