Suara dari Pinggiran Negeri: Sebuah Catatan untuk NKRI

INTIinspira - “Colonialism is not yet dead. It has merely assumed new forms.” – Bung Karno, Bandung 1955. Tujuh puluh tahun lalu, kata-kata ini mengguncang dunia.

Konferensi Asia-Afrika di Bandung menegaskan janji bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka akan menolak kolonialisme dalam bentuk apa pun. 

Indonesia berdiri di garis depan, mengibarkan panji multipolaritas yang adil.

Namun hari ini, kita harus menatap kenyataan, dan dipaksa bertanya: apakah kita masih setia pada semangat Bandung, atau telah menjadi tiruan kecil dari apa yang dulu kita lawan?

Melalui tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali dan mengukur sejauh mana kita masih setia pada janji-janji sejarah. 

Untuk melihat lebih dalam bagaimana semangat anti-kolonial yang dulu dikumandangkan dengan lantang, kini justru meredup dalam praktik kenegaraan kita sendiri.

Sebab jika kolonialisme telah berganti rupa, maka melawannya harus dimulai dari keberanian menamainya dengan jujur.

Antara Papua dan Timor Timur

Papua adalah ujian pertama yang gagal kita jawab. Pepera 1969—yang seharusnya menjadi pesta demokrasi—nyatanya hanyalah make-up politik.

Seribu lebih “wakil” berbicara untuk ratusan ribu jiwa. Dunia menyebutnya “Act of Free Choice,” rakyat Papua menyebutnya “Act of No Choice.”

Sejak itu, Papua hidup di bawah bayang-bayang militerisasi, eksploitasi sumber daya, dan kebijakan yang jarang lahir dari dialog.

Dan setiap kali ada yang menuntut keadilan, negara menjawab dengan mantra yang dihafal semua pejabat: “NKRI Harga Mati!”

Tetapi semakin keras slogan itu diulang, semakin pelan suara nurani terdengar.

Belum selesai dengan Papua, kita mengulang kesalahan di Timor Timur. Invasi 1975 diklaim sebagai “integrasi,” lengkap dengan restu diam-diam Washington dan Canberra.

Hasilnya? Dua puluh empat tahun perang, pelanggaran HAM, dan akhirnya kemerdekaan Timor Timur.

Mereka lelah, lalu pergi meninggalkan Indonesia. Bukan karena benci, tetapi karena lelah hidup dalam “persatuan” yang dibangun di atas penaklukan.

Timor Timur adalah bab yang seharusnya membuka mata kita semua bahwa persatuan tanpa keadilan hanyalah penjara dengan bendera di atasnya.

NKRI: Menyatukan atau Menaklukkan?

Kita diajarkan bahwa NKRI adalah harga mati. Tetapi kita jarang bertanya: NKRI yang mana?

NKRI yang melindungi atau NKRI yang menaklukkan?

NKRI yang merayakan keragaman atau NKRI yang memaksa keseragaman?

NKRI yang membangun peradaban atau NKRI yang hanya mengulang kolonialisme dalam versi domestik?

Pernyataan ini bukan ditujukan untuk memecah belah, apalagi merusak persatuan. Justru sebaliknya, ia lahir dari kebutuhan untuk melihat kenyataan dalam terang yang jujur dan proporsional.

Sebab cinta pada rumah bersama bukan berarti menutup mata terhadap retaknya dinding. 

Hanya dengan menyadari keretakan itulah kita punya peluang untuk memperbaiki—bukan terus menyangkal hingga semuanya runtuh tanpa sempat diselamatkan.

Jika persatuan hanya bisa ditegakkan dengan moncong senjata, maka NKRI bukanlah rumah bersama. Ia hanyalah negara yang berdiri di atas paksaan, dan sejarah tidak pernah ramah pada negara yang memerintah dengan cara itu.

Bandung dan Multipolaritas yang Kita Tinggalkan

Konferensi Bandung dulu melahirkan visi dunia multipolar yaitu dunia tanpa satu pusat kekuasaan yang menindas yang lain.

Namun di dalam negeri, kita justru membangun miniatur dunia unipolar versi kita sendiri. 

Jakarta sebagai pusat, Papua dan daerah pinggiran sebagai koloni yang harus tunduk. 

“NKRI Harga Mati” pun berubah menjadi tameng moral untuk menolak setiap percakapan tentang keadilan.

Jika kita ingin relevan di dunia multipolar, kita harus berani kembali ke Bandung: bukan sebagai seremoni, tetapi sebagai keberanian untuk mengakui bahwa kolonialisme juga bisa datang dari dalam.

Papua: Ujian Moral Terakhir

Papua bukan hanya soal politik. Ia adalah cermin yang menatap wajah kita. Jika kita gagal menyelesaikannya dengan keadilan, NKRI akan kehilangan legitimasi moral yang pernah membuatnya dihormati di dunia.

Bung Karno pernah berkata: “Let us build the world anew.”

Pertanyaannya sekarang: apakah kita berani membangun Indonesia yang baru—NKRI yang beradab, yang mempersatukan lewat keadilan—atau kita akan membiarkan sejarah menulis kita sebagai bangsa yang mengkhianati janjinya sendiri?

Karena jika tidak, “NKRI Harga Mati” akan berubah menjadi epitaf di batu nisan nurani kita sendiri.[]

Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT), penikmat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Crack, Wall, Concrete image/Pixabay.com
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan