Radikalisasi Globalisme Liberal: Tradisi yang Dihabisi
INTIinspira - Dalam beberapa dekade terakhir, globalisme liberal tampil seolah sebagai puncak dari peradaban modern. Ia menawarkan janji-janji indah: kebebasan individu, kesetaraan universal, keterbukaan, dan dunia tanpa batas. 
Banyak yang percaya bahwa model ini akan menjadi jawaban final bagi peradaban manusia.
Namun, kenyataan yang muncul justru paradoks. Ideologi yang mengaku paling toleran dan paling inklusif ini kian menampakkan wajah intoleran. Ia menolak perbedaan, menyingkirkan lawan, dan bahkan menghapus siapa pun yang tidak tunduk pada dogmanya.
Filsuf Rusia, Alexander Dugin, menangkap fenomena ini sebagai suatu radikalisasi globalisme liberal. Menurutnya, kita kini berhadapan dengan ideologi yang tidak lagi sekadar mengusung kebebasan, tetapi justru menuntut penyeragaman total.
Siapa pun yang masih berani membela nilai-nilai tradisional, agama, dan keluarga, langsung ditempatkan dalam posisi berseberangan dengan arus besar.
Bagi Dugin, apa yang menimpa putrinya Darya Dugina, yang tewas dalam serangan mobil pada 2022, adalah bukti konkret bahwa perlawanan terhadap globalisme liberal dibayar dengan nyawa.
Dugin menyebut pembunuhan itu tidak bisa dilihat sebagai peristiwa kriminal semata. Ia bagian dari pola yang lebih besar yaitu serangan sistematis terhadap tokoh-tokoh yang dianggap simbol perlawanan terhadap hegemoni liberal.
Maka, ketika Donald Trump menjadi sasaran percobaan pembunuhan, atau ketika Charlie Kirk dilaporkan tewas, Dugin melihatnya dalam bingkai yang sama. “Satu-satunya kejahatan kami adalah membela nilai-nilai tradisional,” ujarnya. Sebuah pernyataan sederhana, tetapi penuh muatan retorika: menjadikan tradisi bukan sekadar warisan, melainkan medan pertempuran eksistensial.
Fenomena ini sejatinya bisa dilihat dari perkembangan budaya woke dan cancel culture.
Pada mulanya, gerakan ini muncul sebagai koreksi moral terhadap ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan bias sistemik.
Namun, dalam perkembangannya, koreksi itu berubah menjadi penyerangan. Siapa pun yang berbeda pandangan akan “di-cancel,” reputasinya dihancurkan, suaranya dibungkam.
Jika dulu ini sebatas di ruang digital, kini bergeser menjadi realitas fisik. Bagi Dugin, inilah yang disebut transformasi dari cancel culture menuju cancel existence—upaya menghapus eksistensi lawan ideologis, baik secara sosial maupun biologis.
Bagi masyarakat yang masih memegang nilai tradisi, gejala ini terasa nyata. Membicarakan pentingnya keluarga inti, peran agama, atau perbedaan gender kini sering dipandang sebagai “ancaman” terhadap demokrasi liberal.
Narasi yang mendukung globalisme ditempatkan sebagai satu-satunya kebenaran moral. Sebaliknya, tradisi didorong ke sudut, dituduh represif, dan dianggap penghalang kemajuan. Akibatnya, masyarakat mengalami polarisasi yang tajam.
Tetapi sejarah mengajarkan, setiap ideologi yang memaksakan diri dengan kekerasan akan melahirkan perlawanan.
Semakin keras globalisme liberal mendesakkan agendanya, semakin besar pula gelombang tandingan yang muncul.
Dari Rusia, Eropa Timur, hingga Amerika, gerakan konservatif kini menemukan pijakan baru. Mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari perjuangan global melawan tirani baru yang bersembunyi di balik jargon kebebasan.
Inilah yang menjelaskan mengapa narasi Dugin mendapat simpati di luar Rusia. Di Amerika Serikat, kaum konservatif melihatnya paralel dengan pengalaman mereka menghadapi dominasi woke.
Di negara-negara non-Barat, narasi ini dipandang sebagai pembenaran atas upaya mempertahankan identitas budaya dan religius dari tekanan globalisasi.
Dengan kata lain, serangan terhadap tradisi justru melahirkan solidaritas tradisionalis lintas bangsa.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: ke mana arah pertarungan ini akan berakhir? Apakah dunia akan benar-benar menyerah pada satu ideologi globalisme liberal yang seragam, ataukah kita sedang menuju benturan besar antara tradisi dan modernitas liberal?
Apa yang jelas, konflik ini bukan lagi sekadar politik praktis. Ia sudah memasuki ranah eksistensial—pertarungan tentang siapa yang berhak menentukan nilai kehidupan manusia.
Di titik inilah kita perlu jujur melihat kenyataan: tradisi bukan sekadar nostalgia masa lalu. Ia adalah fondasi identitas, pengikat sosial, dan sumber nilai yang memberi arah hidup.
Menghancurkan tradisi sama artinya dengan memutuskan manusia dari akarnya. Dan manusia tanpa akar, hanyalah individu rapuh yang mudah dibentuk sesuai kepentingan kekuatan besar.
Radikalisasi globalisme liberal adalah ancaman nyata.
Ia memproklamasikan kebebasan, tetapi menabur ketakutan. Ia menjanjikan inklusivitas, tetapi mempraktikkan eksklusivitas paling ekstrem. Ia mengaku membela keragaman, tetapi berusaha menyeragamkan dunia dalam satu ideologi.
Karena itu, membela tradisi kini bukan hanya sikap konservatif, melainkan tindakan perlawanan.
Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih tunduk pada tirani baru berkedok kebebasan, atau berani mempertahankan akar kita. Dan sebagaimana kata Dugin, jika membela nilai tradisional dianggap sebagai kejahatan, maka itu adalah “kejahatan” yang paling mulia yang pernah dilakukan manusia.
Banyak yang percaya bahwa model ini akan menjadi jawaban final bagi peradaban manusia.
Namun, kenyataan yang muncul justru paradoks. Ideologi yang mengaku paling toleran dan paling inklusif ini kian menampakkan wajah intoleran. Ia menolak perbedaan, menyingkirkan lawan, dan bahkan menghapus siapa pun yang tidak tunduk pada dogmanya.
Filsuf Rusia, Alexander Dugin, menangkap fenomena ini sebagai suatu radikalisasi globalisme liberal. Menurutnya, kita kini berhadapan dengan ideologi yang tidak lagi sekadar mengusung kebebasan, tetapi justru menuntut penyeragaman total.
Siapa pun yang masih berani membela nilai-nilai tradisional, agama, dan keluarga, langsung ditempatkan dalam posisi berseberangan dengan arus besar.
Bagi Dugin, apa yang menimpa putrinya Darya Dugina, yang tewas dalam serangan mobil pada 2022, adalah bukti konkret bahwa perlawanan terhadap globalisme liberal dibayar dengan nyawa.
Dugin menyebut pembunuhan itu tidak bisa dilihat sebagai peristiwa kriminal semata. Ia bagian dari pola yang lebih besar yaitu serangan sistematis terhadap tokoh-tokoh yang dianggap simbol perlawanan terhadap hegemoni liberal.
Maka, ketika Donald Trump menjadi sasaran percobaan pembunuhan, atau ketika Charlie Kirk dilaporkan tewas, Dugin melihatnya dalam bingkai yang sama. “Satu-satunya kejahatan kami adalah membela nilai-nilai tradisional,” ujarnya. Sebuah pernyataan sederhana, tetapi penuh muatan retorika: menjadikan tradisi bukan sekadar warisan, melainkan medan pertempuran eksistensial.
