Pierre Bourdieu dan Pendidikan: Mengungkap Habitus, Modal, dan Ketidaksetaraan Sosial
INTIinspira - Pierre Bourdieu merupakan sosiolog asal Prancis yang dikenal karena analisis tajamnya tentang cara kerja kekuasaan.
Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk yang terlihat jelas, melainkan tersembunyi dalam kebiasaan, selera, cara berpikir, bahkan dalam hal-hal kecil yang kita lakukan sehari-hari.
Melalui lensa Bourdieu, kita bisa memahami mengapa ketimpangan dalam masyarakat terus berlangsung, meskipun secara formal tampak seolah semua orang memiliki kesempatan yang sama.
Salah satu contohnya dapat dilihat di dunia pendidikan. Sekolah sering dianggap sebagai ruang netral yang memberi peluang setara bagi semua anak.
Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk yang terlihat jelas, melainkan tersembunyi dalam kebiasaan, selera, cara berpikir, bahkan dalam hal-hal kecil yang kita lakukan sehari-hari.
Melalui lensa Bourdieu, kita bisa memahami mengapa ketimpangan dalam masyarakat terus berlangsung, meskipun secara formal tampak seolah semua orang memiliki kesempatan yang sama.
Salah satu contohnya dapat dilihat di dunia pendidikan. Sekolah sering dianggap sebagai ruang netral yang memberi peluang setara bagi semua anak.
Namun kenyataannya, anak dari keluarga berpendidikan lebih mudah menyesuaikan diri dengan cara belajar di kelas, sementara anak dari keluarga pekerja yang tidak terbiasa dengan dunia akademik sering kali merasa tertinggal.
Tulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan gagasan-gagasan utama Pierre Bourdieu sekaligus menunjukkan relevansinya bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan memahami konsep habitus, field, modal, hingga kekerasan simbolik, kita dapat melihat bahwa keberhasilan atau kegagalan siswa tidak pernah berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh struktur sosial yang lebih luas.
Harapannya, pembahasan ini membantu kita lebih kritis membaca kenyataan sosial, sekaligus mendorong praktik pendidikan yang lebih adil dan tidak sekadar mewariskan ketimpangan dari generasi ke generasi.
Apa yang tampak jelas dalam pendidikan sesungguhnya hanyalah salah satu contoh dari cara kerja kekuasaan yang lebih luas.
Mekanisme serupa juga terjadi di banyak bidang kehidupan lain. Dengan kata lain, untuk memahami mengapa ketidaksetaraan bertahan, kita tidak bisa hanya melihat pada institusi formal seperti sekolah, melainkan juga pada detail keseharian yang membentuk cara orang dipandang dan diakui di masyarakat.
Biasanya, ketika berbicara tentang masyarakat, kita langsung memikirkan kelas sosial, institusi politik, lembaga pendidikan, atau sistem ekonomi.
Namun, Bourdieu mengingatkan bahwa ketidaksetaraan tidak hanya bertahan di ruang-ruang besar itu. Justru, ia kerap hidup melalui hal-hal kecil yang tidak kita sadari. Kebiasaan sehari-hari, bahasa yang digunakan, cara duduk, selera musik, hingga cara kita menilai sesuatu bisa menjadi sarana reproduksi kekuasaan.
Contoh sederhana bisa dilihat dalam cara masyarakat menilai logat. Logat orang kota sering dianggap lebih modern dan berpendidikan, sementara logat daerah kerap dipandang kampungan atau kurang cerdas.
Padahal, cara bicara tidak ada kaitannya dengan tingkat intelektualitas seseorang. Penilaian semacam ini adalah bentuk kekuasaan yang halus, bekerja melalui simbol dan kebiasaan, sehingga sering diterima begitu saja tanpa sempat dipertanyakan.
Dalam psikologi, habit berarti kebiasaan yang terbentuk dari pengulangan.
Tulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan gagasan-gagasan utama Pierre Bourdieu sekaligus menunjukkan relevansinya bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan memahami konsep habitus, field, modal, hingga kekerasan simbolik, kita dapat melihat bahwa keberhasilan atau kegagalan siswa tidak pernah berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh struktur sosial yang lebih luas.
Harapannya, pembahasan ini membantu kita lebih kritis membaca kenyataan sosial, sekaligus mendorong praktik pendidikan yang lebih adil dan tidak sekadar mewariskan ketimpangan dari generasi ke generasi.
Apa yang tampak jelas dalam pendidikan sesungguhnya hanyalah salah satu contoh dari cara kerja kekuasaan yang lebih luas.
