Mengapa Melayani Membuat Kita Bahagia?
INTIinspira - Kebahagiaan sering kali kita bayangkan sebagai hasil dari pencapaian besar—mendapat gaji impian, meraih gelar tinggi, membeli mobil mewah, atau liburan ke tempat yang jauh. Tapi, ternyata kebahagiaan juga bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari.
Saat kita membantu orang lain, ada kehangatan yang muncul dalam hati. Misalnya, ketika menemani teman yang sedang sedih, membawakan makanan untuk tetangga yang sakit, atau menjadi relawan di kegiatan sosial. Secara fisik, mungkin kita merasa lelah. Tapi anehnya, justru ada rasa puas, tenang, bahkan bahagia yang muncul dari dalam.
Dari fenomena ini, kita bisa bertanya: mengapa pelayanan kepada orang lain justru menghadirkan kebahagiaan bagi diri sendiri?
Jawabannya dapat kita telusuri dari beberapa dimensi:
Saat kita membantu orang lain, ada kehangatan yang muncul dalam hati. Misalnya, ketika menemani teman yang sedang sedih, membawakan makanan untuk tetangga yang sakit, atau menjadi relawan di kegiatan sosial. Secara fisik, mungkin kita merasa lelah. Tapi anehnya, justru ada rasa puas, tenang, bahkan bahagia yang muncul dari dalam.
Dari fenomena ini, kita bisa bertanya: mengapa pelayanan kepada orang lain justru menghadirkan kebahagiaan bagi diri sendiri?
Jawabannya dapat kita telusuri dari beberapa dimensi:
1. Dimensi Psikologis: Merasa Diperlukan dan Bermakna
Secara psikologis, melayani membuat kita merasa dibutuhkan. Kita merasakan bahwa keberadaan kita berarti bagi orang lain. Rasa ini membangun harga diri yang sehat dan membuat hidup terasa lebih bermakna.
Psikolog Sonja Lyubomirsky dari University of California menemukan bahwa orang yang secara rutin melakukan perbuatan baik akan mengalami peningkatan kebahagiaan yang signifikan. Dalam bukunya The How of Happiness (2007), ia menulis: “Membantu orang lain adalah salah satu cara paling efektif dan konsisten untuk meningkatkan kebahagiaan kita sendiri.”
Hal ini sejalan dengan pendapat Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, yang mengatakan: “Orang yang merasa hidupnya bermakna cenderung lebih bahagia dan lebih tahan terhadap stres.”
Psikolog Sonja Lyubomirsky dari University of California menemukan bahwa orang yang secara rutin melakukan perbuatan baik akan mengalami peningkatan kebahagiaan yang signifikan. Dalam bukunya The How of Happiness (2007), ia menulis: “Membantu orang lain adalah salah satu cara paling efektif dan konsisten untuk meningkatkan kebahagiaan kita sendiri.”
Hal ini sejalan dengan pendapat Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, yang mengatakan: “Orang yang merasa hidupnya bermakna cenderung lebih bahagia dan lebih tahan terhadap stres.”
2. Dimensi Biologis: Tubuh Merespons dengan Bahagia
Saat kita melakukan kebaikan, tubuh kita secara alami melepaskan hormon-hormon kebahagiaan seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin. Hormon-hormon ini berperan dalam menimbulkan rasa senang, nyaman, dan terhubung dengan sesama.Para ilmuwan menyebut efek ini sebagai helper’s high—sejenis “kebahagiaan alami” yang muncul setelah berbuat baik. Inilah alasan mengapa tindakan memberi bisa membuat kita merasa lebih ringan dan damai, meski tidak mendapat imbalan apa pun.
Pelayanan memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas, yang membuat kita tidak merasa sendirian dalam menghadapi hidup. Dalam kebersamaan itu, kita menemukan ketenangan.
Dan justru, ketika kita berhenti berpusat pada diri sendiri, kita menemukan kedamaian yang lebih dalam. Kita sadar bahwa hidup bukan hanya tentang “aku”, melainkan juga tentang “kita”. Pelayanan membantu kita menjalani hidup dengan lebih ikhlas dan penuh syukur.
Bagi Jalaluddin Rumi, pelayanan merupakan perwujudan dari cinta kasih. Ia merupakan latihan jiwa. Melalui pelayanan, kita belajar melepaskan diri dari pusat keakuan, menyingkirkan dorongan ingin diakui, dan membiarkan cinta bekerja melalui kita. Pada stase ini, kebaikan bukan lagi soal siapa yang memberi dan siapa yang menerima, tapi tentang penyatuan jiwa dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Kesadaran ini membangun empati, rasa syukur, dan pemahaman yang membuat hidup terasa lebih jujur dan bermakna. Kita menjadi manusia yang lebih utuh, lebih peka, dan lebih terhubung dengan sisi terdalam dari kemanusiaan kita.
3. Dimensi Sosial: Merasa Terhubung dengan Sesama
Di dunia yang semakin individualistis, pelayanan menjadi jembatan yang menyatukan. Saat kita melayani, tembok antara "aku" dan "kamu" runtuh. Kita jadi lebih terbuka, lebih peka, dan merasa lebih terhubung secara emosional.Pelayanan memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas, yang membuat kita tidak merasa sendirian dalam menghadapi hidup. Dalam kebersamaan itu, kita menemukan ketenangan.
4. Dimensi Spiritual: Mengalahkan Ego dan Menemukan Kedamaian
Banyak ajaran spiritual mengajarkan bahwa melayani adalah cara untuk merendahkan diri dan mengikis ego. Kita belajar untuk tidak selalu memikirkan kepentingan pribadi.Dan justru, ketika kita berhenti berpusat pada diri sendiri, kita menemukan kedamaian yang lebih dalam. Kita sadar bahwa hidup bukan hanya tentang “aku”, melainkan juga tentang “kita”. Pelayanan membantu kita menjalani hidup dengan lebih ikhlas dan penuh syukur.
Bagi Jalaluddin Rumi, pelayanan merupakan perwujudan dari cinta kasih. Ia merupakan latihan jiwa. Melalui pelayanan, kita belajar melepaskan diri dari pusat keakuan, menyingkirkan dorongan ingin diakui, dan membiarkan cinta bekerja melalui kita. Pada stase ini, kebaikan bukan lagi soal siapa yang memberi dan siapa yang menerima, tapi tentang penyatuan jiwa dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
5. Dimensi Eksistensial: Menemukan Kemanusiaan dalam Diri Kita
Melalui pelayanan, kita berhadapan langsung dengan penderitaan, harapan, dan kerentanan orang lain. Di saat yang sama, kita juga menyadari bahwa kita pun tidak jauh berbeda. Kita punya luka, ketakutan, dan harapan yang sama.Kesadaran ini membangun empati, rasa syukur, dan pemahaman yang membuat hidup terasa lebih jujur dan bermakna. Kita menjadi manusia yang lebih utuh, lebih peka, dan lebih terhubung dengan sisi terdalam dari kemanusiaan kita.
Kebaikan Sebagai Jalan Hidup
Dalam berbagai tradisi spiritual, pelayanan dianggap sebagai jalan untuk tumbuh secara batin. Melayani bukan hanya soal memberi, tetapi juga soal menjadi. Dalam Islam, misalnya, Nabi Muhammad menyatakan bahwa “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia.” (HR. Ahmad)Hadis ini menunjukkan bahwa nilai sejati manusia terletak pada kebermanfaatannya.[]
Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi:Man in Green and Black Camouflage Jacket and Black Pants Sitting on Concrete Wall/Pexels.com