Mengapa Kita Harus Berkata ‘Ya’ pada Kehidupan? Pelajaran dari Viktor Frankl
INTIinspira - Viktor Frankl merupakan seorang penyintas Holocaust, yaitu tragedi sejarah yang merenggut jutaan nyawa di kamp konsentrasi.
Tragedi kelam ini menjadi salah satu noda paling gelap dalam perjalanan umat manusia. Holocaust terutama menimpa kaum Yahudi, namun juga menelan korban dari kelompok lain seperti gipsi, penyandang disabilitas, hingga siapa pun yang dianggap sebagai “musuh” oleh rezim Nazi.
Mereka ditangkap, dipaksa bekerja, dan digiring ke kamp-kamp konsentrasi yang terkenal dengan kekejamannya.
Di dalam kamp-kamp itu, penderitaan hadir dalam bentuk yang hampir mustahil dibayangkan. Kelaparan, penyiksaan, dan kerja paksa menjadi bagian dari hari-hari mereka.
Ribuan orang meregang nyawa setiap hari—sebagian dieksekusi secara langsung, sebagian lainnya mati perlahan karena tubuh yang tak lagi sanggup menahan beban penderitaan.
Frankl sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa. Kedua orang tuanya meninggal di sana. Tidak sampai di situ, maut juga menjemput istrinya yang sedang mengandung.
Namun, di tengah tragedi pribadi dan duka mendalam yang menyayat itu, Frankl justru mampu menempatkan penderitaan dalam sebuah perspektif berbeda—perspektif yang kemudian menginspirasi jutaan orang untuk tetap berkata, “(Yes to Life (Iya, kepada Kehidupan)”.
Ungkapan “Yes to Life” (Katakan Ya pada Kehidupan) sendiri berasal dari lirik sebuah lagu yang dinyanyikan para tawanan di kamp dengan suara perlahan, agar tidak memancing kemarahan para sipir kamp.
Whatever our future may hold:
We still want to say "Yes" to life,
Because one day the time will come
Then we will be free
Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan).
Ilustrasi: Keys with message/Pexels.com
Tragedi kelam ini menjadi salah satu noda paling gelap dalam perjalanan umat manusia. Holocaust terutama menimpa kaum Yahudi, namun juga menelan korban dari kelompok lain seperti gipsi, penyandang disabilitas, hingga siapa pun yang dianggap sebagai “musuh” oleh rezim Nazi.
Mereka ditangkap, dipaksa bekerja, dan digiring ke kamp-kamp konsentrasi yang terkenal dengan kekejamannya.
Di dalam kamp-kamp itu, penderitaan hadir dalam bentuk yang hampir mustahil dibayangkan. Kelaparan, penyiksaan, dan kerja paksa menjadi bagian dari hari-hari mereka.
Ribuan orang meregang nyawa setiap hari—sebagian dieksekusi secara langsung, sebagian lainnya mati perlahan karena tubuh yang tak lagi sanggup menahan beban penderitaan.
Frankl sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa. Kedua orang tuanya meninggal di sana. Tidak sampai di situ, maut juga menjemput istrinya yang sedang mengandung.
Namun, di tengah tragedi pribadi dan duka mendalam yang menyayat itu, Frankl justru mampu menempatkan penderitaan dalam sebuah perspektif berbeda—perspektif yang kemudian menginspirasi jutaan orang untuk tetap berkata, “(Yes to Life (Iya, kepada Kehidupan)”.
Ungkapan “Yes to Life” (Katakan Ya pada Kehidupan) sendiri berasal dari lirik sebuah lagu yang dinyanyikan para tawanan di kamp dengan suara perlahan, agar tidak memancing kemarahan para sipir kamp.
Whatever our future may hold:
We still want to say "Yes" to life,
Because one day the time will come
Then we will be free
(Apa pun yang ada di masa depan:
Kita tetap ingin mengatakan “ya” pada kehidupan,
Karena suatu hari waktunya akan tiba,
Lalu kita semua bebas merdeka.)
Bagi para tawanan yang disiksa kelaparan dan kerja paksa hingga hampir kehilangan nyawa, lagu ini menjadi sumber harapan di tengah penderitaan yang seakan tak berujung.
Frankl kemudian bertanya kepada kita: tidakkah seharusnya kita, yang hidup jauh lebih nyaman daripada mereka, juga mampu berkata “ya” pada kehidupan, apa pun yang disajikan kepada kita?
Pertanyaan retoris yang mengajak kita untuk merenungi setiap detak detik waktu yang telah kehidupan berikan pada kita.
Sering kali kita merasa kecewa, bahkan putus asa, ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan. Kita mudah terjebak dalam keluhan atas hal-hal kecil, lupa bahwa setiap detik yang kita jalani sebenarnya adalah anugerah yang tak ternilai.
Bagi para tawanan di kamp konsentrasi, sepotong roti atau bahkan satu tarikan napas merupakan kemewahan yang nilainya melampaui segunung emas.
Namun, nampaknya inilah paradoks kehidupan, kita sering kali baru mampu menghargai sesuatu ketika sudah merasakan kebalikannya.
Kita baru merindukan kesehatan ketika sakit menggerogoti tubuh, baru menyadari berharganya waktu ketika kesibukan merenggut kebersamaan dengan orang tercinta, atau baru memahami nikmatnya udara segar ketika terkurung di ruang sempit yang pengap.
Sama halnya dengan para tawanan di kamp konsentrasi, yang baru benar-benar merasakan betapa berharga hidup justru ketika hidup itu nyaris direnggut dari mereka setiap saat.
Di sini kita perlu bertanya lagi, apakah kita harus mengalami penderitaan di kamp konsentrasi supaya bisa benar-benar menghargai hidup? Tentu tidak.
Namun, pengalaman Frankl dan para penyintas Holocaust adalah cermin yang begitu jernih. Mereka menunjukkan bahwa nilai kehidupan tidak bergantung pada ada atau tidaknya penderitaan ekstrem, melainkan pada cara kita memaknai apa yang sudah kita miliki sekarang.
Kita tidak perlu menunggu lapar untuk bersyukur atas sepiring nasi, atau menunggu kehilangan orang terkasih untuk menyadari berharganya sebuah kebersamaan.
Di sinilah arti penting sebuah kesadaran. Setiap detik, setiap peristiwa, merupakan kesempatan berharga yang tidak akan pernah kembali.
Kita juga perlu mengajukan pertanyaan selanjutnya pada Frankl, apa alasannya sehingga mampu bertahan di tengah penderitaan lahir batin yang dialaminya di kamp Nazi itu?
Mungkin sebagian kita membayangkan bahwa Frankl memiliki kekuatan super layaknya manusia setengah dewa. Namun, nyatanya tidak demikian. Frankl mampu bertahan karena dia menemukan sebuah makna yang membuat hidup pantas dipertahankan.
Baginya, siapa pun yang memiliki alasan mengapa hidup, maka akan memiliki kemampuan untuk bagaimana mempertahankan hidup.
Frankl sadar, manusia bisa menanggung hampir segala penderitaan, selama ia punya “mengapa” untuk bertahan.
Baginya, “mengapa” itu hadir dalam rupa harapan untuk kembali berkarya, untuk menuliskan dan membagikan pandangannya tentang kehidupan, juga dalam kenangan akan cinta yang tulus kepada istrinya.
Makna itulah yang menegakkan kepalanya di tengah badai penderitaan.
Dalam kehidupan kita sekarang, penghayatan itu bisa diwujudkan dalam kesediaan untuk memandang setiap pengalaman—baik suka maupun duka—sebagai kesempatan.
Mengatakan “ya” pada kehidupan berarti tidak menolak kenyataan, melainkan menerimanya, lalu mencari makna di dalamnya.
Bentuk konkretnya bisa terlihat dalam hal-hal sederhana. Misalnya, ketika hujan deras membuat perjalanan terhambat, kita bisa mengeluh tanpa henti, atau sebaliknya, melihatnya sebagai momen untuk melatih kesabaran.