Mekanisme serupa juga terjadi di banyak bidang kehidupan lain. Dengan kata lain, untuk memahami mengapa ketidaksetaraan bertahan, kita tidak bisa hanya melihat pada institusi formal seperti sekolah, melainkan juga pada detail keseharian yang membentuk cara orang dipandang dan diakui di masyarakat.
Biasanya, ketika berbicara tentang masyarakat, kita langsung memikirkan kelas sosial, institusi politik, lembaga pendidikan, atau sistem ekonomi.
Namun, Bourdieu mengingatkan bahwa ketidaksetaraan tidak hanya bertahan di ruang-ruang besar itu. Justru, ia kerap hidup melalui hal-hal kecil yang tidak kita sadari. Kebiasaan sehari-hari, bahasa yang digunakan, cara duduk, selera musik, hingga cara kita menilai sesuatu bisa menjadi sarana reproduksi kekuasaan.
Contoh sederhana bisa dilihat dalam cara masyarakat menilai logat. Logat orang kota sering dianggap lebih modern dan berpendidikan, sementara logat daerah kerap dipandang kampungan atau kurang cerdas.
Padahal, cara bicara tidak ada kaitannya dengan tingkat intelektualitas seseorang. Penilaian semacam ini adalah bentuk kekuasaan yang halus, bekerja melalui simbol dan kebiasaan, sehingga sering diterima begitu saja tanpa sempat dipertanyakan.
Habit vs Habitus: Dua Hal yang Berbeda
Untuk memahami cara kerja halus dari kekuasaan, penting membedakan dua istilah yang kerap disamakan, yaitu habit dan habitus.Dalam psikologi, habit berarti kebiasaan yang terbentuk dari pengulangan.
Misalnya, seseorang terbiasa menyikat gigi sebelum tidur, membuka buku pelajaran setiap pagi, atau secara refleks mengecek ponsel begitu bangun.
Habit bersifat spesifik, konkret, dan bisa diubah dengan pembiasaan baru. Ia bekerja di tingkat individu, sering kali tanpa disadari.
Sebaliknya, habitus menurut Bourdieu bukan sekadar kebiasaan hasil pengulangan, melainkan pola pikir, rasa, dan tindakan yang terbentuk dari pengalaman sosial sejak kecil.
Habitus tumbuh dari lingkungan keluarga, pendidikan, kelas sosial, dan sejarah hidup seseorang. Ia jauh lebih dalam daripada habit, lebih sulit diubah, dan bekerja bukan hanya di tingkat individu, tetapi juga dalam konteks sosial yang lebih luas.
Contohnya, seorang anak yang tumbuh di keluarga akademisi biasanya terbiasa berdiskusi, membaca buku, dan berpikir kritis. Itu bukan karena ia sengaja dilatih setiap hari seperti membentuk habit, melainkan karena lingkungannya sejak kecil sudah penuh dengan percakapan intelektual, rak buku, dan cara pandang tertentu terhadap dunia.
Sebaliknya, anak dari keluarga pekerja mungkin lebih terbiasa berpikir praktis dan memandang pendidikan sebagai jalan mencari pekerjaan, bukan semata pencarian ilmu. Perbedaan itu adalah wujud habitus.
Dengan kata lain, habit adalah kebiasaan permukaan yang lahir dari pengulangan, sedangkan habitus adalah kerangka mendalam yang membentuk cara seseorang memandang dan merespons dunia.
Field dapat dipahami sebagai arena tempat individu atau kelompok bersaing untuk mendapatkan posisi, pengaruh, dan pengakuan.
Setiap field memiliki aturan mainnya sendiri.
Sebaliknya, habitus menurut Bourdieu bukan sekadar kebiasaan hasil pengulangan, melainkan pola pikir, rasa, dan tindakan yang terbentuk dari pengalaman sosial sejak kecil.
Habitus tumbuh dari lingkungan keluarga, pendidikan, kelas sosial, dan sejarah hidup seseorang. Ia jauh lebih dalam daripada habit, lebih sulit diubah, dan bekerja bukan hanya di tingkat individu, tetapi juga dalam konteks sosial yang lebih luas.
Contohnya, seorang anak yang tumbuh di keluarga akademisi biasanya terbiasa berdiskusi, membaca buku, dan berpikir kritis. Itu bukan karena ia sengaja dilatih setiap hari seperti membentuk habit, melainkan karena lingkungannya sejak kecil sudah penuh dengan percakapan intelektual, rak buku, dan cara pandang tertentu terhadap dunia.
