Guru di Mata Negara: Mulia sekaligus Nestapa
INTIinspira - Guru, sebuah profesi yang dipandang mulia sekaligus nestapa. Menjadi guru di negeri ini berarti siap berjuang untuk mencerdaskan bangsa.
Profesi guru baru diakui secara formal setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005. Sebelumnya, profesi guru hanya dianggap sebagai pengajar di sekolah dengan upah yang tidak jelas besarnya.
Profesi guru sebenarnya telah ada sejak lama, namun sistem sekolah yang bergantung pada peran guru mulai berkembang ketika Belanda menjajah Indonesia. Saat itu berdirilah sekolah-sekolah Belanda dengan guru-guru yang sebagian besar berasal dari Eropa. Hanya sedikit murid yang berasal dari kalangan pribumi Nusantara.
Profesi guru sebenarnya telah ada sejak lama, namun sistem sekolah yang bergantung pada peran guru mulai berkembang ketika Belanda menjajah Indonesia. Saat itu berdirilah sekolah-sekolah Belanda dengan guru-guru yang sebagian besar berasal dari Eropa. Hanya sedikit murid yang berasal dari kalangan pribumi Nusantara.
Perlahan-lahan, muncul sekolah rakyat. Guru-guru pribumi pun ikut serta menjadi pengajar sekaligus pendidik rakyat dengan memberikan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung.
Belanda, membuat sekolah yang ditujukan untuk melahirkan pegawai dari pribumi, dengan tujuan tenaga kerja yang murah untuk mengelola segala administrasi dalam segala bidang.
Belanda mendirikan sekolah yang ditujukan untuk melahirkan pegawai dari kalangan pribumi dengan tujuan menyediakan tenaga kerja murah yang dapat mengelola administrasi di berbagai bidang.
Orang-orang terdidik ini, kemudian sadar dan menjadi pembaca dan penulis. Kesadaran bahwa, diri mereka tidak pantas dijajah, diperalat, dan dikendalikan. Upaya pemberontakan dan pemogokan dilakukan, tapi menemukan kegagalan.
Tak pernah menyerah, hingga lahirlah orang-orang hebat yang tekun membaca dan menulis, hingga mendirikan organisasi untuk menghimpun masyarakat pribumi.
Saat penjajah Belanda hengkang, masuklah penjajah Jepang. Memberi janji dan harapan. Guru jadi alat propaganda, sekolah di pribumi diajarkan untuk "memuja" Jepang, memberikan penghormatan pada kaisar, dan belajar bahasa Jepang. Sekolah menjadi propaganda yang ampuh untuk menjalankan ideologi Jepang.
Saat Indonesia merdeka, sekolah perlahan tumbuh, jadi tempat bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Guru pun masih tak seberapa yang mengajar di sekolah, dan gaji guru masih seadanya.
Pada masa gejolak awal kemerdekaan, posisi sekolah terbagi dua, sekolah umum yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan madrasah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Berbagai mata pelajaran disusun demi mencerdaskan bangsa.
Memasuki Orde Baru, sekolah lagi-lagi menjadi tempat yang ampuh dalam menanamkan ideologi.
Belanda, membuat sekolah yang ditujukan untuk melahirkan pegawai dari pribumi, dengan tujuan tenaga kerja yang murah untuk mengelola segala administrasi dalam segala bidang.
Belanda mendirikan sekolah yang ditujukan untuk melahirkan pegawai dari kalangan pribumi dengan tujuan menyediakan tenaga kerja murah yang dapat mengelola administrasi di berbagai bidang.
Orang-orang terdidik ini, kemudian sadar dan menjadi pembaca dan penulis. Kesadaran bahwa, diri mereka tidak pantas dijajah, diperalat, dan dikendalikan. Upaya pemberontakan dan pemogokan dilakukan, tapi menemukan kegagalan.
Tak pernah menyerah, hingga lahirlah orang-orang hebat yang tekun membaca dan menulis, hingga mendirikan organisasi untuk menghimpun masyarakat pribumi.
Saat penjajah Belanda hengkang, masuklah penjajah Jepang. Memberi janji dan harapan. Guru jadi alat propaganda, sekolah di pribumi diajarkan untuk "memuja" Jepang, memberikan penghormatan pada kaisar, dan belajar bahasa Jepang. Sekolah menjadi propaganda yang ampuh untuk menjalankan ideologi Jepang.
