Ke Mana Kebenaran Pergi Saat Semua Orang Merasa Benar?

ilustrasi: An artist’s illustration of artificial intelligence (AI)
INTIinspira - Kita sedang hidup di zaman anomik. Zaman di mana nilai-nilai sosial kehilangan daya ikatnya. Individu seolah terapung di tengah samudra, tanpa arah dan tanpa tanah.

Émile Durkheim, sosiolog asal Prancis yang menganggap ilmu sosial seperti ilmu alam itu, memperkenalkan istilah anomie untuk pertama kalinya.

Durkheim bilang, anomie merupakan situasi ketika aturan dan nilai sosial melemah, bahkan hilang, sehingga orang tidak lagi tahu apa yang benar dan apa yang salah. 

Bayangkan saja, seperti bermain bola tapi tanpa wasit dan tanpa garis lapangan. Semua orang main seenaknya. Lama-lama, yang terjadi bukan permainan, tapi tawuran.

Orang menjadi bingung menentukan batas antara yang pantas dengan yang tidak, antara yang baik dengan yang buruk. Antara air pegunungan dengan air sumur bor, tapi contoh yang terakhir ini tidak ada kaitannya dengan Durkheim.

Kini, gejala itu semakin kentara di era digital. Institusi-institusi yang dulu menjadi penuntun moral—agama, negara, ilmu pengetahuan—mengalami krisis legitimasi.

Otoritas agama terpecah dalam tafsir dan kepentingan; negara sering tampak kehilangan arah moral dalam kebijakan dan kekuasaan; sementara ilmu pengetahuan pun mulai dipertanyakan kredibilitasnya di tengah banjir opini dan matinya kepakaran.

Kalau yang lain mati, kita pergi ke pakar bang, tapi kalau pakar mati, kita pergi mane bang? Ha, coba pike sikit! Lebih kurang begitulah pertanyaan Bagogo ke Adu Du saat menjual obat untuk mengobati si Probe.

Kita lanjut lagi. Krisis kepercayaan terhadap institusi ini membuat banyak orang tidak tahu lagi di mana letak kebenaran, kepada siapa mereka harus percaya, dan nilai apa yang layak dijadikan pegangan.

Dunia menjadi seperti ruang gema tanpa pusat, di mana banyak orang bicara dan memberi komentar, namun tak ada yang sungguh-sungguh menjadi pedoman.

Namun, bagaimana pun kacaunya, secara alamiah manusia selalu mencari pegangan. Dia membutuhkan kompas moral untuk menuntun langkahnya di tengah ketidakpastian.

Ketika semua sumber otoritas runtuh, pegangan yang paling mudah diambil adalah diri sendiri—apa yang diinginkan, apa yang terasa “benar” bagi perasaan pribadi. Intinya, apa yang mendatangkan kesenangan (pleasure) bagi dirinya.

Dalam hal ini, aku kembali teringat Nietzsche, yang menjelaskan bahwa manusia akan terus mencari sesuatu untuk dipercayai, dipegang, kalau perlu digigit dan diikat pada tubuh, untuk menyalurkan kebutuhan dasarnya akan kepercayaan.

Setiap orang, kata Nietzsche, membutuhkan sesuatu untuk diyakini—jika bukan Tuhan, maka dirinya sendiri, hasratnya, atau cita-citanya.

Namun, ketika setiap individu menjadikan dirinya sebagai pusat nilai, maka nilai kehilangan universalitasnya. Moral berubah menjadi sesuatu yang relatif, sementara kebenaran bergeser menjadi sekadar preferensi.

Seseorang merasa benar karena itu membuatnya senang; yang lain merasa benar karena itu sesuai dengan kehendaknya. Tapi kesenangan satu orang sering kali berarti penderitaan bagi yang lain.

Contohnya begini, kamu senang menyalakan musik keras di malam hari, tapi tetanggamu jadi tidak bisa tidur. Kamu merasa benar karena kamu bahagia, tapi baginya itu salah karena mengganggu. Jadi, siapa yang benar?

