Buku: Antara Ideologi, Pasar, dan Alternatifnya

Hands of Woman Reading Book

Sekilah Soal buku di Indonesia

INTIinspira - Sejak zaman kolonial Belanda, buku adalah hal yang politis.

Pada masa penjajahan berdiri penerbit Balai Pustaka yang melahirkan sejumlah novel seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, serta novel lainnya.

Buku-buku tersebut diperbolehkan terbit oleh Kolonial Belanda karena isinya tidak mengganggu kesadaran pribumi dan dibiarkan hanyut menikmati sastra ala percintaan.

Sebaliknya ada novel-novel yang dianggap sebagai bacaan liar, sehingga diwaspadai oleh kolonial Belanda seperti Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen, dalam novel ini berisi semangat untuk menyadarkan pribumi melalui sastra.

Selepas kemerdekaan, penerbit buku tetap menjadi hal yang ideologis, hal ini mengikuti aliran politik yang saling berseteru. Dalam perebutan ideologis, masing-masing kubu melahirkan gerakan seni.

Kaum Komunis membangun Lembaga Seni Kebudayaan Rakyat atau disebut (LEKRA) yang memiliki gagasan bahwa seni adalah untuk rakyat, maka segala buku terbitan LEKRA memiliki ideologis seni untuk rakyat.

Pada kubu yang berlawanan ada Manifesto Kebudayaan yang mengusung humanisme universal yang menyatakan bahwa seni haruslah netral dari segala ideologi politik, dan seni adalah untuk seni.

Benturan antara LEKRA dan Manifesto Kebudayaan tak terhindarkan, media massa telah menjadi adu gagasan di antara masing-masing kubu.

Hingga pada tahun 1964, Manifesto Kebudayaan dilarang oleh Sukarno dan ini menjadikan LEKRA lebih unggul, namun setahun kemudian pada 1965 gerak sejarah berubah cepat, pembantaian massal terhadap PKI menyeret LEKRA ikut tenggelam.

LEKRA dibubarkan, senimannya diasingkan, buku-bukunya dibakar sedemikian rupa. Manifesto Kebudayaan hadir sebagai ideologi tunggal dalam kesenian.

Memasuki zama Orde Baru, yang dipimpin oleh Sang Jenderal dengan tangan yang berlumuran darah. Buku-buku berpaham komunis dilarang, bahkan termasuk karya seniman LEKRA.

Pada masa sang Jenderal memimpin, Tetralogi Buru; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca karangan Pramoedya Ananta Toer menjadi bacaan terlarang.

Pada sisi yang lain, bacaan roman pop yang asik dengan cinta-cintaan diperbolehkan dibaca.

Dalam hal ini lagi-lagi sejarah terulang seperti kolonial Belanda yang memperbolehkan terbiatan Balai Pustakan dan melarang bacaan liar.

Buku Setelah Orde Baru

Memasuki era reformasi, disambut gegap gempita dengan kebebasan berekspresi, penerbit buku banyak bermunculan hingga menampilkan berbagai genre dan ideologis.

Pada masa ini pasar adalah penentu, buku-buku yang laris dipasaran akan segera diterbitkan. Terutama penerbit raksasa sekelas Gramedia. Tidak hanya menerbitkan buku, Gramedia pun menjual buku-bukunya di seluruh kota di Indonesia.

Gramedia secara ideologi mencari keuntungan atas penjualan buku dibanding kualitas. Gramedia akan mempromosikan buku berulang-ulang dan mencetaknya berkali-kali jika laris dipasaran.

Terkait buku terjemahan, Gramedia menerjemahkan buku-buku yang laris di Amerika, sehingga didominasilah buku terjemahan dari Amerika. Begitupula dengan buku novel, buku yang bergenre roman laris dicetak berkali-kali.

Di Gramedia, sulit untuk menemukan buku-buku yang kontroversi termasuk buku yang berpaham komunis. Bahkan karya sastra berkualitas sukar untuk ditemukan. Yang terjadi ketika masuk Gramedia yang tetpampang adalah buku-buku biografi para jenderal, taipan China, novel roman, dan motivasi diri.

Toko Buku Alternatif

Tidak semua penerbit bukunya terpajang di Gramedia. Beruntung, ketika media sosial menjamur, penerbit buku alternatif dan toko buku alternatif mulai bermunculan.

Penerbit Komunitas Bambu, misalnya, menghadirkan buku-buku sejarah berkualitas yang sulit ditemukan di Gramedia.

Berkat media sosial, buku-buku terbitan Komunitas Bambu kini lebih mudah diakses. Komunitas Bambu juga menghadirkan buku tentang sejarah komunisme, yang hampir mustahil dijumpai di Gramedia.

Ada pula penerbit Marjin Kiri yang menerjemahkan buku-buku non-Amerika, sehingga pembaca bisa menemukan banyak terjemahan berkualitas yang bahkan menentang hegemoni Amerika.

Selain itu, hadir juga penerbit lain yang meluncurkan karya sastra bermutu, terbukti dari kemenangan mereka di ajang Kusala Sastra Khatulistiwa maupun penghargaan Dewan Kesenian Jakarta.

Beruntung di era media sosial, banyak toko buku daring bermunculan dan menawarkan buku-buku menarik dari penerbit alternatif.

Di sana, kita bisa menemukan buku-buku yang membahas komunisme seperti terbitan Marjin Kiri dan Komunitas Bambu, karya sastra dari penerbit Banana, buku nonfiksi dari EA Books, dan berbagai penerbit lain yang sulit dijumpai di Gramedia.

Buku-buku ini seolah hadir menentang dominasi bacaan di Gramedia: ada buku tentang komunisme, buku tentang demotivasi sebagai tandingan buku motivasi diri, buku tentang kebengisan para jenderal, hingga buku tentang bahaya kapitalisme.

Penerbit Alternatif

Marjin Kiri adalah penerbit favoritku. Sebagian besar koleksi bukuku berasal dari Marjin Kiri. Namun, sebagai penerbit, Marjin Kiri terbatas hanya mampu menerbitkan setidaknya satu buku per bulan.

Dari penerbit ini, aku banyak belajar hal-hal menarik.

Misalnya dari sisi politik: Politik Jatah Preman karya Ian Douglas Wilson menggambarkan bagaimana preman menjadi mesin politik penguasa, bahkan dengan mengenakan jubah; Riwayat Terkubur karya John Roosa menelusuri jejak PKI yang coba dikubur para jenderal; Hidup Bersama Raksasa karya Tania Murray Li dan Pujo Semedi menyingkap keberingasan perusahaan sawit yang menyengsarakan rakyat.

Karya sastranya pun tak kalah berpengaruh, banyak yang memenangkan penghargaan bergengsi. Misalnya Dawuk karya Mahfud Ikhwan, pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017; Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi, pemenang DKJ 2018; dan Aib dan Nasib karya Minanto, pemenang DKJ 2019.

Buku-buku terjemahannya juga menarik, seperti Kenang-Kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub yang menuturkan pandangan seekor beruang kutub di kebun binatang; Rumah Kertas yang memperlihatkan obsesi pecinta buku hingga menjadikan buku sebagai fondasi rumahnya; serta Kumpulan Dongeng untuk Penulis, kreasi ulang atas dongeng-dongeng familiar yang dinarasikan dalam sudut pandang seorang penulis. Namun, buku-buku Marjin Kiri nyaris mustahil ditemukan di Gramedia.

Komunitas Bambu adalah penerbit yang fokus pada sejarah, termasuk sejarah komunisme. Mereka menerbitkan karya-karya seperti Kemunculan Komunisme di Indonesia, Musim Menjagal, Berkas Genosida di Indonesia, Propaganda dan Genosida di Indonesia, Kejahatan Tanpa Hukuman, dan lain-lain. Semua buku itu sulit sekali ditemukan di Gramedia.

Salah satu contoh lain adalah buku berjudul Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan. Buku ini tidak akan ditemui di Gramedia, bahkan sempat digerebek ormas karena dianggap menghina agama.

Namun, di toko buku alternatif, buku tersebut justru menjadi karya terlaris, bahkan diadaptasi ke film berjudul Tuhan Izinkan Aku Berdosa.

Kisahnya menceritakan seorang perempuan yang awalnya berhijrah, tetapi kemudian melihat kemunafikan tokoh agama hingga akhirnya terjerumus menjadi pelacur. Novel ini ditulis berdasarkan riset langsung oleh Muhidin M. Dahlan.[]


Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)

Ilustrasi: Hands of Woman Reading Book/Pexels.com
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan