Tidak Semua Tulisan Layak Dibaca, Bahkan Banyak Buku pun Menyesatkan
Tidak Semua Tulisan Layak Dibaca
INTIinspira - “Saat semua orang bisa menulis, maka ia bisa memberikan informasi yang tak berguna,” kata Bedeni kepada Oczy dalam anime On The Movement of The Earth.Dialog itu menjadi refleksi situasi hari ini, ketika semua orang bebas menuliskan, memposting, dan menyatakan apa pun melalui media sosial. Akibatnya, informasi yang tak berguna pun berhamburan di mana-mana.
Banyak orang merasa pintar, padahal sesungguhnya tidak. Mereka menulis dan menyampaikan apa saja, bahkan yang belum tentu benar, dan ironisnya justru mendapat banyak pengikut.
Tulisan yang tak berguna itu akhirnya menjelma menjadi kebodohan sekaligus kebohongan yang kian menjamur.
Di tengah banjir informasi ini, kita dituntut untuk mampu membedakan antara mana yang berguna, mana yang tidak, dan ini perlu sebuah penalaran.
Lihatlah akun gosip atau akun yang gemar melakukan cocoklogi—menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa dasar. Mereka memiliki pengikut yang tak kalah banyak.
Bencananya adalah orang yang ahli di bidangnya seringkali tidak didengar, atau disebut “Matinya Kepakaran”, orang-orang yang lebih banyak menulis dan mengoceh di media sosial lebih didengar, meskipun tidak memiliki kualifikasi atas apa yang dia omongkan.
Banyak pula orang tanpa latar belakang pendidikan yang memadai mencoba membicarakan segala hal, tanpa argumen jelas, bahkan terkesan ngawur.
Kekacauan Informasi karena Tulisan
Ketika informasi hadir, seharusnya kita mendapatkan pemahaman. Namun yang sering terjadi malah kekacauan dalam melihat segalanya, karena ketidakjelasan informasi.Nahasnya informasi ini merembes pula ke media massa, yang kerap menyajikan informasi tidak utuh, bahkan menampilkan informasi sesuai kepentingan.
Di era yang berhamburnya informasi, menyaring apa yang kita terima menjadi langkah yang sangat penting.
Socrates ketika dapat kabar berita, mempertanyakan apakah informasi itu benar, penting, dan baik, jika tidak termasuk dalam tiga kategori itu, maka lebih baik tidak usah disampaikan. Pertimbangan Socrates ini masih relevan hingga hari ini.
Karena itu, kita harus benar-benar jeli memilih mana informasi yang penting untuk kita dapatkan, tidak hanya penting tapi juga informasi yang benar, dan tidak hanya benar tapi juga informasi yang baik.
Kini ada banyak sekali situs yang menyediakan tulisan—dari agama, budaya, seni, sastra, dan berbagai hal lainnya, tapi kita harus jeli melihat mana tulisan yang benar-benar penting, benar, dan baik. Dengan bahasa lain kita harus selektif karena tidak semuanya layak untuk dikonsumsi.
Rolf Dobelli dalam buku "Stop Membaca Berita", memberikan wawasan bahwa mengonsumsi banyak berita tidaklah sehat, terutama jika tidak ada kaitannya dengan kehidupan kita. Apalagi bila berita itu hanya menjadi beban pikiran tanpa bisa ditindaklanjuti.
Jadi bacalah berita yang memang memiliki hubungan dengan apa yang menyangkut diri, dan bisa kita lakukan.
Karena itu, kita harus jeli dalam memilih bacaan. Lihatlah profil penulisnya: apakah ia memiliki kualifikasi terhadap apa yang ditulis? Apakah ia seorang sastrawan yang tekun membaca karya-karya sebelumnya?
Sayangnya, banyak orang hari ini hanya ingin jadi penulis, tanpa tahu kenapa dia menulis, seolah menulis otomatis bisa mengantarkan mereka menjadi terkenal. Padahal, pada akhirnya tidaklah demikian, kebanyakan karya semacam itu berakhir tanpa jejak.
Membaca buku hiburan tak jauh berbeda dengan menonton sinetron murahan, selesai begitu saja tanpa meninggalkan bekas. Seperti makanan cepat saji yang mengenyangkan, tetapi tidak memberi gizi.
Maka teranglah pula, membaca itu lebih sulit daripada menulis. Orang bisa dengan mudah menulis atau mengoceh tentang apa pun. Tapi membaca perlu sebuah proses pemilihan apa yang dibaca, proses memilih bacaan yang mampu memberi nutrisi bagi pikiran.
Dee Lestari pernah bilang, membaca buku itu seperti angkat beban. Maka seperti itu pula membaca buku, jika hanya membaca buku yang ringan saja, pikiran tidak akan berkembang. Karena itu, bacalah buku yang bukan hanya menyenangkan, tetapi juga menantang untuk dipikirkan.