Saat Indonesia merdeka, sekolah perlahan tumbuh, jadi tempat bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Guru pun masih tak seberapa yang mengajar di sekolah, dan gaji guru masih seadanya.
Pada masa gejolak awal kemerdekaan, posisi sekolah terbagi dua, sekolah umum yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan madrasah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Berbagai mata pelajaran disusun demi mencerdaskan bangsa.
Memasuki Orde Baru, sekolah lagi-lagi menjadi tempat yang ampuh dalam menanamkan ideologi.
Sekolah wajib mengajarkan P4: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Setiap tanggal 30 September sekolah wajib menayangkan Film G-30 S-PKI, untuk mengingatkan bahayanya komunis.
Pada masa ini, sekolah mirip basis militer, setiap murid yang tidak patuh maka bisa dipukul dan dihukum. Demikian yang terjadi pada madrasah. Tapi pada masa ini pun, gaji guru masih belum jelas.
Reformasi dimulai, gegap gempita menyambut berakhirnya otoritarianisme. Kebebasan, telah memberikan banyak suara. Salah suara yang diperjuangkan adalah nasib guru.
Pada tahun 2005, Undang-Undang tentang guru baru diterbitkan, bahwa guru harus mendapatkan gaji yang layak. Dan Syarat menjadi guru adalah minimal S-1.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, telah membuat guru yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi cukup sejahtera. Sistem Kurikulum pun diberlakukan, bahwa setiap sekolah dan madrasah wajib mengikuti standar kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah.
Naasnya, sudah banyak kurikulum berganti, seringkali hanya jadi beban administrasi, dari mulai Kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Lalu Kurikulum K-13 (Kurikulum 2013), kemudian Kurikulum Merdeka, dan terbaru Kurikulum Berbasis Cinta. Hal ini tidak lepas dari pergantian pemerintah yang diiringi dengan pergantian menteri pendidikan.
Pada sisi lain, kondisi guru tidak sepenuhnya baik, bagi guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil sudah cukup mendapat gaji, namun masih banyak guru honorer yang gajinya di bawah standar, bahkan miris.
Dalam sekolah guru terbagi dalam berbagai kasta macam akibat sistem negara, mulai dari Guru ASN, Guru PNS, Guru PPPK, Guru PPPK Paruh Waktu, Guru Non ASN, Guru Honorer Pemda, Guru Honorer Murni, Guru Swasta, Guru Swasta GTT (Guru Tidak Tetap), Guru Swasta GTY (Guru Tetap Yayasan), Guru Swasta di bawah perusahaan.
Lalu saat jadi guru PPPK dibagi lagi Guru K1, K2,K3, K4, R1, R2, R3, R4, R5. Tumpang tindih dan ketidakmerataan ini, jadi masalah yang terjadi antar guru. Dan biasanya guru honorer, apalagi muda sering menjadi suruhan dari guru PNS senior untuk mengajarkan berbagai hal, hingga menimbulkan senioritas.
Dari segi sarjana, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tidak secara spesifik menyebut bahwa menjadi guru harus sarjana pendidikan, hanya menyebut S-1. Maka, menjadi guru adalah profesi yang mudah sekali diperolah meski bukan sarjana pendidikan.
Sistem ini tidak hanya berlaku bagi guru honorer tapi juga dalam rekrutmen CPNS yang diresmikan negara. Maka untuk menjadi guru agama Islam tidak harus S-1 Pendidikan Agama Islam, bisa saja S-1 Ilmu Al-Quran dan Tafsir, S-1 Sejarah Islam, S-1 Ilmu Hadis, dan lain-lain.
Begitu juga dengan guru matematika tidak harus S-1 Pendidikan Matematika, bisa saja S-1 Matematika Murni, begitupun guru bidang mata pelajaran lainnya.
Padahal Jurusan Pendidikan di berbagai kampus mana pun selalu penuh dengan mahasiswa, tapi tidak sebanding dengan hasil yang harus mereka capai.
Pada masa ini, sekolah mirip basis militer, setiap murid yang tidak patuh maka bisa dipukul dan dihukum. Demikian yang terjadi pada madrasah. Tapi pada masa ini pun, gaji guru masih belum jelas.
Reformasi dimulai, gegap gempita menyambut berakhirnya otoritarianisme. Kebebasan, telah memberikan banyak suara. Salah suara yang diperjuangkan adalah nasib guru.
