Pertemuan Alaska: Akhir Hegemoni, Awal Multipolaritas
INTIinspira - Pertemuan antara Presiden Rusia dan Presiden Amerika Serikat di Alaska baru-baru ini menjadi sorotan dunia.
Banyak yang menilai, momen ini merupakan titik balik sejarah. Seperti halnya negosiasi reunifikasi Jerman 35 tahun silam yang meletakkan dasar bagi tatanan global selama beberapa dekade, pertemuan Alaska berpotensi menentukan wajah dunia di era multipolar yang tengah lahir.
Analis geopolitik senior, Pepe Escobar, mencatat bahwa meskipun detail isi pembicaraan tidak dipublikasikan secara luas, pejabat Rusia menyatakan puas dengan hasilnya.
Bahkan Presiden Donald Trump sendiri menegaskan bahwa sejumlah kesepakatan penting sudah tercapai, hanya tinggal sedikit yang tersisa. “Ini menyiratkan adanya diskusi serius, bukan hanya tentang Ukraina, tetapi juga kemungkinan reset hubungan AS–Rusia,” tulis Escobar.
Artinya, ada peluang nyata untuk mengakhiri spiral konfrontasi yang selama ini mendominasi relasi kedua kekuatan besar tersebut.
Namun, menurut Fyodor Lukyanov, seorang pakar hubungan internasional Rusia, persoalan utama jauh lebih dalam dari sekadar konflik di Ukraina.
Krisis yang terjadi saat ini tidak berakar pada ambisi teritorial semata, melainkan pada pertanyaan fundamental tentang arsitektur keamanan global pasca-Perang Dingin.
Sistem yang lahir pada awal 1990-an memungkinkan ekspansi NATO tanpa batas, dengan dalih menjamin keamanan Eropa. Namun pada praktiknya, sistem tersebut menciptakan ketidakseimbangan strategis yang menimbulkan gesekan besar dengan Rusia.
Dengan kata lain, Ukraina hanyalah panggung tempat pertarungan ini dipentaskan. Persoalan yang sebenarnya dipertaruhkan di Alaska adalah bagaimana dunia akan menata dirinya ke depan: apakah tetap mempertahankan tatanan lama yang berpusat pada hegemoni Amerika, ataukah merumuskan arsitektur keamanan baru yang lebih seimbang dan inklusif.
Lukyanov menambahkan bahwa konflik Ukraina telah mempercepat pergeseran geopolitik global. Negara-negara BRICS—China, India, Brasil, dan Afrika Selatan—tidak lagi tunduk pada tekanan Washington untuk mengikuti agenda geopolitiknya.
Jika sebelumnya mereka cenderung akomodatif demi menjaga hubungan ekonomi, kini sikap mereka semakin tegas. Rusia memanfaatkan momentum ini dengan memperkuat konsultasi dan koordinasi bersama mitra BRICS, dan mendapat dukungan atas langkah-langkah diplomatiknya.
Sebaliknya, di kubu Barat justru terlihat tanda-tanda keretakan, dengan Eropa yang cemas dan gelisah atas kemungkinan kesepakatan baru antara Trump dan Putin.
Pepe Escobar menangkap peluang praktis dari kondisi ini yaitu kesepakatan nyata tentang Ukraina dan reset hubungan AS–Rusia sangat mungkin dicapai.
Lukyanov, dengan perspektif yang lebih konseptual, mengingatkan bahwa tanpa arsitektur keamanan baru, kesepakatan apapun hanya akan bersifat sementara.
Dua pandangan ini, jika digabungkan, memberi pemahaman yang utuh: Alaska tidak hanya berstatus sebagai negosiasi geopolitik, melainkan titik awal bagi dunia multipolar untuk menemukan kerangka hidup berdampingan secara damai.
Dari sudut pandang saya, Alaska menandai babak baru dalam politik internasional. Kita sedang menyaksikan akhir dari sebuah era—era hegemoni tunggal yang ditopang oleh aturan main pasca-1990. Tetapi kita juga berada di ambang kelahiran era baru yaitu era multipolaritas, di mana tidak ada satu negara pun yang bisa mendikte seluruh dunia.
BRICS sudah menunjukkan arah ke sana, dan pertemuan Alaska membuka pintu bagi Amerika Serikat dan Rusia untuk mengakui realitas baru ini.
Seperti pada tahun 1990, dunia sekali lagi berada di persimpangan jalan. Saat itu, reunifikasi Jerman lebih dari sebatas penyatuan wilayah, namun juga menjadi fondasi bagi sistem internasional baru yang bertahan lebih dari tiga dekade.
Kini, pertanyaan yang sama kembali muncul “Aturan apa yang akan menjadi dasar bagi hidup berdampingan negara-negara besar di abad ke-21?”
Pertemuan Alaska memberi secercah harapan. Jika para pemimpin berani melampaui kalkulasi jangka pendek dan berfokus pada visi strategis, maka dunia mungkin bisa melahirkan arsitektur keamanan baru yang lebih adil. Sebaliknya, jika kesempatan ini terlewatkan, kita hanya akan melihat krisis demi krisis dengan wajah berbeda.
