Sulit Sekali Mendisiplinkan Diri: Apa yang Bisa Kulakukan?
INTIinspira - Di zaman yang sedang kita hidupi ini, rasanya kedisiplinan makin sulit dijaga. Setiap hari, perhatian kita direbut oleh banyak hal—dan salah satu yang paling kuat adalah media sosial.
Notifikasi chatting, video pendek yang terus muncul, dari yang masuk akal sampai yang absurd, silih berganti menyapa layar kita.
Tanpa sadar, waktu yang tadinya diniatkan untuk hal produktif malah habis begitu saja untuk scroll layar.
Notifikasi chatting, video pendek yang terus muncul, dari yang masuk akal sampai yang absurd, silih berganti menyapa layar kita.
Tanpa sadar, waktu yang tadinya diniatkan untuk hal produktif malah habis begitu saja untuk scroll layar.
Penelitian Rosen et al bahkan menemukan bahwa sebagian besar dari kita tidak bisa fokus lebih dari 6 menit sebelum akhirnya tergoda membuka ponsel lagi.
Selain godaan digital, budaya santai yang banyak dihidupi oleh masyarakat Indonesia juga memberi kontribusi pada lemahnya kedisiplinan.
Salah satu contohnya adalah masih merebaknya sikap permisif terhadap keterlambatan. Fenomena jam karet—di mana janji pukul 8 baru dimulai pukul 9—masih menjadi bagian dari keseharian yang dianggap wajar.
Gaya hidup santai ini tentu tak sepenuhnya buruk. Dalam batas tertentu, ia punya sisi positif: orang-orang yang santai cenderung tidak mudah stres. Bahkan dalam situasi darurat seperti bencana alam, mereka masih bisa melambaikan tangan dan tertawa di depan kamera wartawan.
Namun, jika kita telisik lebih dalam, masalah kedisiplinan tidak hanya soal budaya atau teknologi, melainkan juga berkaitan dengan cara kerja otak kita sendiri.
Secara evolutif, otak manusia memang dirancang untuk hemat energi. Ini masuk akal karena otak menghabiskan lebih dari 20% energi tubuh, meskipun beratnya hanya sekitar 2% dari total berat badan.
Maka, ketika dihadapkan pada pilihan antara berpikir keras dan bersantai, otak lebih cenderung memilih jalan yang paling mudah—rebahan, scrolling TikTok, atau menunda pekerjaan.
Menurut Daniel Kahneman, otak manusia bekerja dalam dua mode:
Selain godaan digital, budaya santai yang banyak dihidupi oleh masyarakat Indonesia juga memberi kontribusi pada lemahnya kedisiplinan.
Salah satu contohnya adalah masih merebaknya sikap permisif terhadap keterlambatan. Fenomena jam karet—di mana janji pukul 8 baru dimulai pukul 9—masih menjadi bagian dari keseharian yang dianggap wajar.
Gaya hidup santai ini tentu tak sepenuhnya buruk. Dalam batas tertentu, ia punya sisi positif: orang-orang yang santai cenderung tidak mudah stres. Bahkan dalam situasi darurat seperti bencana alam, mereka masih bisa melambaikan tangan dan tertawa di depan kamera wartawan.
Namun, jika kita telisik lebih dalam, masalah kedisiplinan tidak hanya soal budaya atau teknologi, melainkan juga berkaitan dengan cara kerja otak kita sendiri.
Secara evolutif, otak manusia memang dirancang untuk hemat energi. Ini masuk akal karena otak menghabiskan lebih dari 20% energi tubuh, meskipun beratnya hanya sekitar 2% dari total berat badan.
Maka, ketika dihadapkan pada pilihan antara berpikir keras dan bersantai, otak lebih cenderung memilih jalan yang paling mudah—rebahan, scrolling TikTok, atau menunda pekerjaan.
Menurut Daniel Kahneman, otak manusia bekerja dalam dua mode:
System 1, yang cepat, otomatis, dan tidak butuh mikir lama.
