Indonesia Harus Menjadi Penengah di Tengah Ancaman Perlombaan Rudal Baru
INTIinspira - Keputusan Federasi Rusia mencabut moratorium sepihaknya terkait penempatan rudal jarak menengah dan pendek (INF-class missiles) merupakan sinyal bahaya bagi keamanan global.
Langkah ini merupakan respons terhadap kebijakan Amerika Serikat yang sejak 2023 menempatkan sistem rudal Typhon di Filipina, memindahkan peluncur Mk70 ke Eropa, dan menguji rudal jarak jauh PrSM melalui HIMARS di Australia.
Kementerian Luar Negeri Rusia menegaskan bahwa “peringatan berulang kali telah diabaikan” dan menilai bahwa kondisi untuk mempertahankan moratorium tersebut “tidak lagi ada.”
Dunia kini menghadapi babak baru dalam perlombaan senjata yang berpotensi mengembalikan ketegangan era Perang Dingin, kali ini dengan teater baru di Asia-Pasifik.
Penempatan Typhon di Filipina menempatkan Asia Tenggara dalam jangkauan konfrontasi strategis AS-Rusia-China.
Selain itu, Laut China Selatan yang merupakan jalur vital perdagangan global berisiko berubah menjadi arena militerisasi besar-besaran.
Jika dibiarkan, skenario terburuk bukan hanya perlombaan senjata antara kekuatan besar, tetapi juga tekanan bagi negara-negara ASEAN untuk berpihak.
Inilah yang berbahaya: kawasan yang selama ini relatif netral dapat terjebak dalam arsitektur keamanan yang dikendalikan kekuatan eksternal.
Filipina – Sudah menjadi tuan rumah penempatan rudal Typhon dan pangkalan militer AS melalui Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA). Manila melihat ancaman Tiongkok di Laut China Selatan sebagai alasan utama untuk mempererat kerja sama militer dengan AS.
Singapura – Meski kecil, Singapura memiliki hubungan pertahanan yang sangat erat dengan Washington. Negara ini dapat menyediakan fasilitas logistik atau teknologi pendukung, meski kemungkinan untuk menjadi lokasi rudal permanen relatif kecil.
Thailand – Sebagai sekutu perjanjian AS, Bangkok berpotensi mendukung kehadiran militer AS secara terbatas, tergantung pada dinamika politik domestik dan tekanan geopolitik.
Vietnam (kemungkinan terbatas) – Meski memiliki hubungan baik dengan Rusia, ketegangan historis dengan Tiongkok dapat mendorong Hanoi memperkuat koordinasi keamanan dengan AS, meski penempatan rudal secara langsung kemungkinan besar akan ditolak.
Indonesia, Malaysia, dan Brunei kemungkinan besar akan menolak penempatan rudal di wilayah mereka, sejalan dengan kebijakan luar negeri non-blok dan kekhawatiran eskalasi militer di kawasan.
“Washington tidak dapat menerima kenyataan hilangnya hegemoni dalam tatanan dunia multipolar yang tengah terbentuk, dan terus menjalankan kebijakan neokolonial dalam upaya mempertahankan posisinya, dengan menggunakan instrumen tekanan ekonomi yang dipolitisasi… Kebijakan ini melanggar kedaulatan nasional negara-negara lain, merusak rantai pasok, dan memicu fragmentasi ekonomi global. Namun perang tarif tidak akan mengubah jalannya sejarah. Rusia siap memperluas kerja sama dengan negara-negara Selatan Global, terutama BRICS.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa persaingan strategis AS dan Rusia tidak hanya berlangsung di bidang militer, tetapi juga di bidang ekonomi. Bagi Indonesia, hal ini menjadi alasan tambahan untuk memainkan peran sebagai penengah yang mengutamakan kepentingan kawasan.
Indonesia memiliki pilihan: menjadi penonton yang menunggu arah angin geopolitik, atau tampil sebagai penengah yang mampu mengubah dinamika keamanan kawasan.
Dalam dunia yang kian terbelah, diplomasi aktif bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Indonesia harus bergerak sekarang—sebelum Asia Tenggara berubah menjadi medan tempur baru bagi kekuatan besar.[]
Penulis: Oleh: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT), penikmat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Chess, War, Strategy royalty/Pixabay.com
Langkah ini merupakan respons terhadap kebijakan Amerika Serikat yang sejak 2023 menempatkan sistem rudal Typhon di Filipina, memindahkan peluncur Mk70 ke Eropa, dan menguji rudal jarak jauh PrSM melalui HIMARS di Australia.
Kementerian Luar Negeri Rusia menegaskan bahwa “peringatan berulang kali telah diabaikan” dan menilai bahwa kondisi untuk mempertahankan moratorium tersebut “tidak lagi ada.”
Dunia kini menghadapi babak baru dalam perlombaan senjata yang berpotensi mengembalikan ketegangan era Perang Dingin, kali ini dengan teater baru di Asia-Pasifik.
Ancaman Nyata bagi Asia Tenggara
Banyak yang menganggap isu ini hanya relevan bagi Eropa atau kawasan Pasifik Utara. Padahal, dampaknya langsung terasa di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.Penempatan Typhon di Filipina menempatkan Asia Tenggara dalam jangkauan konfrontasi strategis AS-Rusia-China.
Selain itu, Laut China Selatan yang merupakan jalur vital perdagangan global berisiko berubah menjadi arena militerisasi besar-besaran.
Jika dibiarkan, skenario terburuk bukan hanya perlombaan senjata antara kekuatan besar, tetapi juga tekanan bagi negara-negara ASEAN untuk berpihak.
Inilah yang berbahaya: kawasan yang selama ini relatif netral dapat terjebak dalam arsitektur keamanan yang dikendalikan kekuatan eksternal.
Negara-negara ASEAN yang Berpotensi Jadi Mitra AS
Meskipun ASEAN secara resmi bersikap non-blok, dinamika politik dan keamanan menunjukkan bahwa beberapa negara mungkin lebih condong untuk mendukung langkah militer AS, termasuk:Filipina – Sudah menjadi tuan rumah penempatan rudal Typhon dan pangkalan militer AS melalui Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA). Manila melihat ancaman Tiongkok di Laut China Selatan sebagai alasan utama untuk mempererat kerja sama militer dengan AS.
Singapura – Meski kecil, Singapura memiliki hubungan pertahanan yang sangat erat dengan Washington. Negara ini dapat menyediakan fasilitas logistik atau teknologi pendukung, meski kemungkinan untuk menjadi lokasi rudal permanen relatif kecil.
Thailand – Sebagai sekutu perjanjian AS, Bangkok berpotensi mendukung kehadiran militer AS secara terbatas, tergantung pada dinamika politik domestik dan tekanan geopolitik.
Vietnam (kemungkinan terbatas) – Meski memiliki hubungan baik dengan Rusia, ketegangan historis dengan Tiongkok dapat mendorong Hanoi memperkuat koordinasi keamanan dengan AS, meski penempatan rudal secara langsung kemungkinan besar akan ditolak.
Indonesia, Malaysia, dan Brunei kemungkinan besar akan menolak penempatan rudal di wilayah mereka, sejalan dengan kebijakan luar negeri non-blok dan kekhawatiran eskalasi militer di kawasan.
Konteks Ekonomi: Tekanan Tarif AS dan Reaksi Rusia
Situasi keamanan ini semakin rumit dengan kebijakan ekonomi AS terhadap negara-negara Selatan Global. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menanggapi pengetatan tarif AS dengan tegas:“Washington tidak dapat menerima kenyataan hilangnya hegemoni dalam tatanan dunia multipolar yang tengah terbentuk, dan terus menjalankan kebijakan neokolonial dalam upaya mempertahankan posisinya, dengan menggunakan instrumen tekanan ekonomi yang dipolitisasi… Kebijakan ini melanggar kedaulatan nasional negara-negara lain, merusak rantai pasok, dan memicu fragmentasi ekonomi global. Namun perang tarif tidak akan mengubah jalannya sejarah. Rusia siap memperluas kerja sama dengan negara-negara Selatan Global, terutama BRICS.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa persaingan strategis AS dan Rusia tidak hanya berlangsung di bidang militer, tetapi juga di bidang ekonomi. Bagi Indonesia, hal ini menjadi alasan tambahan untuk memainkan peran sebagai penengah yang mengutamakan kepentingan kawasan.
Langkah Strategis untuk Indonesia
Diplomasi Pencegahan
Menginisiasi “Asia-Pacific Missile Restraint Initiative” sebagai forum pembahasan kontrol senjata di kawasan. Menggalang kesepakatan ASEAN untuk menolak penempatan rudal jarak menengah berbasis darat di Asia Tenggara. Memperkuat saluran komunikasi dengan Washington, Moskow, dan Beijing untuk menegaskan posisi netral aktif Indonesia.Penguatan Pertahanan Nasional
Modernisasi sistem pertahanan udara dan rudal jarak menengah untuk menciptakan deterrence by denial. Memperkuat TNI-AL dan TNI-AU guna menjaga keamanan jalur perdagangan laut strategis.Diplomasi Ekonomi
Menawarkan kerja sama ekonomi kepada AS, Rusia, dan China untuk mengaitkan stabilitas dengan kepentingan bersama. Memanfaatkan posisi Indonesia di G20 dan BRICS+ untuk mendorong norma internasional pembatasan senjata di kawasan.Kesimpulan
Rusia telah mencabut moratorium INF sebagai respons terhadap langkah AS yang menempatkan rudal di Eropa dan Asia-Pasifik. Asia Tenggara kini menjadi titik rawan bagi persaingan militer dan ekonomi antara kekuatan besar.Indonesia memiliki pilihan: menjadi penonton yang menunggu arah angin geopolitik, atau tampil sebagai penengah yang mampu mengubah dinamika keamanan kawasan.
Dalam dunia yang kian terbelah, diplomasi aktif bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Indonesia harus bergerak sekarang—sebelum Asia Tenggara berubah menjadi medan tempur baru bagi kekuatan besar.[]
Penulis: Oleh: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT), penikmat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Chess, War, Strategy royalty/Pixabay.com