Akhir hegemoni bukan berarti awal kekacauan, jika dunia mampu menyusun tatanan multipolar yang stabil. Alaska, dalam konteks ini, bisa tercatat sebagai tonggak sejarah, sebagai tempat lahirnya konsensus baru yang mengakhiri ketidakpastian lama.[]
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT) dan penikmat sejarah serta geopolitik)
Ilustrasi: Railroad, Train, Locomotive image/Pixabay.com
Banyak yang menilai, momen ini merupakan titik balik sejarah. Seperti halnya negosiasi reunifikasi Jerman 35 tahun silam yang meletakkan dasar bagi tatanan global selama beberapa dekade, pertemuan Alaska berpotensi menentukan wajah dunia di era multipolar yang tengah lahir.
Analis geopolitik senior, Pepe Escobar, mencatat bahwa meskipun detail isi pembicaraan tidak dipublikasikan secara luas, pejabat Rusia menyatakan puas dengan hasilnya.
Bahkan Presiden Donald Trump sendiri menegaskan bahwa sejumlah kesepakatan penting sudah tercapai, hanya tinggal sedikit yang tersisa. “Ini menyiratkan adanya diskusi serius, bukan hanya tentang Ukraina, tetapi juga kemungkinan reset hubungan AS–Rusia,” tulis Escobar.
Artinya, ada peluang nyata untuk mengakhiri spiral konfrontasi yang selama ini mendominasi relasi kedua kekuatan besar tersebut.
Namun, menurut Fyodor Lukyanov, seorang pakar hubungan internasional Rusia, persoalan utama jauh lebih dalam dari sekadar konflik di Ukraina.
Krisis yang terjadi saat ini tidak berakar pada ambisi teritorial semata, melainkan pada pertanyaan fundamental tentang arsitektur keamanan global pasca-Perang Dingin.
Sistem yang lahir pada awal 1990-an memungkinkan ekspansi NATO tanpa batas, dengan dalih menjamin keamanan Eropa. Namun pada praktiknya, sistem tersebut menciptakan ketidakseimbangan strategis yang menimbulkan gesekan besar dengan Rusia.
Dengan kata lain, Ukraina hanyalah panggung tempat pertarungan ini dipentaskan. Persoalan yang sebenarnya dipertaruhkan di Alaska adalah bagaimana dunia akan menata dirinya ke depan: apakah tetap mempertahankan tatanan lama yang berpusat pada hegemoni Amerika, ataukah merumuskan arsitektur keamanan baru yang lebih seimbang dan inklusif.
Lukyanov menambahkan bahwa konflik Ukraina telah mempercepat pergeseran geopolitik global. Negara-negara BRICS—China, India, Brasil, dan Afrika Selatan—tidak lagi tunduk pada tekanan Washington untuk mengikuti agenda geopolitiknya.
Jika sebelumnya mereka cenderung akomodatif demi menjaga hubungan ekonomi, kini sikap mereka semakin tegas. Rusia memanfaatkan momentum ini dengan memperkuat konsultasi dan koordinasi bersama mitra BRICS, dan mendapat dukungan atas langkah-langkah diplomatiknya.
Sebaliknya, di kubu Barat justru terlihat tanda-tanda keretakan, dengan Eropa yang cemas dan gelisah atas kemungkinan kesepakatan baru antara Trump dan Putin.
Pepe Escobar menangkap peluang praktis dari kondisi ini yaitu kesepakatan nyata tentang Ukraina dan reset hubungan AS–Rusia sangat mungkin dicapai.
Lukyanov, dengan perspektif yang lebih konseptual, mengingatkan bahwa tanpa arsitektur keamanan baru, kesepakatan apapun hanya akan bersifat sementara.
Dua pandangan ini, jika digabungkan, memberi pemahaman yang utuh: Alaska tidak hanya berstatus sebagai negosiasi geopolitik, melainkan titik awal bagi dunia multipolar untuk menemukan kerangka hidup berdampingan secara damai.
Dari sudut pandang saya, Alaska menandai babak baru dalam politik internasional. Kita sedang menyaksikan akhir dari sebuah era—era hegemoni tunggal yang ditopang oleh aturan main pasca-1990. Tetapi kita juga berada di ambang kelahiran era baru yaitu era multipolaritas, di mana tidak ada satu negara pun yang bisa mendikte seluruh dunia.
BRICS sudah menunjukkan arah ke sana, dan pertemuan Alaska membuka pintu bagi Amerika Serikat dan Rusia untuk mengakui realitas baru ini.
Seperti pada tahun 1990, dunia sekali lagi berada di persimpangan jalan. Saat itu, reunifikasi Jerman lebih dari sebatas penyatuan wilayah, namun juga menjadi fondasi bagi sistem internasional baru yang bertahan lebih dari tiga dekade.
Kini, pertanyaan yang sama kembali muncul “Aturan apa yang akan menjadi dasar bagi hidup berdampingan negara-negara besar di abad ke-21?”
Pertemuan Alaska memberi secercah harapan. Jika para pemimpin berani melampaui kalkulasi jangka pendek dan berfokus pada visi strategis, maka dunia mungkin bisa melahirkan arsitektur keamanan baru yang lebih adil. Sebaliknya, jika kesempatan ini terlewatkan, kita hanya akan melihat krisis demi krisis dengan wajah berbeda.
Akhir hegemoni bukan berarti awal kekacauan, jika dunia mampu menyusun tatanan multipolar yang stabil. Alaska, dalam konteks ini, bisa tercatat sebagai tonggak sejarah, sebagai tempat lahirnya konsensus baru yang mengakhiri ketidakpastian lama.[]
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT) dan penikmat sejarah serta geopolitik)
Ilustrasi: Railroad, Train, Locomotive image/Pixabay.com