Mengapa Pemikiran Amartya Sen Mengubah Cara Kita Melihat Kemiskinan?
INTIisnpira - Ketika kita membaca pemikiran Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf dari India, kita tidak bisa melepaskannya dari situasi yang dia hadapi.
Sen lahir di Bengal pada tahun 1933, sebuah wilayah yang kala itu sering dilanda kemiskinan, kelaparan, dan konflik politik.
Dia sendiri menyaksikan langsung bencana kelaparan Bengal tahun 1943, ketika jutaan orang meninggal bukan semata karena tidak ada makanan, tetapi karena makanan yang ada tidak terdistribusi secara adil.
Pertanyaan itu menuntun Sen untuk mengkritik cara ekonomi arus utama melihat kesejahteraan.
Selama bertahun-tahun, ekonomi cenderung menilai keberhasilan suatu negara hanya lewat angka-angka seperti produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi, atau tingkat rata-rata pendapatan.
Jika angka-angka itu naik, berarti pembangunan dianggap berhasil.
Tetapi Sen melihat kenyataan lain. Ada negara yang PDB-nya tinggi, tetapi angka harapan hidup rakyatnya relatif rendah, atau banyak anak-anak yang tidak bersekolah.
Misalnya, Malaysia memiliki PDB per kapita jauh lebih tinggi dibanding Sri Lanka, tetapi angka harapan hidup Sri Lanka justru sedikit lebih tinggi (sekitar 78 tahun, sedangkan Malaysia 76 tahun).
Contoh lain, Kuba yang PDB-nya termasuk rendah di Amerika Latin, mampu menyediakan layanan kesehatan yang merata dan angka harapan hidup setara dengan negara maju, berkat sistem kesehatan publiknya yang kuat.
Sebaliknya, ada negara dengan PDB kecil tetapi mampu menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan yang baik bagi warganya, seperti Sri Lanka yang walaupun ekonominya kecil, memiliki sistem pendidikan dasar dan layanan kesehatan yang relatif inklusif dibanding banyak negara dengan pendapatan lebih besar.
Dari sini, Sen mulai merumuskan kritik mendasar: PDB bukanlah ukuran yang cukup untuk menilai kualitas hidup manusia.
Bagi Sen, pandangan ini berbahaya. Bayangkan sebuah masyarakat di mana mayoritas merasa bahagia, tetapi minoritas tertindas dan suaranya diabaikan.
Misalnya, di Myanmar sebelum kudeta 2021, sebagian besar kelompok mayoritas merasa aman dengan identitas nasional mereka, tetapi etnis Rohingya menghadapi diskriminasi berat, bahkan hingga pengusiran massal.
Atau dalam konteks lain, di era Afrika Selatan sebelum runtuhnya apartheid, sebagian warga kulit putih menikmati kemakmuran dan rasa “aman”, sementara mayoritas kulit hitam hidup dalam penindasan struktural tanpa hak politik penuh.
Secara utilitarian, itu masih dianggap baik karena kebahagiaan mayoritas lebih besar. Namun secara etis, jelas ada ketidakadilan.
Lalu ada teori John Rawls yang cukup berpengaruh. Rawls mengatakan keadilan harus dilihat dari bagaimana barang-barang utama (primary goods) seperti pendapatan, hak, dan kesempatan didistribusikan.
Namun Sen menilai, distribusi barang tidak serta-merta menjamin orang bisa hidup layak.
Contoh sederhananya begini, dua orang diberi makanan dengan jumlah sama. Satu orang sehat, bisa makan dengan baik, lalu bekerja dengan produktif. Orang lain sakit parah, sehingga meskipun mendapat makanan sama, ia tidak mampu memanfaatkannya.
Begitu juga misalnya, dua anak diberi sepeda yang sama. Anak pertama sehat dan bisa mengayuh sepeda untuk pergi ke sekolah. Anak kedua mengalami cacat kaki, sehingga meskipun memiliki sepeda yang sama, ia tidak bisa memanfaatkannya untuk tujuan yang sama.
Dari sini jelas bahwa memiliki barang sama tidak selalu berarti memiliki kesejahteraan yang sama.