Sebaliknya, anak dari keluarga pekerja mungkin lebih terbiasa berpikir praktis dan memandang pendidikan sebagai jalan mencari pekerjaan, bukan semata pencarian ilmu. Perbedaan itu adalah wujud habitus.
Dengan kata lain, habit adalah kebiasaan permukaan yang lahir dari pengulangan, sedangkan habitus adalah kerangka mendalam yang membentuk cara seseorang memandang dan merespons dunia.
Field sebagai Arena Sosial Tempat Habitus Bekerja
Habitus tidak hidup di ruang hampa. Ia selalu beroperasi di dalam field atau ladang sosial.Field dapat dipahami sebagai arena tempat individu atau kelompok bersaing untuk mendapatkan posisi, pengaruh, dan pengakuan.
Setiap field memiliki aturan mainnya sendiri.
Dunia pendidikan, misalnya, memiliki standar tentang apa yang dianggap “cerdas” atau “berprestasi.” Dunia seni menilai karya dengan tolok ukur lain, begitu pula dunia politik atau ekonomi.
Untuk bisa bertahan dan berhasil di dalam suatu field, seseorang tidak cukup hanya punya niat atau kerja keras. Dia juga harus memiliki modal tertentu dan memahami aturan main yang berlaku di arena itu.
Pertama, modal ekonomi. Modal ini paling mudah dikenali, berupa uang, aset, kepemilikan tanah, saham, atau harta kekayaan lain. Orang dengan modal ekonomi besar bisa membeli fasilitas, membiayai pendidikan, atau bahkan mendanai kampanye politik.
Contohnya, seorang pengusaha kaya mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Kekayaan itu bukan hanya memberi kenyamanan hidup, tetapi juga membuka akses ke dunia pendidikan dan jaringan global.
Kedua, modal budaya. Modal budaya mencakup pendidikan, pengetahuan, keterampilan, selera, dan bahkan gaya hidup yang dihargai di masyarakat.
Untuk bisa bertahan dan berhasil di dalam suatu field, seseorang tidak cukup hanya punya niat atau kerja keras. Dia juga harus memiliki modal tertentu dan memahami aturan main yang berlaku di arena itu.
Empat Modal Kekuasaan
Di sinilah konsep modal menjadi penting. Bourdieu menolak pandangan bahwa kekuasaan hanya ditentukan oleh uang. Ia membedakan empat jenis modal yang bisa digunakan untuk berkuasa dalam suatu field:Pertama, modal ekonomi. Modal ini paling mudah dikenali, berupa uang, aset, kepemilikan tanah, saham, atau harta kekayaan lain. Orang dengan modal ekonomi besar bisa membeli fasilitas, membiayai pendidikan, atau bahkan mendanai kampanye politik.
Contohnya, seorang pengusaha kaya mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Kekayaan itu bukan hanya memberi kenyamanan hidup, tetapi juga membuka akses ke dunia pendidikan dan jaringan global.
Kedua, modal budaya. Modal budaya mencakup pendidikan, pengetahuan, keterampilan, selera, dan bahkan gaya hidup yang dihargai di masyarakat.
Modal ini bisa diwariskan, misalnya lewat keluarga yang terbiasa membaca, mendengarkan musik klasik, atau mendorong anaknya belajar seni.
Contohnya, seorang mahasiswa yang terbiasa menulis esai dan berdiskusi sejak kecil lebih mudah beradaptasi di kampus elit. Ia mungkin tidak kaya, tetapi seleranya pada buku, musik, atau seni tertentu membuatnya lebih dihargai di lingkungan akademik.
Ketiga, modal sosial. Modal ini berupa jaringan, relasi, dan koneksi yang dimiliki seseorang. “Siapa yang kita kenal” sering kali sama pentingnya dengan “apa yang kita tahu.”
Contohnya, seorang mahasiswa yang terbiasa menulis esai dan berdiskusi sejak kecil lebih mudah beradaptasi di kampus elit. Ia mungkin tidak kaya, tetapi seleranya pada buku, musik, atau seni tertentu membuatnya lebih dihargai di lingkungan akademik.
Ketiga, modal sosial. Modal ini berupa jaringan, relasi, dan koneksi yang dimiliki seseorang. “Siapa yang kita kenal” sering kali sama pentingnya dengan “apa yang kita tahu.”
Relasi dapat membuka akses pada peluang yang sulit dijangkau hanya dengan modal ekonomi atau budaya.