Contohnya gerak refleks tangan saat menyentuh benda panas. Kita tidak sempat mikir “Apakah aku harus menahan rasa sakit ini demi menunjukkan kejantanan?” Nggak! Langsung aja cabut tangan, selesai.
Sedangkan System 2, yang lambat, penuh pertimbangan, dan butuh tenaga ekstra.
Sedangkan System 2, yang lambat, penuh pertimbangan, dan butuh tenaga ekstra.
Contohnya saat mengerjakan soal ujian, yang satu soal aja bisa bikin kita mempertanyakan tujuan hidup. Atau saat nyusun skripsi, yang katanya “cuma 80 halaman,” tapi rasanya mirip menulis kitab suci versi pribadi.
Jadi, ketika kamu lebih milih nonton 10 video kucing dalam posisi yoga daripada ngerjain tugas, itu otak kita lagi nyalain System 1. Karena System 2 harus dipancing, dibujuk, kadang bahkan diancam deadline dulu baru mau kerja.
System 1 inilah yang bikin kita lebih suka rebahan, scrolling TikTok, atau nonton YouTube sampai larut malam. Karena itu lebih “mudah” dan nggak bikin capek.
Jadi, ketika kamu lebih milih nonton 10 video kucing dalam posisi yoga daripada ngerjain tugas, itu otak kita lagi nyalain System 1. Karena System 2 harus dipancing, dibujuk, kadang bahkan diancam deadline dulu baru mau kerja.
System 1 inilah yang bikin kita lebih suka rebahan, scrolling TikTok, atau nonton YouTube sampai larut malam. Karena itu lebih “mudah” dan nggak bikin capek.
Sementara disiplin, fokus, dan kerja keras—itu wilayahnya System 2, dan sayangnya, dia butuh dorongan besar buat aktif.
Jadi, kalau hari ini kita merasa sulit bangun pagi, menunda-nunda tugas, atau sulit jauh dari ponsel, itu menunjukkan bahwa otak kita memang cenderung cari kenyamanan dan hemat energi.
Jadi, kalau hari ini kita merasa sulit bangun pagi, menunda-nunda tugas, atau sulit jauh dari ponsel, itu menunjukkan bahwa otak kita memang cenderung cari kenyamanan dan hemat energi.
Tapi kabar baiknya, kita bisa melatihnya. Walaupun disiplin memang bukan bawaan lahir, tapi karena disiplin itu penting, ia dapat dibentuk perlahan.
Menurut Theory of Planned Behavior, niat memang penting sebagai langkah awal, tapi harus didukung oleh keyakinan bahwa kita mau dan bisa bertindak. Di sinilah disiplin berperan: ia adalah jembatan antara niat dan kenyataan.
Niat itu bergantung pada tiga hal: attitude (sikap): Apakah kita merasa tindakan itu penting atau bermanfaat?, subjective norms (tekanan sosial/norma): Apakah orang di sekitar kita mendukung atau justru meremehkan?, dan perceived behavioral control (keyakinan terhadap kemampuannya): Apakah kita yakin bisa melakukannya?
Tanpa disiplin, seseorang mungkin tidak membentuk niat kuat untuk bertindak karena merasa tidak mampu mengendalikan perilaku diri—sehingga niat tidak terealisasi.
Kedua, melawan sifat menunda-nunda dan prokrastinasi. Sebagian kita tentu pernah menunda-nunda tugas. Hari ini bilang “nanti malam aja”, lalu malamnya bilang “besok pagi aja”, terus tahu-tahu deadlinenya sudah lewat. Nah, itu yang disebut prokrastinasi.
Menurut Temporal Motivation Theory (TMT), motivasi biasanya meningkat ketika tenggat waktu semakin dekat. Karena itu, banyak dari kita justru baru bergerak saat waktu sudah mepet.
Mengapa Disiplin itu Penting?
Pertama, Setiap manusia tentu punya cita-cita. Mau lulus cepat, mau punya usaha sendiri, mau memiliki tubuh yang sehat, atau cita-cita lainnya.Menurut Theory of Planned Behavior, niat memang penting sebagai langkah awal, tapi harus didukung oleh keyakinan bahwa kita mau dan bisa bertindak. Di sinilah disiplin berperan: ia adalah jembatan antara niat dan kenyataan.
Niat itu bergantung pada tiga hal: attitude (sikap): Apakah kita merasa tindakan itu penting atau bermanfaat?, subjective norms (tekanan sosial/norma): Apakah orang di sekitar kita mendukung atau justru meremehkan?, dan perceived behavioral control (keyakinan terhadap kemampuannya): Apakah kita yakin bisa melakukannya?
Tanpa disiplin, seseorang mungkin tidak membentuk niat kuat untuk bertindak karena merasa tidak mampu mengendalikan perilaku diri—sehingga niat tidak terealisasi.
Kedua, melawan sifat menunda-nunda dan prokrastinasi. Sebagian kita tentu pernah menunda-nunda tugas. Hari ini bilang “nanti malam aja”, lalu malamnya bilang “besok pagi aja”, terus tahu-tahu deadlinenya sudah lewat. Nah, itu yang disebut prokrastinasi.
Menurut Temporal Motivation Theory (TMT), motivasi biasanya meningkat ketika tenggat waktu semakin dekat. Karena itu, banyak dari kita justru baru bergerak saat waktu sudah mepet.
Kenapa bisa begitu? Karena otak kita lebih tertarik pada kesenangan instan. Ketimbang mengerjakan tugas yang berat dan menantang, kita cenderung memilih hal yang mudah dan menyenangkan seperti scrolling media sosial atau menonton video.
TMT menjelaskan bahwa motivasi sangat dipengaruhi oleh waktu: semakin dekat deadline, semakin tinggi motivasinya.
TMT menjelaskan bahwa motivasi sangat dipengaruhi oleh waktu: semakin dekat deadline, semakin tinggi motivasinya.
Namun sebelum itu, kita lebih tergoda oleh kenikmatan jangka pendek daripada manfaat jangka panjang dari tugas yang sulit.
Di sinilah disiplin berperan. Disiplin mengajarkan kita untuk tidak bergantung pada mood atau motivasi yang naik turun.
Di sinilah disiplin berperan. Disiplin mengajarkan kita untuk tidak bergantung pada mood atau motivasi yang naik turun.
Dengan disiplin, kita belajar untuk tetap bergerak, tetap produktif, meskipun sedang tidak merasa “ingin.” Ini adalah cara kita mengendalikan hidup, bukan sebaliknya.
Ketiga, sebagian dari kita mungkin sering merasa lelah, padahal tidak melakukan banyak aktivitas fisik. Ini bisa jadi tanda terkena dampak negatif dari multitasking digital.
Ketiga, sebagian dari kita mungkin sering merasa lelah, padahal tidak melakukan banyak aktivitas fisik. Ini bisa jadi tanda terkena dampak negatif dari multitasking digital.
Otak manusia tidak dirancang untuk berpindah fokus secara cepat. Akibatnya? Daya ingat menurun, stres meningkat, dan performa menurun.
Penggunaan media sosial dan multitasking digital terbukti berdampak pada penurunan performa akademik—mulai dari nilai yang menurun, konsentrasi terganggu, hingga munculnya stres dan kecemasan belajar.
Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa individu dengan disposisi manajemen waktu yang baik cenderung lebih tahan terhadap dampak negatif ini.
Penggunaan media sosial dan multitasking digital terbukti berdampak pada penurunan performa akademik—mulai dari nilai yang menurun, konsentrasi terganggu, hingga munculnya stres dan kecemasan belajar.
Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa individu dengan disposisi manajemen waktu yang baik cenderung lebih tahan terhadap dampak negatif ini.
Mereka bisa menjaga fokus, mengatur ritme, dan tetap tenang. Artinya, disiplin adalah benteng pertahanan kita di era distraksi digital.
Disiplin membantu kita menetapkan batasan waktu, membatasi distraksi, dan menggunakan gawai secara sadar. Bukan berarti kita harus anti-medsos, tapi kita tahu kapan saatnya berhenti dan kembali fokus.
Keempat, membangun identitas dan karakter jangka panjang. Kedisiplinan tidak hanya berdampak pada soal produktivitas keseharian. Lebih dari itu, ia membantu kita menghargai waktu, membangun reputasi yang bagus, kredibilitas, serta karakter.
Disiplin membantu kita menetapkan batasan waktu, membatasi distraksi, dan menggunakan gawai secara sadar. Bukan berarti kita harus anti-medsos, tapi kita tahu kapan saatnya berhenti dan kembali fokus.
Keempat, membangun identitas dan karakter jangka panjang. Kedisiplinan tidak hanya berdampak pada soal produktivitas keseharian. Lebih dari itu, ia membantu kita menghargai waktu, membangun reputasi yang bagus, kredibilitas, serta karakter.
Individu yang disiplin biasanya lebih dihormati, dipercaya, dan sukses membangun kehidupan yang terstruktur dan bermakna.
Kita bisa membayangkan jika ada 2 orang yang pernah kita temui: yang satu selalu tepat waktu, konsisten, dan bisa diandalkan. Yang satu lagi moody, janjinya tak bisa dipegang, dan sering telat. Siapa yang lebih kita percaya? Tentu yang jenis pertama.
Dari sini terlihat bahwa kedisiplinan akan membentuk siapa kita di mata orang lain. Disiplin melatih tanggung jawab, kesabaran, dan konsistensi—hal-hal penting untuk membangun reputasi baik.
Kita bisa membayangkan jika ada 2 orang yang pernah kita temui: yang satu selalu tepat waktu, konsisten, dan bisa diandalkan. Yang satu lagi moody, janjinya tak bisa dipegang, dan sering telat. Siapa yang lebih kita percaya? Tentu yang jenis pertama.
Dari sini terlihat bahwa kedisiplinan akan membentuk siapa kita di mata orang lain. Disiplin melatih tanggung jawab, kesabaran, dan konsistensi—hal-hal penting untuk membangun reputasi baik.
Cara Mendisiplinkan Diri: Apa Saja yang Bisa Kita Lakukan?
Pertama, batasi dan kendalikan distraksi. Mari kita jujur: distraksi itu nyata, dan seringkali bentuknya adalah notifikasi tak penting dari grup WhatsApp yang rame-nya tidak kenal waktu.Salah satu langkah awal adalah mematikan notifikasi sementara saat sedang bekerja atau belajar. Kita juga bisa menetapkan “jam buka medsos”, seperti warung yang ada jam bukanya sendiri.
Jangan menunggu waktu yang tepat, karena itu tak akan pernah ada. Atur sendiri waktumu.
Jangan menunggu waktu yang tepat, karena itu tak akan pernah ada. Atur sendiri waktumu.
Semisal, saat mengerjakan tugas, kita mengaktifkan mode “jangan ganggu” untuk 25 menit ke depan. Lalu memberi waktu 5 menit untuk beristirahat. Teknik ini disebut Pomodoro Technique dan terbukti meningkatkan fokus.
Kedua, gunakan perencanaan “If-Then”. Teknik ini berarti merancang rencana konkret:
“Jika jam sudah pukul 09.00 dan saya mulai belajar, maka saya akan menaruh ponsel di dalam laci dan kunci pakai gembok (atau minimal mode pesawat).”
Atau “Jika saya merasa tergoda buka TikTok, maka saya akan berdiri dan jalan kaki 5 menit keliling kamar (atau kosan).”
Penggunaan pola “If–then” memperkuat keterkaitan antara niat dan tindakan sehingga disiplin lebih otomatis. Strategi ini simpel tapi ampuh. Namanya implementation intention. Contohnya: “Kalau jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, maka saya akan mulai baca buku 30 menit.”
Ketiga, Gunakan teori Pengelompokan Waktu. Kita sering merasa kehabisan waktu bukan karena terlalu sibuk, tapi karena hal-hal kecil lebih dulu menyita perhatian.