Fenomena ini sejatinya bisa dilihat dari perkembangan budaya woke dan cancel culture.
Pada mulanya, gerakan ini muncul sebagai koreksi moral terhadap ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan bias sistemik.
Namun, dalam perkembangannya, koreksi itu berubah menjadi penyerangan. Siapa pun yang berbeda pandangan akan “di-cancel,” reputasinya dihancurkan, suaranya dibungkam.
Jika dulu ini sebatas di ruang digital, kini bergeser menjadi realitas fisik. Bagi Dugin, inilah yang disebut transformasi dari cancel culture menuju cancel existence—upaya menghapus eksistensi lawan ideologis, baik secara sosial maupun biologis.
Bagi masyarakat yang masih memegang nilai tradisi, gejala ini terasa nyata. Membicarakan pentingnya keluarga inti, peran agama, atau perbedaan gender kini sering dipandang sebagai “ancaman” terhadap demokrasi liberal.
Narasi yang mendukung globalisme ditempatkan sebagai satu-satunya kebenaran moral. Sebaliknya, tradisi didorong ke sudut, dituduh represif, dan dianggap penghalang kemajuan. Akibatnya, masyarakat mengalami polarisasi yang tajam.
Tetapi sejarah mengajarkan, setiap ideologi yang memaksakan diri dengan kekerasan akan melahirkan perlawanan.
Semakin keras globalisme liberal mendesakkan agendanya, semakin besar pula gelombang tandingan yang muncul.
Dari Rusia, Eropa Timur, hingga Amerika, gerakan konservatif kini menemukan pijakan baru. Mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari perjuangan global melawan tirani baru yang bersembunyi di balik jargon kebebasan.
Inilah yang menjelaskan mengapa narasi Dugin mendapat simpati di luar Rusia. Di Amerika Serikat, kaum konservatif melihatnya paralel dengan pengalaman mereka menghadapi dominasi woke.
Di negara-negara non-Barat, narasi ini dipandang sebagai pembenaran atas upaya mempertahankan identitas budaya dan religius dari tekanan globalisasi.
Dengan kata lain, serangan terhadap tradisi justru melahirkan solidaritas tradisionalis lintas bangsa.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: ke mana arah pertarungan ini akan berakhir? Apakah dunia akan benar-benar menyerah pada satu ideologi globalisme liberal yang seragam, ataukah kita sedang menuju benturan besar antara tradisi dan modernitas liberal?
Apa yang jelas, konflik ini bukan lagi sekadar politik praktis. Ia sudah memasuki ranah eksistensial—pertarungan tentang siapa yang berhak menentukan nilai kehidupan manusia.
Di titik inilah kita perlu jujur melihat kenyataan: tradisi bukan sekadar nostalgia masa lalu. Ia adalah fondasi identitas, pengikat sosial, dan sumber nilai yang memberi arah hidup.
Menghancurkan tradisi sama artinya dengan memutuskan manusia dari akarnya. Dan manusia tanpa akar, hanyalah individu rapuh yang mudah dibentuk sesuai kepentingan kekuatan besar.
Radikalisasi globalisme liberal adalah ancaman nyata.
Ia memproklamasikan kebebasan, tetapi menabur ketakutan. Ia menjanjikan inklusivitas, tetapi mempraktikkan eksklusivitas paling ekstrem. Ia mengaku membela keragaman, tetapi berusaha menyeragamkan dunia dalam satu ideologi.
Karena itu, membela tradisi kini bukan hanya sikap konservatif, melainkan tindakan perlawanan.
Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih tunduk pada tirani baru berkedok kebebasan, atau berani mempertahankan akar kita. Dan sebagaimana kata Dugin, jika membela nilai tradisional dianggap sebagai kejahatan, maka itu adalah “kejahatan” yang paling mulia yang pernah dilakukan manusia.
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Ilustrasi: Aleksandr Dugin/dibuat dengan Open AI


 
 
 
 

 