Di sinilah konflik muncul, ketika standar moral tidak lagi berdiri di atas fondasi bersama, melainkan di atas selera pribadi yang tak pernah bisa disatukan.

Kita bisa melihat gejala ini dengan sangat jelas di dunia digital. Ruang publik maya berubah menjadi arena benturan nilai yang tak berkesudahan. Setiap orang merasa berhak menilai, menghakimi, dan membenarkan dirinya sendiri. 

Coba perhatikan komentar di TikTok, Instagram, atau X (Twitter). Ada yang marah karena soal pakaian, ada yang tersinggung karena selera humor, ada yang merasa paling benar soal kebaikan.

Ruang digital berubah jadi arena debat tanpa ujung, di mana semua orang jadi hakim, tapi tidak ada yang benar-benar punya dasar. Kebenaran diukur dari jumlah “like” atau seberapa banyak orang yang setuju.

Tidak heran, jika masyarakat digital akan letih oleh konflik nilai—karena setiap orang menjadi hakim, tanpa ada norma yang sungguh mengikat.

Namun, manusia pada dasarnya tidak diciptakan untuk terus-menerus berkonflik. Secara biologis dan psikologis, otak manusia mencari ketenangan, bukan ketegangan.

Dalam jangka panjang, konflik yang terus-menerus pasti menimbulkan kelelahan moral. 

Dari kelelahan inilah muncul kerinduan akan keteraturan baru, akan norma yang bisa kembali menyatukan perbedaan nilai yang sudah tercabik-cabik itu.

Seperti hukum keseimbangan sosial yang disebut Durkheim, setiap kali masyarakat terjatuh ke dalam anomie, akan selalu muncul dorongan untuk menciptakan kembali bentuk solidaritas baru.

Pertanyaannya, solidaritas macam apa yang bisa lahir di tengah masyarakat yang begitu plural, cair, dan terfragmentasi seperti sekarang?

Solidaritas lama yang berbasis kesamaan agama, bangsa, atau ideologi tampaknya sulit dipertahankan, karena masing-masing justru menjadi sumber pertentangan.

Masyarakat masa kini butuh bentuk solidaritas baru yang melampaui batas primordialisme—sebuah fondasi moral yang bisa menjadi rumah bagi siapa pun, tanpa pandang bulu, terserah mau bagaimana pun bulunya.

Pada titik ini, spiritualitas bisa menjadi tawaran yang menarik. Spiritualitas yang dimaksud tentu bukan spiritualitas dalam arti agama formal dengan dogma dan institusinya, melainkan spiritualitas yang berpijak pada kesadaran akan keterhubungan manusia dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya—dengan kemanusiaan, dengan kehidupan, dengan semesta.

Spiritualitas yang seperti ini bersifat cair, tapi tidak nihil. Fleksibel, namun tetap berakar pada nilai universal seperti kasih, kejujuran, dan keadilan. 

Spiritualitas yang tidak menolak rasionalitas, tetapi juga tidak menafikan dimensi batin manusia yang merindukan kedalaman sebuah makna kehidupan.

Nilai-nilai spiritual universal inilah, mungkin, yang dapat menjadi kompas baru dalam era anomie digital. Ia menawarkan arah yang sama, bahwa tujuan moral bukanlah saling menghabisi satu sama lain, melainkan kedamaian bersama.

Ketika manusia kembali menemukan keterhubungan batin dengan sesamanya, dengan alam, dan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, maka krisis moral yang kita alami hari ini mungkin dapat menemukan jalan keluarnya.

Durkheim sendiri pernah mengatakan bahwa masyarakat bukan sekadar kumpulan individu, melainkan sebuah kesadaran kolektif yang mengikat mereka bersama.[]


Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).

Ilustrasi: An artist’s illustration of artificial intelligence (AI)/Pexels.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan