Trump–Putin di Alaska: Mencari Jalan Damai Ukraina di Tengah Bayang Perang Panjang
INTIinspira - Pada 15 Agustus mendatang, dunia akan menatap ke Alaska, di mana Donald Trump dan Vladimir Putin dijadwalkan bertemu dalam pertemuan tatap muka pertama mereka sejak Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat.
Pertemuan ini tak sekadar agenda diplomatik biasa. Ini adalah panggung sejarah, di mana dua kekuatan besar bisa memilih antara melanjutkan spiral konflik Ukraina atau membuka pintu menuju solusi politik yang berkelanjutan.
Hubungan Trump–Putin memiliki jejak unik. Pada pertemuan Hamburg 2017 di sela-sela KTT G-20, keduanya berhasil memproduksi kesepakatan gencatan senjata di Suriah.
Walau kecil, itu menjadi simbol bahwa diplomasi personal mampu menembus kebuntuan politik internasional.
Namun, banyak hal berubah sejak saat itu. Putin kini membawa beban politik dan ekonomi dari invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari 2022, sementara Trump menghadapi tekanan domestik dari Kongres, Pentagon, dan opini publik yang terbelah soal bagaimana AS harus merespons Rusia.
Perang Ukraina telah menjadi konflik parit abad ke-21—bukan hanya secara militer, tapi juga secara geopolitik.
Di satu sisi, Barat terus mengucurkan bantuan militer dan finansial untuk Kyiv. Di sisi lain, Moskow memperkuat cengkeramannya di wilayah Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson, sambil menunggu kelelahan politik dan ekonomi Barat.
Di sinilah peluang Alaska menjadi relevan. Pertemuan ini harus diarahkan bukan untuk mencari pemenang, tetapi mencari off-ramp—jalur keluar yang menyelamatkan muka kedua pihak dan meminimalkan penderitaan rakyat Ukraina.
Trump dan Putin perlu memikirkan kebijakan yang realistis, bukan sekadar retorika.
Bagi Trump, prioritas strategisnya harus meliputi:
1. Menekan eskalasi militer dengan menawarkan moratorium pengiriman senjata ofensif ke Ukraina sebagai bagian dari kesepakatan awal gencatan senjata.
2. Menggunakan leverage sanksi sebagai alat tawar, bukan sekadar hukuman permanen. Misalnya, sebagian sanksi dapat dilonggarkan secara bertahap jika Rusia menunjukkan kemajuan nyata dalam menghentikan operasi ofensif.
3. Melibatkan aktor regional lain, termasuk Turki dan bahkan Tiongkok, untuk menjamin kesepakatan tidak sekadar bersifat bilateral, tetapi memiliki mekanisme pengawasan multilateral.
Bagi Putin, ada tiga hal yang rasional untuk dipertimbangkan:
1. Menunjukkan fleksibilitas wilayah—bukan berarti menyerah, tetapi membuka ruang perundingan status wilayah yang diperebutkan melalui mekanisme internasional, seperti referendum yang diawasi PBB.
2. Menghentikan serangan terhadap infrastruktur sipil, yang selama ini menjadi sumber utama kecaman internasional dan memperburuk posisi diplomatik Rusia.
3. Menawarkan paket keamanan regional yang menjamin Ukraina tidak akan menjadi basis rudal jarak pendek NATO, sambil membuka peluang Ukraina menjadi negara netral yang dijamin oleh kekuatan besar.
Tantangan utamanya adalah trust deficit—defisit kepercayaan—yang sudah terlalu dalam.
Trump akan dituduh "lunak terhadap Rusia" jika terlalu akomodatif, sementara Putin akan dianggap "mundur" jika memberikan konsesi teritorial atau strategis.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan damai besar sering lahir dari tekanan kebutuhan, bukan kemewahan pilihan.
Konstelasi global juga memengaruhi meja perundingan Alaska. Tiongkok, yang sejak invasi 2022 mempererat hubungan dengan Moskow, akan mengamati apakah pertemuan ini melemahkan atau memperkuat posisi negosiasinya terhadap AS.
Uni Eropa, yang ekonominya tertekan akibat krisis energi dan biaya perang, diam-diam menginginkan jalan damai yang mengurangi beban mereka.
Kegagalan di Alaska akan memiliki konsekuensi besar: perang Ukraina berpotensi berubah menjadi konflik beku (frozen conflict) yang bisa meledak sewaktu-waktu, menguras sumber daya global, dan mengunci dunia dalam iklim Perang Dingin versi baru.
Sebaliknya, keberhasilan akan mencatatkan Alaska sebagai tonggak sejarah, seperti Reykjavik 1986 ketika Reagan dan Gorbachev mengubah arah perlombaan senjata nuklir.
Bukan berarti semua masalah selesai, tetapi arah perubahan menjadi mungkin.
Trump dan Putin tidak perlu sepakat pada semua hal. Yang mereka perlukan hanyalah sepakat pada satu hal besar: bahwa perang ini harus diakhiri melalui politik, bukan artileri.
Bagi Putin, ada tiga hal yang rasional untuk dipertimbangkan:
1. Menunjukkan fleksibilitas wilayah—bukan berarti menyerah, tetapi membuka ruang perundingan status wilayah yang diperebutkan melalui mekanisme internasional, seperti referendum yang diawasi PBB.
2. Menghentikan serangan terhadap infrastruktur sipil, yang selama ini menjadi sumber utama kecaman internasional dan memperburuk posisi diplomatik Rusia.
3. Menawarkan paket keamanan regional yang menjamin Ukraina tidak akan menjadi basis rudal jarak pendek NATO, sambil membuka peluang Ukraina menjadi negara netral yang dijamin oleh kekuatan besar.
Tantangan utamanya adalah trust deficit—defisit kepercayaan—yang sudah terlalu dalam.
Trump akan dituduh "lunak terhadap Rusia" jika terlalu akomodatif, sementara Putin akan dianggap "mundur" jika memberikan konsesi teritorial atau strategis.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan damai besar sering lahir dari tekanan kebutuhan, bukan kemewahan pilihan.
Konstelasi global juga memengaruhi meja perundingan Alaska. Tiongkok, yang sejak invasi 2022 mempererat hubungan dengan Moskow, akan mengamati apakah pertemuan ini melemahkan atau memperkuat posisi negosiasinya terhadap AS.
Uni Eropa, yang ekonominya tertekan akibat krisis energi dan biaya perang, diam-diam menginginkan jalan damai yang mengurangi beban mereka.
Kegagalan di Alaska akan memiliki konsekuensi besar: perang Ukraina berpotensi berubah menjadi konflik beku (frozen conflict) yang bisa meledak sewaktu-waktu, menguras sumber daya global, dan mengunci dunia dalam iklim Perang Dingin versi baru.
Sebaliknya, keberhasilan akan mencatatkan Alaska sebagai tonggak sejarah, seperti Reykjavik 1986 ketika Reagan dan Gorbachev mengubah arah perlombaan senjata nuklir.
Bukan berarti semua masalah selesai, tetapi arah perubahan menjadi mungkin.
Trump dan Putin tidak perlu sepakat pada semua hal. Yang mereka perlukan hanyalah sepakat pada satu hal besar: bahwa perang ini harus diakhiri melalui politik, bukan artileri.
Untuk itu, Alaska bukan hanya sekadar pertemuan, melainkan ujian kepemimpinan di panggung global.
Sejarah akan mencatat bukan seberapa keras mereka membela posisi, tetapi seberapa berani mereka melangkah keluar dari bayang perang menuju cahaya perdamaian. Dunia, dan rakyat Ukraina, menunggu keberanian itu.[]
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT), penikmat sejarah dan geopolitik)
Sejarah akan mencatat bukan seberapa keras mereka membela posisi, tetapi seberapa berani mereka melangkah keluar dari bayang perang menuju cahaya perdamaian. Dunia, dan rakyat Ukraina, menunggu keberanian itu.[]
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT), penikmat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Alaska, Glacier, Travel/Pixabay.com