Pada tahun 2005, Undang-Undang tentang guru baru diterbitkan, bahwa guru harus mendapatkan gaji yang layak. Dan Syarat menjadi guru adalah minimal S-1.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, telah membuat guru yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi cukup sejahtera. Sistem Kurikulum pun diberlakukan, bahwa setiap sekolah dan madrasah wajib mengikuti standar kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah.
Naasnya, sudah banyak kurikulum berganti, seringkali hanya jadi beban administrasi, dari mulai Kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Lalu Kurikulum K-13 (Kurikulum 2013), kemudian Kurikulum Merdeka, dan terbaru Kurikulum Berbasis Cinta. Hal ini tidak lepas dari pergantian pemerintah yang diiringi dengan pergantian menteri pendidikan.
Pada sisi lain, kondisi guru tidak sepenuhnya baik, bagi guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil sudah cukup mendapat gaji, namun masih banyak guru honorer yang gajinya di bawah standar, bahkan miris.
Dalam sekolah guru terbagi dalam berbagai kasta macam akibat sistem negara, mulai dari Guru ASN, Guru PNS, Guru PPPK, Guru PPPK Paruh Waktu, Guru Non ASN, Guru Honorer Pemda, Guru Honorer Murni, Guru Swasta, Guru Swasta GTT (Guru Tidak Tetap), Guru Swasta GTY (Guru Tetap Yayasan), Guru Swasta di bawah perusahaan.
Lalu saat jadi guru PPPK dibagi lagi Guru K1, K2,K3, K4, R1, R2, R3, R4, R5. Tumpang tindih dan ketidakmerataan ini, jadi masalah yang terjadi antar guru. Dan biasanya guru honorer, apalagi muda sering menjadi suruhan dari guru PNS senior untuk mengajarkan berbagai hal, hingga menimbulkan senioritas.
Dari segi sarjana, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tidak secara spesifik menyebut bahwa menjadi guru harus sarjana pendidikan, hanya menyebut S-1. Maka, menjadi guru adalah profesi yang mudah sekali diperolah meski bukan sarjana pendidikan.
Sistem ini tidak hanya berlaku bagi guru honorer tapi juga dalam rekrutmen CPNS yang diresmikan negara. Maka untuk menjadi guru agama Islam tidak harus S-1 Pendidikan Agama Islam, bisa saja S-1 Ilmu Al-Quran dan Tafsir, S-1 Sejarah Islam, S-1 Ilmu Hadis, dan lain-lain.
Begitu juga dengan guru matematika tidak harus S-1 Pendidikan Matematika, bisa saja S-1 Matematika Murni, begitupun guru bidang mata pelajaran lainnya.
Padahal Jurusan Pendidikan di berbagai kampus mana pun selalu penuh dengan mahasiswa, tapi tidak sebanding dengan hasil yang harus mereka capai.
Untuk menjadi guru, mereka harus memulai dengan guru honorer dengan gaji seratus sampai lima ratus ribu rupiah per bulan, dengan melakukan kerja sampingan entah membuka warung kecil, buka olshop, menjadi gojek, dan kerjaan tambahan lainnya.
Untuk bisa sertifikasi guru, agar mendapat gaji sekitar tiga juta, perlu waktu dua tahun paling cepat. Jika pun ingin menjadi CPNS, harus bersaing dengan banyak calon guru lainnya.
Fakultas Pendidikan, alih-alih menjadi wadah untuk menyuarakan permasalahan, malah memberikan solusi dengan menambah mata kuliah Kewirausahaan dan Entrepreneur, mahasiswa pendidikan dipaksa untuk membuat produk ini dan itu yang bisa dijual. Cara ini dianggap ampuh, agar kelak saat mahasiswa pendidikan menjadi guru, mereka bisa kerja sampingan berjualan. Dan begitulah nasib nestapa guru.[]
Fakultas Pendidikan, alih-alih menjadi wadah untuk menyuarakan permasalahan, malah memberikan solusi dengan menambah mata kuliah Kewirausahaan dan Entrepreneur, mahasiswa pendidikan dipaksa untuk membuat produk ini dan itu yang bisa dijual. Cara ini dianggap ampuh, agar kelak saat mahasiswa pendidikan menjadi guru, mereka bisa kerja sampingan berjualan. Dan begitulah nasib nestapa guru.[]
Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)
Foto: Romario/Dok. untuk INTIinspira