Antara Iman dan Angka: Dua Wajah Uang
INTIinspira - “Selama ribuan tahun, para filsuf, pemikir, dan nabi mencela uang dan menyebutnya sebagai akar dari semua kejahatan. Boleh setuju boleh tidak, uang adalah puncak dari toleransi manusia…” tulis Yuval Noah Harari dalam Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan.
Jelas sekali ini terdengar paradoksal, bahkan menohok. Bagaimana mungkin sesuatu yang sering dianggap sumber kerakusan, ketidakadilan, dan perang justru disebut sebagai puncak toleransi manusia?
Tapi kalau kita mau pikir lebih dalam, ada benarnya juga. Uang memang punya wajah ganda, ia bisa menyatukan manusia, di saat bersamaan juga bisa memisahkan dengan cara yang paling halus.
Uang tidak punya agama, tidak punya warna kulit, tidak punya suku. Ia tidak bertanya apa keyakinanmu sebelum diterima dalam transaksi.
Emas bisa berpindah tangan dari seorang muslim kepada seorang ateis tanpa perlu fatwa atau demonstrasi.
Sepotong uang kertas bisa berpindah dari tangan seorang petani ke seorang pejabat tanpa perlu kesamaan bahasa—asal nominalnya jelas dan tidak sobek di ujungnya.
Di sinilah uang menjadi sistem kepercayaan paling universal yang pernah diciptakan manusia. Kita bisa berbeda dalam hampir segala hal, tapi begitu melihat angka yang sama di selembar kertas, tiba-tiba kita sepakat dan berjabat tangan.
Bayangkan, dua orang yang tidak saling kenal, saling curiga, atau bahkan saling membenci, bisa bekerja sama hanya karena mereka percaya pada nilai yang sama, yaitu selembar uang.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa uang memang lebih “berpikiran terbuka” daripada bahasa, hukum, atau keyakinan agama. Ia menjadi jembatan sosial yang melintasi batas-batas budaya, peradaban, bahkan moral. Namun di situlah pula letak paradoksnya.
Ketika uang menjadi jembatan, ia juga sekaligus menjadi jurang. Ia memungkinkan kerja sama tanpa kepercayaan, tapi juga melahirkan kepercayaan palsu penuh polesan.
Hubungan manusia bisa dipersingkat menjadi hubungan transaksional; ukuran kebaikan, ketulusan, dan kasih sayang pun bisa dikalkulasi dalam angka. Di satu sisi, uang membuat dunia berjalan lebih efisien; di sisi lain, ia perlahan mengubur nilai-nilai yang tidak bisa diukur dengan angka.
Agama, misalnya. Agama selama ini dianggap benteng moral yang melindungi manusia dari kerakusan dan penyimpangan. Namun sejarah menunjukkan bahwa uang berkali-kali mampu menembus bahkan mengguncang benteng itu.
Salah satu contoh paling klasik adalah peristiwa indulgensi di Eropa abad pertengahan. Pada masa itu, Gereja Katolik menjual surat pengampunan dosa kepada umatnya. Siapa pun yang merasa berdosa bisa membeli “tiket surga” hanya dengan membayar sejumlah uang kepada gereja.
Semakin besar donasinya, semakin besar pula jaminan pengampunan yang dijanjikan. Praktik ini begitu populer hingga menjadi salah satu sumber kekayaan utama gereja kala itu.
Kritik terhadap praktik inilah yang kemudian memicu Reformasi Gereja yang dipelopori Martin Luther pada abad ke-16.
Bukan hanya itu, dalam lintasan sejarah yang berbeda, praktik serupa juga muncul dalam bentuk lain. Pada tahun 2006, India diguncang oleh apa yang kemudian dikenal sebagai “cash-for-fatwas scandal.”
Sebuah stasiun televisi menayangkan hasil investigasi rahasia yang menunjukkan beberapa ulama menerima atau meminta uang sebagai imbalan untuk mengeluarkan fatwa—sebuah keputusan hukum dalam Islam.
Dalam rekaman tersembunyi itu, reporter yang menyamar memberikan suap dalam jumlah kecil, beberapa bahkan hanya sekitar 60 dolar, untuk mendapatkan fatwa atas berbagai hal sepele: mulai dari larangan menggunakan kartu kredit, kamera ponsel, hingga fatwa tentang boleh-tidaknya menonton televisi.
Di Amerika, misalnya, muncul apa yang dikenal dengan istilah religious affinity fraud — penipuan yang memanfaatkan kepercayaan umat beragama. Dalam praktik ini, pelaku menipu orang-orang yang satu keyakinan dengannya dengan dalih investasi, amal, atau janji “berkat finansial” dari Tuhan.
Salah satu kasus paling terkenal terjadi di Florida, ketika Gary L. Gauthier — seorang pembawa acara radio Kristen bertajuk It’s God’s Money — ditangkap karena menipu 38 jemaatnya dengan total kerugian mencapai 6 juta dolar AS.