Maka, prioritaskan tugas-tugas penting terlebih dahulu—atau yang sering disebut sebagai “big rocks” (batu besar). Setelah itu baru diisi dengan tugas kecil (kerikil), dan sisanya hal remeh-temeh seperti scrolling atau nonton video kucing (pasir dan air) bila masih ada waktu.
Bayangkan kita punya satu ember kosong. Kalau diisi dulu dengan pasir, batu-batu besar nggak akan muat. Tapi kalau kita masukkan batu besar dulu, lalu kerikil, lalu pasir—semuanya bisa masuk.
Nah, jangan sampai ember waktu penuh duluan cuma gara-gara terlalu sibuk cari filter Instagram terbaik selama setengah jam.
Keempat, Bangun Self‑Efficacy dan Self‑Motivation. Menurut teori Goal‑Setting dan self‑efficacy dari Albert Bandura, semakin kuat keyakinan seseorang terhadap kemampuannya, semakin tinggi keterikatannya terhadap tujuan, dan semakin besar peluang mencapainya.
Maka, tetapkan tujuan yang jelas, menantang tapi realistis. Sertai dengan refleksi harian: “Sudahkah aku lebih baik hari ini daripada kemarin?” Jika belum, mungkin perlu ganti strategi. Mulailah dari hal kecil yang kita tahu bisa dilakukan.
Misalnya: bangun 15 menit lebih pagi selama seminggu. Kalau biasanya bangun jam 7 karena alarm bunyi tiga kali dan dibatalkan empat kali, sekarang coba langsung bangun di dering pertama.
Kedua, gunakan perencanaan “If-Then”. Teknik ini berarti merancang rencana konkret:
“Jika jam sudah pukul 09.00 dan saya mulai belajar, maka saya akan menaruh ponsel di dalam laci dan kunci pakai gembok (atau minimal mode pesawat).”
Atau “Jika saya merasa tergoda buka TikTok, maka saya akan berdiri dan jalan kaki 5 menit keliling kamar (atau kosan).”
Penggunaan pola “If–then” memperkuat keterkaitan antara niat dan tindakan sehingga disiplin lebih otomatis. Strategi ini simpel tapi ampuh. Namanya implementation intention. Contohnya: “Kalau jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, maka saya akan mulai baca buku 30 menit.”
Ketiga, Gunakan teori Pengelompokan Waktu. Kita sering merasa kehabisan waktu bukan karena terlalu sibuk, tapi karena hal-hal kecil lebih dulu menyita perhatian.
Maka, prioritaskan tugas-tugas penting terlebih dahulu—atau yang sering disebut sebagai “big rocks” (batu besar). Setelah itu baru diisi dengan tugas kecil (kerikil), dan sisanya hal remeh-temeh seperti scrolling atau nonton video kucing (pasir dan air) bila masih ada waktu.
Bayangkan kita punya satu ember kosong. Kalau diisi dulu dengan pasir, batu-batu besar nggak akan muat. Tapi kalau kita masukkan batu besar dulu, lalu kerikil, lalu pasir—semuanya bisa masuk.
Nah, jangan sampai ember waktu penuh duluan cuma gara-gara terlalu sibuk cari filter Instagram terbaik selama setengah jam.
Keempat, Bangun Self‑Efficacy dan Self‑Motivation. Menurut teori Goal‑Setting dan self‑efficacy dari Albert Bandura, semakin kuat keyakinan seseorang terhadap kemampuannya, semakin tinggi keterikatannya terhadap tujuan, dan semakin besar peluang mencapainya.
Maka, tetapkan tujuan yang jelas, menantang tapi realistis. Sertai dengan refleksi harian: “Sudahkah aku lebih baik hari ini daripada kemarin?” Jika belum, mungkin perlu ganti strategi. Mulailah dari hal kecil yang kita tahu bisa dilakukan.
Misalnya: bangun 15 menit lebih pagi selama seminggu. Kalau biasanya bangun jam 7 karena alarm bunyi tiga kali dan dibatalkan empat kali, sekarang coba langsung bangun di dering pertama.