Contohnya, seorang lulusan biasa saja bisa mendapat pekerjaan bagus karena memiliki kerabat yang sudah lebih dulu bekerja di perusahaan tersebut. Atau, seorang politisi bisa maju lebih cepat karena memiliki jaringan kuat dengan tokoh masyarakat atau organisasi.
Keempat, modal simbolik. Modal simbolik adalah kehormatan, reputasi, atau status sosial yang diakui oleh orang lain. Ia sering lahir dari modal budaya atau sosial, tetapi yang membuatnya berbeda adalah pengakuan kolektif. Seseorang dianggap “berwibawa” atau “terhormat,” dan pengakuan itu menjadi sumber kekuasaan.
Contohnya, seorang guru di desa mungkin tidak kaya secara materi, tetapi ia dihormati murid dan masyarakat karena dianggap berilmu. Atau, seorang seniman yang memenangkan penghargaan nasional memiliki modal simbolik yang membuat karyanya lebih diperhitungkan di dunia seni.
Dengan kata lain, keempat modal ini saling berhubungan. Uang bisa membuka akses pendidikan (modal budaya), pendidikan bisa memperluas jaringan (modal sosial), dan ketiganya bisa menghasilkan status terhormat (modal simbolik).
Contohnya, seorang lulusan biasa saja bisa mendapat pekerjaan bagus karena memiliki kerabat yang sudah lebih dulu bekerja di perusahaan tersebut. Atau, seorang politisi bisa maju lebih cepat karena memiliki jaringan kuat dengan tokoh masyarakat atau organisasi.
Keempat, modal simbolik. Modal simbolik adalah kehormatan, reputasi, atau status sosial yang diakui oleh orang lain. Ia sering lahir dari modal budaya atau sosial, tetapi yang membuatnya berbeda adalah pengakuan kolektif. Seseorang dianggap “berwibawa” atau “terhormat,” dan pengakuan itu menjadi sumber kekuasaan.
Contohnya, seorang guru di desa mungkin tidak kaya secara materi, tetapi ia dihormati murid dan masyarakat karena dianggap berilmu. Atau, seorang seniman yang memenangkan penghargaan nasional memiliki modal simbolik yang membuat karyanya lebih diperhitungkan di dunia seni.
Dengan kata lain, keempat modal ini saling berhubungan. Uang bisa membuka akses pendidikan (modal budaya), pendidikan bisa memperluas jaringan (modal sosial), dan ketiganya bisa menghasilkan status terhormat (modal simbolik).
Kekerasan Simbolik
Di sinilah Bourdieu memperkenalkan konsep kekerasan simbolik (symbolic violence).Kekuasaan rupanya tidak selalu mengambil bentuk pemaksaan fisik, tapi juga bisa bekerja dengan cara yang sangat halus sehingga orang yang didominasi justru menerimanya tanpa merasa dipaksa.
Contohnya bisa kita lihat di beberapa sekolah. Ketika cara berbicara dengan logat kota dianggap lebih berpendidikan dan berkelas, siswa dari keluarga kelas bawah yang terbiasa menggunakan logat daerah sering dipandang kurang cerdas atau kurang layak didengar.
Padahal, kemampuan intelektual sama sekali tidak bergantung pada logat yang digunakan.
Hal serupa juga tampak ketika guru lebih menghargai siswa yang aktif berbicara di depan kelas dibandingkan yang pendiam.
Di banyak budaya lokal Indonesia, anak justru diajarkan untuk sopan, tidak menonjolkan diri, dan lebih banyak mendengarkan orang tua.
Contohnya bisa kita lihat di beberapa sekolah. Ketika cara berbicara dengan logat kota dianggap lebih berpendidikan dan berkelas, siswa dari keluarga kelas bawah yang terbiasa menggunakan logat daerah sering dipandang kurang cerdas atau kurang layak didengar.
Padahal, kemampuan intelektual sama sekali tidak bergantung pada logat yang digunakan.
Hal serupa juga tampak ketika guru lebih menghargai siswa yang aktif berbicara di depan kelas dibandingkan yang pendiam.
Di banyak budaya lokal Indonesia, anak justru diajarkan untuk sopan, tidak menonjolkan diri, dan lebih banyak mendengarkan orang tua.
Akibatnya, siswa yang pendiam sering dianggap pasif atau kurang cerdas, padahal mereka hanya membawa nilai budaya yang berbeda.