Ketika sakit datang, kita bisa larut dalam keluhan, atau justru menjadikannya pengingat untuk lebih menjaga kesehatan dan menghargai tubuh. Atau ketika kehilangan seseorang yang dicintai, kita bisa terperangkap dalam duka berkepanjangan, atau memilih untuk mengenang kebaikan dan cinta mereka sebagai sumber kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Yang harus dipahami dengan baik terkait pernyataan: “Mengatakan ‘ya’ pada kehidupan berarti tidak menolak kenyataan, melainkan menerimanya, lalu mencari makna di dalamnya”, ialah bahwa penerimaan di sini bukanlah pelarian, melainkan usaha untuk menemukan ruang gerak yang masih tersisa.
Dengan kata lain, menerima kenyataan berarti berhenti menghabiskan tenaga untuk menolak hal yang tak terhindarkan, lalu mengalihkannya menjadi energi untuk melakukan sesuatu yang lebih bermakna.
Frankl sendiri menekankan, sekalipun manusia tidak berkuasa menentukan apa yang menimpa dirinya, ia tetap memiliki kebebasan dalam menentukan sikap.
Di sinilah letak perbedaan antara pasrah yang pasif dan penerimaan yang aktif.
Penerimaan aktif membuat kita sanggup bertanya: “Apa yang bisa saya lakukan sekarang agar penderitaan ini tidak sia-sia?” Pertanyaan inilah yang mengubah luka menjadi pelajaran, menumbuhkan kekuatan bertahan dalam badai penderitaan.
Dengan begitu, mengatakan “ya” pada kehidupan bukanlah alasan untuk berhenti berjuang, melainkan undangan untuk menghidupi perjuangan dengan makna.*[]
Kita tetap ingin mengatakan “ya” pada kehidupan,
Karena suatu hari waktunya akan tiba,
Lalu kita semua bebas merdeka.)
Bagi para tawanan yang disiksa kelaparan dan kerja paksa hingga hampir kehilangan nyawa, lagu ini menjadi sumber harapan di tengah penderitaan yang seakan tak berujung.
Frankl kemudian bertanya kepada kita: tidakkah seharusnya kita, yang hidup jauh lebih nyaman daripada mereka, juga mampu berkata “ya” pada kehidupan, apa pun yang disajikan kepada kita?
Pertanyaan retoris yang mengajak kita untuk merenungi setiap detak detik waktu yang telah kehidupan berikan pada kita.
Sering kali kita merasa kecewa, bahkan putus asa, ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan. Kita mudah terjebak dalam keluhan atas hal-hal kecil, lupa bahwa setiap detik yang kita jalani sebenarnya adalah anugerah yang tak ternilai.
Bagi para tawanan di kamp konsentrasi, sepotong roti atau bahkan satu tarikan napas merupakan kemewahan yang nilainya melampaui segunung emas.
Namun, nampaknya inilah paradoks kehidupan, kita sering kali baru mampu menghargai sesuatu ketika sudah merasakan kebalikannya.
Kita baru merindukan kesehatan ketika sakit menggerogoti tubuh, baru menyadari berharganya waktu ketika kesibukan merenggut kebersamaan dengan orang tercinta, atau baru memahami nikmatnya udara segar ketika terkurung di ruang sempit yang pengap.
Sama halnya dengan para tawanan di kamp konsentrasi, yang baru benar-benar merasakan betapa berharga hidup justru ketika hidup itu nyaris direnggut dari mereka setiap saat.
Di sini kita perlu bertanya lagi, apakah kita harus mengalami penderitaan di kamp konsentrasi supaya bisa benar-benar menghargai hidup? Tentu tidak.
Namun, pengalaman Frankl dan para penyintas Holocaust adalah cermin yang begitu jernih. Mereka menunjukkan bahwa nilai kehidupan tidak bergantung pada ada atau tidaknya penderitaan ekstrem, melainkan pada cara kita memaknai apa yang sudah kita miliki sekarang.