Kalau berhasil, tingkatkan lagi. Kemenangan kecil ini akan membangun kepercayaan diri dan memicu motivasi jangka panjang. Disiplin itu ibarat otot—semakin sering dilatih, semakin kuat.
Sering kali kita terjebak dalam aktivitas yang tampak sibuk namun sebenarnya tidak bermakna.
Refleksi Pentingnya Pendisiplinan Diri
Setiap orang diberikan waktu yang sama: 24 jam dalam sehari. Namun, kenyataannya hanya sebagian kecil dari waktu itu yang benar-benar kita manfaatkan secara maksimal.Sering kali kita terjebak dalam aktivitas yang tampak sibuk namun sebenarnya tidak bermakna.
Padahal, waktu berjalan tanpa menunggu—seperti jam pasir yang terus menetes, ia akan habis tak peduli kita menggunakannya atau tidak.
Di sinilah pentingnya pendisiplinan diri, terutama dalam hal menghargai waktu, menjadi sangat krusial.
Di sinilah pentingnya pendisiplinan diri, terutama dalam hal menghargai waktu, menjadi sangat krusial.
Tanpa disiplin, kita mudah tergoda menunda, teralihkan, dan akhirnya kehilangan kesempatan yang tak pernah bisa diulang!
Melakukan hal-hal produktif tidak selalu berarti melakukan sesuatu yang besar. Terkadang, tindakan-tindakan kecil yang konsisten justru melahirkan perubahan luar biasa.
Membaca beberapa halaman buku setiap hari, menulis jurnal singkat, berolahraga ringan, atau sekadar merenung dan merencanakan hari esok—semua itu bisa menjadi investasi waktu yang berharga jika dilakukan dengan kesadaran dan ketekunan.
Disiplin terhadap waktu bukan semata soal manajemen, tetapi lebih jauh ia merupakan penghargaan terhadap hidup itu sendiri. Karena pada akhirnya, bagaimana kita menggunakan waktu akan sangat menentukan siapa kita dan ke mana kita akan menuju.
Namun, yang tak kalah penting untuk disadari dalam perjalanan pendisiplinan diri adalah menghindari kebiasaan membandingkan diri secara berlebihan dengan orang lain.
Setiap orang punya ritme, tantangan, dan perjalanan hidup yang berbeda. Fokus utama seharusnya bukan pada pencapaian orang lain, melainkan pada perkembangan diri kita sendiri.
Apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Apakah kita sudah menggunakan waktu dengan lebih bijak, meski hanya sedikit lebih baik dari sebelumnya? Itulah ukuran kemajuan yang sesungguhnya.[]
Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Clock at 6:17/Pexels.com
Melakukan hal-hal produktif tidak selalu berarti melakukan sesuatu yang besar. Terkadang, tindakan-tindakan kecil yang konsisten justru melahirkan perubahan luar biasa.
Membaca beberapa halaman buku setiap hari, menulis jurnal singkat, berolahraga ringan, atau sekadar merenung dan merencanakan hari esok—semua itu bisa menjadi investasi waktu yang berharga jika dilakukan dengan kesadaran dan ketekunan.
Disiplin terhadap waktu bukan semata soal manajemen, tetapi lebih jauh ia merupakan penghargaan terhadap hidup itu sendiri. Karena pada akhirnya, bagaimana kita menggunakan waktu akan sangat menentukan siapa kita dan ke mana kita akan menuju.
Namun, yang tak kalah penting untuk disadari dalam perjalanan pendisiplinan diri adalah menghindari kebiasaan membandingkan diri secara berlebihan dengan orang lain.
Setiap orang punya ritme, tantangan, dan perjalanan hidup yang berbeda. Fokus utama seharusnya bukan pada pencapaian orang lain, melainkan pada perkembangan diri kita sendiri.
Apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Apakah kita sudah menggunakan waktu dengan lebih bijak, meski hanya sedikit lebih baik dari sebelumnya? Itulah ukuran kemajuan yang sesungguhnya.[]
Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Clock at 6:17/Pexels.com