Ironisnya, para korban adalah pendengar setia siaran rohaninya, yang percaya sepenuhnya karena ia berbicara dari frekuensi “Kristen”. Gauthier memanfaatkan rasa percaya itu untuk meyakinkan mereka agar mencairkan tabungan pensiun, bahkan menjual rumah demi berinvestasi dalam “perusahaan suci” yang ternyata palsu.
Kasus ini tidak berdiri sendiri. Beberapa tahun sebelumnya, Patrick Kiley — pembawa acara Follow the Money, juga di jaringan radio Kristen — menjalankan skema Ponzi senilai 194 juta dolar.
Dengan nada apokaliptik, Kiley memperingatkan pendengarnya akan datangnya “Armageddon finansial” dan menawarkan jalan keselamatan dalam bentuk investasi mata uang asing.
Hasilnya? Ribuan orang kehilangan seluruh tabungan hidup mereka atas nama iman dan rasa aman yang dipalsukan.
Lebih menyedihkan lagi adalah kisah Samuel Ray Palasota, seorang pendeta di Mississippi yang menipu seorang ibu tunggal dengan modus “investasi rohani”.
Palasota memanfaatkan kedekatan spiritualnya dengan korban, menulis surat-surat penuh ayat dan nasihat ilahi, lalu menggunakan uang investasinya — senilai lebih dari 650.000 dolar — untuk membeli mobil mewah dan komputer pribadi. Iman, yang seharusnya jadi tempat berlindung di tengah gonjang-ganjing kehidupan, berubah menjadi bius untuk menjarah harapan orang lain.
Dari beberapa kasus itu, tampak jelas bahwa ketika iman dan uang saling bersinggungan, batas moral menjadi kabur.
Di satu sisi, agama berusaha menjaga kesucian nilai dan niat manusia; di sisi lain, uang datang menawarkan logika praktis dan janji kenyamanan yang sulit ditolak.
Ketika keduanya bertemu tanpa keseimbangan, lahirlah ruang abu-abu di mana kejujuran bisa tergadai dan kesalehan bisa diperjualbelikan.
Di titik inilah kita melihat betapa rapuhnya manusia di hadapan godaan makhluk bernama uang.
Apa yang terjadi dulu menjadi cermin bagi kita hari ini. Bentuknya mungkin berbeda, tapi esensinya sama: uang masih punya kemampuan untuk menaklukkan nilai-nilai agama.
Kita bisa dengan mudah menemukan bagaimana uang digunakan untuk membeli suara, membeli keadilan, bahkan membeli kebenaran.
Dalam banyak kasus, uang lebih kuat dari khotbah. Ia bisa membuat orang yang beriman lupa pada ajaran yang diyakininya, atau membuat orang yang jujur terpaksa untuk berbohong atau bungkam tak bicara.
Kini, uang bukan lagi sekadar alat tukar, tapi sudah menjadi ukuran nilai manusia. Profesi, status, bahkan kebahagiaan sering kali diukur dari jumlah yang tersimpan di rekening.
Kita tidak lagi bertanya “seberapa baik seseorang hidup,” melainkan “seberapa banyak yang ia miliki.” Dalam dunia semacam ini, moralitas menjadi relatif. Keadilan bisa dinegosiasikan, dan kesetiaan bisa diuji dengan angka.
Namun tentu tidak semua sisi uang harus dilihat dengan pesimisme. Secercah harapan masih ada.
Uang, bagaimanapun, adalah hasil ciptaan manusia — dan seperti ciptaan lainnya, ia bergantung pada cara kita menggunakannya. Ia bisa menjadi alat penindasan, tetapi juga bisa menjadi sarana kebaikan.
kertas yang sama yang digunakan untuk membayar sogokan, juga bisa digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau menolong mereka yang kelaparan. Artinya, letak persoalannya bukan pada uang sebagai uang itu sendiri, melainkan pada nilai yang kita pasangkan padanya.
Jika Harari menyebut uang sebagai “puncak toleransi manusia,” barangkali maksudnya adalah uang mengajarkan kita tentang kesetaraan dalam satu hal — bahwa pada akhirnya semua manusia tunduk pada simbol kepercayaan yang sama.
Tapi apakah itu bentuk toleransi sejati, atau justru penyeragaman yang meniadakan nilai-nilai lain?
Di sini, refleksi kita diuji. Uang mampu membuat dunia bergerak, tapi ia tidak pernah bisa memberi makna pada gerak itu. Ia bisa mempertemukan manusia di meja perundingan, tapi tidak bisa menjamin kejujuran di antara mereka. Ia bisa membangun jembatan di atas sungai yang memisahkan dua kota, tapi tidak bisa membangun jembatan di hati manusia.
Kita hidup di zaman ketika agama, ideologi, dan tradisi bisa berbeda, tapi semua tunduk pada bahasa yang sama, yaitu transaksi.
Harari mungkin benar — uang adalah sistem kepercayaan paling universal — tapi mungkin justru di situlah bahaya terbesar manusia saat ini, kita perlu berhati-hati dengan makhluk bernama uang ini. []
Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan).
Ilustrasi: Close-Up Photo of Money/Pexels.com