Dari berbagai kelemahan ini, Sen kemudian mengajukan pendekatan baru yang disebut Pendekatan Kapabilitas (Capability Approach).
Untuk menjelaskan lebih jelas, mari ambil contoh sepeda.
Dua orang sama-sama diberi sepeda. Orang pertama sehat, bisa mengayuh sepeda ke sekolah atau bekerja. Sepeda itu menambah kebebasannya, memperluas pilihannya.
Orang kedua lumpuh kaki, sehingga tidak bisa menggunakan sepeda itu. Baginya, sepeda tidak menambah kebebasan.
Jadi, memberi barang yang sama belum tentu menghasilkan kebebasan yang sama. Yang penting adalah: apakah orang itu benar-benar punya kapabilitas untuk memanfaatkannya.
Selain kapabilitas, Sen juga menekankan pentingnya kebebasan proses. Maksudnya, keadilan bukan sebatas tentang apa hasilnya, tapi juga soal apakah proses menuju hasil itu berjalan adil.
Misalnya, dalam sistem politik. Bukan hanya siapa yang menang pemilu yang penting, tetapi apakah setiap warga punya kesempatan adil untuk memilih dan suaranya dihargai. Jika prosesnya tidak adil, hasil sebesar apa pun tetap dipertanyakan.
Dengan dua dimensi ini—kebebasan proses dan kebebasan kapabilitas—Sen merumuskan ulang cara kita melihat pembangunan dan keadilan.
Mari lihat contoh nyata. Bayangkan ada dua desa yang mendapat proyek pembangunan. Desa A diberi pabrik besar. Ekonomi desa tumbuh cepat, tetapi polusi meningkat, anak-anak sering sakit, dan petani kehilangan lahan.
Sedangkan desa B mendapat proyek irigasi dan sekolah baru. Pertumbuhan ekonominya tidak sebesar desa A, tetapi warganya bisa bertani lebih baik, anak-anak sekolah, dan kesehatan meningkat.
Menurut ukuran PDB, Desa A lebih berhasil. Tetapi menurut Amartya Sen, Desa B lebih berhasil, karena pembangunan di sana memperluas kapabilitas dan kebebasan warganya.
Pemikiran ini akhirnya sangat berpengaruh, tidak hanya dalam teori tetapi juga dalam praktik kebijakan global.
Sen menjadi salah satu tokoh di balik Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) yang dipakai oleh PBB.
Indeks ini tidak hanya mengukur pendapatan per kapita, tetapi juga memperhatikan harapan hidup, tingkat pendidikan, dan aspek lain yang menggambarkan kualitas hidup manusia.
Dengan kata lain, gagasan Sen mengubah cara dunia menilai pembangunan, yang sebelumnya hanya menilai dari pertumbuhan angka menjadi perluasan kebebasan manusia.
Pemikiran ini sederhana tetapi revolusioner. Dengan cara pandang ini, kemiskinan tidak lagi dipahami sekadar sebagai kekurangan uang, melainkan sebagai keterbatasan dalam menjalani hidup.
Orang yang miskin mungkin tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak punya akses ke layanan kesehatan, atau tidak punya suara ketika keputusan penting dibuat.
Semua itu membuat pilihan hidupnya sangat sempit. Karena itu, pembangunan seharusnya tidak hanya diukur dari naiknya pendapatan, melainkan dari seberapa luas kesempatan yang dimiliki orang untuk menjalani hidupnya.
Intinya, bagaimana setiap orang bisa benar-benar punya pilihan dan kesempatan untuk menentukan jalan hidup yang ia anggap penting. []
Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan).
Sen lahir di Bengal pada tahun 1933, sebuah wilayah yang kala itu sering dilanda kemiskinan, kelaparan, dan konflik politik.
Dia sendiri menyaksikan langsung bencana kelaparan Bengal tahun 1943, ketika jutaan orang meninggal bukan semata karena tidak ada makanan, tetapi karena makanan yang ada tidak terdistribusi secara adil.
Mengapa Orang Bisa Mati Kelaparan di Dunia yang Cukup Makanan?
Pengalaman inilah yang menjadi titik awal perhatiannya pada pertanyaan sederhana namun mendasar: mengapa di dunia yang secara total cukup makanan, masih saja ada orang yang mati kelaparan?Pertanyaan itu menuntun Sen untuk mengkritik cara ekonomi arus utama melihat kesejahteraan.
Selama bertahun-tahun, ekonomi cenderung menilai keberhasilan suatu negara hanya lewat angka-angka seperti produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi, atau tingkat rata-rata pendapatan.
Jika angka-angka itu naik, berarti pembangunan dianggap berhasil.
Tetapi Sen melihat kenyataan lain. Ada negara yang PDB-nya tinggi, tetapi angka harapan hidup rakyatnya relatif rendah, atau banyak anak-anak yang tidak bersekolah.
Misalnya, Malaysia memiliki PDB per kapita jauh lebih tinggi dibanding Sri Lanka, tetapi angka harapan hidup Sri Lanka justru sedikit lebih tinggi (sekitar 78 tahun, sedangkan Malaysia 76 tahun).
Contoh lain, Kuba yang PDB-nya termasuk rendah di Amerika Latin, mampu menyediakan layanan kesehatan yang merata dan angka harapan hidup setara dengan negara maju, berkat sistem kesehatan publiknya yang kuat.
Sebaliknya, ada negara dengan PDB kecil tetapi mampu menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan yang baik bagi warganya, seperti Sri Lanka yang walaupun ekonominya kecil, memiliki sistem pendidikan dasar dan layanan kesehatan yang relatif inklusif dibanding banyak negara dengan pendapatan lebih besar.
Dari sini, Sen mulai merumuskan kritik mendasar: PDB bukanlah ukuran yang cukup untuk menilai kualitas hidup manusia.
Ketika Teori Keadilan Justru Menyembunyikan Ketidakadilan
Selain mengkritik ekonomi arus utama, Sen juga menanggapi teori keadilan dalam filsafat. Misalnya, teori utilitarianisme yang menilai suatu tindakan baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.Bagi Sen, pandangan ini berbahaya. Bayangkan sebuah masyarakat di mana mayoritas merasa bahagia, tetapi minoritas tertindas dan suaranya diabaikan.
Misalnya, di Myanmar sebelum kudeta 2021, sebagian besar kelompok mayoritas merasa aman dengan identitas nasional mereka, tetapi etnis Rohingya menghadapi diskriminasi berat, bahkan hingga pengusiran massal.
Atau dalam konteks lain, di era Afrika Selatan sebelum runtuhnya apartheid, sebagian warga kulit putih menikmati kemakmuran dan rasa “aman”, sementara mayoritas kulit hitam hidup dalam penindasan struktural tanpa hak politik penuh.
Secara utilitarian, itu masih dianggap baik karena kebahagiaan mayoritas lebih besar. Namun secara etis, jelas ada ketidakadilan.
Lalu ada teori John Rawls yang cukup berpengaruh. Rawls mengatakan keadilan harus dilihat dari bagaimana barang-barang utama (primary goods) seperti pendapatan, hak, dan kesempatan didistribusikan.
Namun Sen menilai, distribusi barang tidak serta-merta menjamin orang bisa hidup layak.
Contoh sederhananya begini, dua orang diberi makanan dengan jumlah sama. Satu orang sehat, bisa makan dengan baik, lalu bekerja dengan produktif. Orang lain sakit parah, sehingga meskipun mendapat makanan sama, ia tidak mampu memanfaatkannya.
Begitu juga misalnya, dua anak diberi sepeda yang sama. Anak pertama sehat dan bisa mengayuh sepeda untuk pergi ke sekolah. Anak kedua mengalami cacat kaki, sehingga meskipun memiliki sepeda yang sama, ia tidak bisa memanfaatkannya untuk tujuan yang sama.
Dari sini jelas bahwa memiliki barang sama tidak selalu berarti memiliki kesejahteraan yang sama.
Dari berbagai kelemahan ini, Sen kemudian mengajukan pendekatan baru yang disebut Pendekatan Kapabilitas (Capability Approach).
Apa Gunanya Sepeda Jika Tak Bisa Dikayuh?
Bagi Sen, yang penting bukan sekadar apa yang orang miliki, tetapi apa yang bisa mereka lakukan dan capai dengan apa yang dimiliki itu. Kapabilitas berarti kemampuan nyata seseorang untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga.Untuk menjelaskan lebih jelas, mari ambil contoh sepeda.
Dua orang sama-sama diberi sepeda. Orang pertama sehat, bisa mengayuh sepeda ke sekolah atau bekerja. Sepeda itu menambah kebebasannya, memperluas pilihannya.
Orang kedua lumpuh kaki, sehingga tidak bisa menggunakan sepeda itu. Baginya, sepeda tidak menambah kebebasan.
Jadi, memberi barang yang sama belum tentu menghasilkan kebebasan yang sama. Yang penting adalah: apakah orang itu benar-benar punya kapabilitas untuk memanfaatkannya.
Selain kapabilitas, Sen juga menekankan pentingnya kebebasan proses. Maksudnya, keadilan bukan sebatas tentang apa hasilnya, tapi juga soal apakah proses menuju hasil itu berjalan adil.
Misalnya, dalam sistem politik. Bukan hanya siapa yang menang pemilu yang penting, tetapi apakah setiap warga punya kesempatan adil untuk memilih dan suaranya dihargai. Jika prosesnya tidak adil, hasil sebesar apa pun tetap dipertanyakan.
Dengan dua dimensi ini—kebebasan proses dan kebebasan kapabilitas—Sen merumuskan ulang cara kita melihat pembangunan dan keadilan.
Melihat Kemiskinan dari Sudut Pandang Kapabilitas
Pembangunan sejati, menurutnya, adalah memperluas kebebasan manusia. Bukan sekadar menaikkan pendapatan nasional, tetapi memastikan orang punya kesempatan nyata untuk hidup sehat, mendapat pendidikan, bekerja, berpartisipasi dalam masyarakat, dan memilih jalan hidupnya sendiri.Mari lihat contoh nyata. Bayangkan ada dua desa yang mendapat proyek pembangunan. Desa A diberi pabrik besar. Ekonomi desa tumbuh cepat, tetapi polusi meningkat, anak-anak sering sakit, dan petani kehilangan lahan.
Sedangkan desa B mendapat proyek irigasi dan sekolah baru. Pertumbuhan ekonominya tidak sebesar desa A, tetapi warganya bisa bertani lebih baik, anak-anak sekolah, dan kesehatan meningkat.
Menurut ukuran PDB, Desa A lebih berhasil. Tetapi menurut Amartya Sen, Desa B lebih berhasil, karena pembangunan di sana memperluas kapabilitas dan kebebasan warganya.
Pemikiran ini akhirnya sangat berpengaruh, tidak hanya dalam teori tetapi juga dalam praktik kebijakan global.
Sen menjadi salah satu tokoh di balik Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) yang dipakai oleh PBB.
Indeks ini tidak hanya mengukur pendapatan per kapita, tetapi juga memperhatikan harapan hidup, tingkat pendidikan, dan aspek lain yang menggambarkan kualitas hidup manusia.
Dengan kata lain, gagasan Sen mengubah cara dunia menilai pembangunan, yang sebelumnya hanya menilai dari pertumbuhan angka menjadi perluasan kebebasan manusia.
Mengapa Pemikiran Sen Tetap Relevan Hari Ini
Inti etika Amartya Sen, jika diringkas, adalah ini: kesejahteraan manusia harus dilihat dari kebebasan yang nyata, bukan hanya dari angka atau barang yang dimiliki.Pemikiran ini sederhana tetapi revolusioner. Dengan cara pandang ini, kemiskinan tidak lagi dipahami sekadar sebagai kekurangan uang, melainkan sebagai keterbatasan dalam menjalani hidup.
Orang yang miskin mungkin tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak punya akses ke layanan kesehatan, atau tidak punya suara ketika keputusan penting dibuat.
Semua itu membuat pilihan hidupnya sangat sempit. Karena itu, pembangunan seharusnya tidak hanya diukur dari naiknya pendapatan, melainkan dari seberapa luas kesempatan yang dimiliki orang untuk menjalani hidupnya.
Intinya, bagaimana setiap orang bisa benar-benar punya pilihan dan kesempatan untuk menentukan jalan hidup yang ia anggap penting. []
Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan).
Ilustrasi: Woman Sitting in front of Tent/Pexels.com