Kita tidak perlu menunggu lapar untuk bersyukur atas sepiring nasi, atau menunggu kehilangan orang terkasih untuk menyadari berharganya sebuah kebersamaan.
Di sinilah arti penting sebuah kesadaran. Setiap detik, setiap peristiwa, merupakan kesempatan berharga yang tidak akan pernah kembali.
Kita juga perlu mengajukan pertanyaan selanjutnya pada Frankl, apa alasannya sehingga mampu bertahan di tengah penderitaan lahir batin yang dialaminya di kamp Nazi itu?
Mungkin sebagian kita membayangkan bahwa Frankl memiliki kekuatan super layaknya manusia setengah dewa. Namun, nyatanya tidak demikian. Frankl mampu bertahan karena dia menemukan sebuah makna yang membuat hidup pantas dipertahankan.
Baginya, siapa pun yang memiliki alasan mengapa hidup, maka akan memiliki kemampuan untuk bagaimana mempertahankan hidup.
Frankl sadar, manusia bisa menanggung hampir segala penderitaan, selama ia punya “mengapa” untuk bertahan.
Baginya, “mengapa” itu hadir dalam rupa harapan untuk kembali berkarya, untuk menuliskan dan membagikan pandangannya tentang kehidupan, juga dalam kenangan akan cinta yang tulus kepada istrinya.
Makna itulah yang menegakkan kepalanya di tengah badai penderitaan.
Dalam kehidupan kita sekarang, penghayatan itu bisa diwujudkan dalam kesediaan untuk memandang setiap pengalaman—baik suka maupun duka—sebagai kesempatan.
Mengatakan “ya” pada kehidupan berarti tidak menolak kenyataan, melainkan menerimanya, lalu mencari makna di dalamnya.
Bentuk konkretnya bisa terlihat dalam hal-hal sederhana. Misalnya, ketika hujan deras membuat perjalanan terhambat, kita bisa mengeluh tanpa henti, atau sebaliknya, melihatnya sebagai momen untuk melatih kesabaran.
Ketika sakit datang, kita bisa larut dalam keluhan, atau justru menjadikannya pengingat untuk lebih menjaga kesehatan dan menghargai tubuh. Atau ketika kehilangan seseorang yang dicintai, kita bisa terperangkap dalam duka berkepanjangan, atau memilih untuk mengenang kebaikan dan cinta mereka sebagai sumber kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Yang harus dipahami dengan baik terkait pernyataan: “Mengatakan ‘ya’ pada kehidupan berarti tidak menolak kenyataan, melainkan menerimanya, lalu mencari makna di dalamnya”, ialah bahwa penerimaan di sini bukanlah pelarian, melainkan usaha untuk menemukan ruang gerak yang masih tersisa.
Dengan kata lain, menerima kenyataan berarti berhenti menghabiskan tenaga untuk menolak hal yang tak terhindarkan, lalu mengalihkannya menjadi energi untuk melakukan sesuatu yang lebih bermakna.
Frankl sendiri menekankan, sekalipun manusia tidak berkuasa menentukan apa yang menimpa dirinya, ia tetap memiliki kebebasan dalam menentukan sikap.
Di sinilah letak perbedaan antara pasrah yang pasif dan penerimaan yang aktif.
Penerimaan aktif membuat kita sanggup bertanya: “Apa yang bisa saya lakukan sekarang agar penderitaan ini tidak sia-sia?” Pertanyaan inilah yang mengubah luka menjadi pelajaran, menumbuhkan kekuatan bertahan dalam badai penderitaan.
Dengan begitu, mengatakan “ya” pada kehidupan bukanlah alasan untuk berhenti berjuang, melainkan undangan untuk menghidupi perjuangan dengan makna.*[]
* Tulisan ini merujuk pada pengantar Daniel Goleman untuk buku Yes to Life karya Viktor Frankl.
Penulis: Arizul Suwar (Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan).
Ilustrasi: Keys with message/Pexels.com