Karena aturan semacam itu dianggap wajar, anak-anak dari kelompok bawah atau dari latar budaya tertentu menerima posisi marginal mereka tanpa menyadari bahwa mereka sedang mengalami ketidakadilan. Inilah penampakan dari wajah kekerasan simbolik yang tak terlihat namun efektif.
Anak dari keluarga kaya memiliki lebih banyak modal budaya—mulai dari buku di rumah, kursus tambahan, bimbingan belajar, hingga lingkungan yang mendorong berpikir kritis.
Mereka masuk sekolah dengan habitus yang sesuai dengan standar akademik. Sebaliknya, anak dari keluarga miskin membawa habitus yang berbeda, yang sering kali tidak cocok dengan “aturan main” sekolah.
Hasilnya, anak kaya cenderung lebih mudah berhasil, sementara anak miskin sulit untuk meraih posisi keberhasilan yang demikian.
Karena aturan semacam itu dianggap wajar, anak-anak dari kelompok bawah atau dari latar budaya tertentu menerima posisi marginal mereka tanpa menyadari bahwa mereka sedang mengalami ketidakadilan. Inilah penampakan dari wajah kekerasan simbolik yang tak terlihat namun efektif.
Mengapa Anak Kaya Makin Mudah Sukses?
Menurut Bourdieu, pendidikan sering kali tidak benar-benar menghapus ketimpangan, melainkan justru mewariskannya.Anak dari keluarga kaya memiliki lebih banyak modal budaya—mulai dari buku di rumah, kursus tambahan, bimbingan belajar, hingga lingkungan yang mendorong berpikir kritis.
Mereka masuk sekolah dengan habitus yang sesuai dengan standar akademik. Sebaliknya, anak dari keluarga miskin membawa habitus yang berbeda, yang sering kali tidak cocok dengan “aturan main” sekolah.
Hasilnya, anak kaya cenderung lebih mudah berhasil, sementara anak miskin sulit untuk meraih posisi keberhasilan yang demikian.
Proses ini membuat ketimpangan sosial seolah-olah alamiah, padahal sebenarnya sedang direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Inilah yang disebut Bourdieu sebagai reproduksi sosial.
Namun kenyataannya, sekolah adalah sebuah field dengan aturan main yang mencerminkan nilai kelas dominan.
Bahasa, cara berpikir, dan nilai-nilai yang dihargai di sekolah sering kali berasal dari kelas sosial tertentu.
Pendidikan sebagai Ladang Sosial
Pemikiran Bourdieu memberi kita lensa kritis untuk melihat dunia pendidikan. Kita sering menganggap sekolah sebagai ruang netral di mana semua anak punya kesempatan yang sama.Namun kenyataannya, sekolah adalah sebuah field dengan aturan main yang mencerminkan nilai kelas dominan.
Bahasa, cara berpikir, dan nilai-nilai yang dihargai di sekolah sering kali berasal dari kelas sosial tertentu.
Siswa yang habitus-nya sesuai dengan standar tersebut lebih mudah diakui sebagai “cerdas,” sementara yang berbeda kesulitan mendapat pengakuan, meskipun mereka juga memiliki potensi besar.
Menuju Pendidikan yang Lebih Adil
Kesadaran akan habitus, modal, dan kekerasan simbolik membantu kita menilai kegagalan siswa dengan lebih adil.Kegagalan ternyata tidak semata-mata disebabkan kurangnya usaha, tetapi juga karena modal awal yang mereka bawa berbeda dan tidak sesuai dengan aturan main yang berlaku di sekolah.
Tugas pendidikan, dengan demikian, bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, melainkan juga menciptakan kondisi yang lebih setara, yakni menghargai berbagai bentuk modal, mengenali keragaman habitus, dan tidak menjadikan satu nilai budaya sebagai ukuran tunggal keberhasilan.
Jika mampu menerapkan cara pandang ini, pendidikan tidak lagi menjadi mesin reproduksi ketimpangan, melainkan benar-benar menjadi sarana perubahan sosial.[]
Tugas pendidikan, dengan demikian, bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, melainkan juga menciptakan kondisi yang lebih setara, yakni menghargai berbagai bentuk modal, mengenali keragaman habitus, dan tidak menjadikan satu nilai budaya sebagai ukuran tunggal keberhasilan.
Jika mampu menerapkan cara pandang ini, pendidikan tidak lagi menjadi mesin reproduksi ketimpangan, melainkan benar-benar menjadi sarana perubahan sosial.[]
Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan).
Ilustrasi: Shabby Chalkboard on Stone Wall/Pexels.com