Karya sastra dunia, misalnya, membuka jendela pada kemelut manusia dan peradaban. Tidak semua mudah dipahami, tetapi di situlah tugas pembaca, berjibaku untuk mengerti. Begitu pula membaca karya filsafat, kita diajak memasuki alam pikiran yang mendalam, yang memerlukan sebuah bekal untuk memahami apa yang dimaksud filsuf.
Sayangnya buku ringan lebih populer, dicetak berulang-ulang, diulas berulang-ulang, dan disebarkan berulang-ulang, tanpa bisa mengasah untuk berpikir.
Ketika kritik membaca dilayangkan, muncul dalih tentang book shaming—jangan menghina bacaan orang lain, karena setiap orang punya selera.
Ya, setiap orang berhak punya selera. Tetapi sering kali selera itu dibentuk oleh pasar, membuat kita tanpa sadar hanya membaca yang ringan, dan mengabaikan buku-buku yang menantang pikiran.[]
Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)
Ilustrasi: Pile of Covered Books/Pexels.com
Socrates ketika dapat kabar berita, mempertanyakan apakah informasi itu benar, penting, dan baik, jika tidak termasuk dalam tiga kategori itu, maka lebih baik tidak usah disampaikan. Pertimbangan Socrates ini masih relevan hingga hari ini.
Karena itu, kita harus benar-benar jeli memilih mana informasi yang penting untuk kita dapatkan, tidak hanya penting tapi juga informasi yang benar, dan tidak hanya benar tapi juga informasi yang baik.
Kini ada banyak sekali situs yang menyediakan tulisan—dari agama, budaya, seni, sastra, dan berbagai hal lainnya, tapi kita harus jeli melihat mana tulisan yang benar-benar penting, benar, dan baik. Dengan bahasa lain kita harus selektif karena tidak semuanya layak untuk dikonsumsi.
Rolf Dobelli dalam buku "Stop Membaca Berita", memberikan wawasan bahwa mengonsumsi banyak berita tidaklah sehat, terutama jika tidak ada kaitannya dengan kehidupan kita. Apalagi bila berita itu hanya menjadi beban pikiran tanpa bisa ditindaklanjuti.
Jadi bacalah berita yang memang memiliki hubungan dengan apa yang menyangkut diri, dan bisa kita lakukan.
Tidak Semua Buku Layak Dibaca
Tidak hanya situs, buku pun begitu. Setiap bulan ada puluhan buku yang terbit, tetapi tidak semuanya memberi manfaat. Sebagian besar hanya menyajikan hiburan ringan.Karena itu, kita harus jeli dalam memilih bacaan. Lihatlah profil penulisnya: apakah ia memiliki kualifikasi terhadap apa yang ditulis? Apakah ia seorang sastrawan yang tekun membaca karya-karya sebelumnya?
Sayangnya, banyak orang hari ini hanya ingin jadi penulis, tanpa tahu kenapa dia menulis, seolah menulis otomatis bisa mengantarkan mereka menjadi terkenal. Padahal, pada akhirnya tidaklah demikian, kebanyakan karya semacam itu berakhir tanpa jejak.
Membaca buku hiburan tak jauh berbeda dengan menonton sinetron murahan, selesai begitu saja tanpa meninggalkan bekas. Seperti makanan cepat saji yang mengenyangkan, tetapi tidak memberi gizi.
Maka teranglah pula, membaca itu lebih sulit daripada menulis. Orang bisa dengan mudah menulis atau mengoceh tentang apa pun. Tapi membaca perlu sebuah proses pemilihan apa yang dibaca, proses memilih bacaan yang mampu memberi nutrisi bagi pikiran.
Dee Lestari pernah bilang, membaca buku itu seperti angkat beban. Maka seperti itu pula membaca buku, jika hanya membaca buku yang ringan saja, pikiran tidak akan berkembang. Karena itu, bacalah buku yang bukan hanya menyenangkan, tetapi juga menantang untuk dipikirkan.
Karya sastra dunia, misalnya, membuka jendela pada kemelut manusia dan peradaban. Tidak semua mudah dipahami, tetapi di situlah tugas pembaca, berjibaku untuk mengerti. Begitu pula membaca karya filsafat, kita diajak memasuki alam pikiran yang mendalam, yang memerlukan sebuah bekal untuk memahami apa yang dimaksud filsuf.
Sayangnya buku ringan lebih populer, dicetak berulang-ulang, diulas berulang-ulang, dan disebarkan berulang-ulang, tanpa bisa mengasah untuk berpikir.
Ketika kritik membaca dilayangkan, muncul dalih tentang book shaming—jangan menghina bacaan orang lain, karena setiap orang punya selera.
Ya, setiap orang berhak punya selera. Tetapi sering kali selera itu dibentuk oleh pasar, membuat kita tanpa sadar hanya membaca yang ringan, dan mengabaikan buku-buku yang menantang pikiran.[]
Penulis: Romario (Dosen IAIN Langsa)
Ilustrasi: Pile of Covered Books/Pexels.com