Mengapa Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Perlu Belajar Filsafat Ilmu? Sebuah Refleksi

INTIinspira - Saya saat ini menempuh semester II di Program Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Pada semester ini, saya mengikuti mata kuliah Filsafat Ilmu. Mata kuliah ini membuka ruang baru dalam cara saya memandang pengetahuan.

Di dalamnya, kami dikenalkan pada aliran-aliran besar filsafat, mulai dari filsafat Yunani Klasik hingga pemikiran filsafat Barat modern. Kami mempelajari Rasionalisme, Empirisme, filsafat kritis Immanuel Kant, pemikiran eksistensialis Friedrich Nietzsche dan lainnya.

Menurut saya. perbedaan mendasar antara René Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant terletak pada pondasi yang mereka anggap sebagai sumber utama pengetahuan.

Descartes menjadikan akal sebagai dasar kebenaran, sehingga ia dikenal sebagai pelopor Rasionalisme. 

Di sisi lain, Hume menekankan pentingnya pengalaman indrawi sebagai sumber pengetahuan yang sahih—menjadikannya tokoh sentral aliran Empirisme. 

Kant kemudian hadir sebagai jembatan antara keduanya. Ia merumuskan pendekatan kritis yang mencoba mensintesiskan peran akal dan pengalaman indrawi dalam proses mengetahui. 

Ketiga tokoh ini, dengan pendekatan yang berbeda-beda, justru saling melengkapi dalam membentuk fondasi ilmu pengetahuan modern yang kita kenal hari ini.

Sementara itu, filsafat eksistensialis memandang hidup manusia sebagai sesuatu yang bebas—namun sarat tanggung jawab. Tidak ada tujuan bawaan saat kita dilahirkan; justru kitalah yang harus mencari dan menciptakan makna hidup itu sendiri. 

Jean-Paul Sartre, misalnya, berpendapat bahwa keberadaan kita datang lebih dulu, lalu melalui pilihan dan tindakan, kita membentuk siapa diri kita sebenarnya. Namun, kebebasan ini bukan tanpa beban. Sebab, ketika kita bebas memilih, kita pun harus siap menanggung segala konsekuensinya, meski kadang terasa menakutkan atau membingungkan.

Bagi para eksistensialis, hidup tidak selalu datang dengan petunjuk arah yang jelas. Dunia bisa terasa hampa, bahkan absurd. Tapi justru di sanalah letak tantangannya. 

Seperti yang dikatakan Albert Camus, meskipun dunia tidak memberi jawaban pasti, kita masih bisa memilih untuk tetap hidup—dengan kesadaran dan keberanian. 

Filsafat eksistensialis tidak menuntut kita menemukan satu kebenaran tunggal, melainkan mendorong kita untuk jujur pada diri sendiri. Ia mengajak kita untuk terus bertanya, terus melangkah, meskipun di tengah kabut ketidakpastian.

Masih banyak kesalahpahaman yang melekat pada filsafat. Filsafat seringkali diidentikan hanya dengan penalaran semata. Barangkali itu disebabkan metode ini lebih populer dibanding gaya filsafat yang lain. Antara refleksi pengalaman hidup, pengalaman empiris, dan berpikir rasional, bisa jadi gaya rasional inilah yang lebih mudah diadopsi dan dimengerti oleh orang-orang yang baru mengenal filsafat.

Akibatnya, filsafat rasionalis menjadi wajah yang paling dominan, seolah-olah mewakili seluruh dunia filsafat. Padahal, filsafat jauh lebih luas, dalam, dan beragam daripada sekadar kerja akal.

Tak sedikit kalangan yang keliru memahami filsafat, sehingga ia dipersepsikan sebagai “ruang” yang menakutkan dan penuh kecurigaan. Salah satu penyebabnya adalah kesalahpahaman terhadap hakikat dasar filsafat itu sendiri.

Sayangnya, citra negatif ini seringkali diperburuk oleh sebagian oknum pembelajar filsafat yang masih bersikap naif. Dengan dalih kebebasan berpikir, mereka kerap melakukan manuver-manuver yang nyeleneh di ruang publik, seolah ingin menunjukkan keunggulan filsafat sebagai cara berpikir yang melawan arus.

Namun, ketika ekspresi semacam ini ditangkap oleh masyarakat awam tanpa pemahaman yang cukup, muncullah kesan bahwa filsafat adalah sesuatu yang aneh, liar, bahkan membahayakan. Inilah kombinasi yang sempurna bagi terbentuknya persepsi keliru yang terus bertahan dan menguat dari waktu ke waktu.

Dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, kami membahas tiga belas tema besar dalam dunia filsafat. Dari sekian banyak topik yang dikaji, salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah filsafat yang berkembang pada masa Pencerahan Eropa (Enlightenment). Proses munculnya gerakan Pencerahan—dari awal yang lambat hingga akhirnya menjadi gelombang besar yang mengubah wajah peradaban Eropa—sangat menggugah bagi saya.

Periode ini menunjukkan banyak hal, salah satunya adalah bagaimana agama, yang seharusnya menjadi sumber kebenaran, justru kerap dijadikan alat pembenaran oleh kekuasaan. 

Para filsuf pada masa itu tampil berani, mencoba membersihkan “noda-noda” yang melekat pada institusi agama melalui refleksi kritis dan keberanian berpikir. Pemikiran mereka menjadi pemantik bagi lahirnya perubahan sosial, bahkan politik. 

Mereka mengingatkan pentingnya kemerdekaan berpikir dan refleksi filosofis yang bebas, yang pada akhirnya melahirkan sebuah era baru dalam sejarah kemanusiaan yakni zaman pencerahan.

Saya sebagai mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir berpandangan, harus ada irisan antara filsafat ilmu dengan tafsir. 

Keyakinan inilah yang mendorong saya untuk menulis sebuah makalah pada mata kuliah Filsafat Ilmu, dengan judul: “Dari Renaisans ke Tafsir Nusantara: Pengaruh Empirisisme Abad Pencerahan terhadap Tafsir Rasional di Dunia Islam dan Indonesia.” Melalui kajian ini, saya mencoba menelusuri bagaimana semangat empirisme yang lahir di era Pencerahan turut memberi warna pada pendekatan rasional dalam penafsiran Al-Qur’an, khususnya di konteks keislaman Nusantara.

Menurut saya, berpikir secara filosofis dapat membantu memperbaiki kualitas pemahaman dan penghayatan saya terhadap ajaran agama yang saya perjuangkan agar tegak dalam diri. Filsafat melatih saya untuk lebih cermat dalam menyingkap sifat-sifat buruk (mazmûmah) yang tersembunyi di dalam batin, sehingga saya bisa lebih waspada dan mengantisipasinya dengan nilai-nilai Islam yang saya yakini.

Filsafat mengajarkan saya untuk menelusuri akar terdalam dari sebuah pemikiran, serta menemukan benih paling dasar dari setiap tindakan. Melalui refleksi atas pemikiran para filsuf, saya menemukan semacam "pisau analisis" yang tajam untuk berkaca pada diri sendiri—agar jujur dalam beragama, bukan sekadar menjalankannya secara formal.

Dengan filsafat pula, saya dapat memahami perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam Islam dengan lebih jernih, melalui pendekatan epistemologis masing-masing mazhab atau aliran. Sebab, seperti halnya pisau yang tajam, jika berada di tangan yang tepat dan digunakan dengan bijak, filsafat dapat membedah praktik keagamaan—baik dalam diri sendiri maupun orang lain—hingga ke lapisan paling dalam dan esensial.

Dalam tingkatan tertentu, sikap kritis yang ditawarkan oleh filsafat sejatinya sejalan dengan semangat ajaran Islam itu sendiri. Namun hal ini berlaku bagi mereka yang menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh dalam memahami agama. 

Sebagian umat Islam memang tidak menempuh jalan kritis ini, tetapi tetap menuju tujuan yang sama melalui jalur yang berbeda—yakni dengan menjalankan agama secara taat dan disiplin berdasarkan syariat yang diwariskan. 

Mereka berpijak pada model keimanan yang lebih sederhana namun tulus, seperti yang Nabi sabdakan tentang “golongan mayoritas yang masuk surga karena keluguannya.” Yakni mereka yang menjalankan agama tanpa banyak pertanyaan, namun dengan kepatuhan yang penuh.

Adapun bagi mereka yang dikaruniai kecakapan akal dan kesempatan untuk mendalami agama secara lebih reflektif, maka sikap kritis justru bisa menjadi jalan untuk memperkuat keyakinan dalam berbagai aspek kehidupan beragama. Selama dijalankan secara objektif dan diarahkan pada pencarian kebenaran yang tulus, sikap kritis itu tidak bertentangan dengan Islam—bahkan merupakan bagian dari anjuran Islam itu sendiri. Sebab hakikat ajaran Islam, senantiasa “menunggu di hadapan sana” untuk ditemukan oleh siapa pun yang mencarinya dengan jujur.

Penulis: Aris Saprudin (Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta)
Foto: Dokumen untuk INTIinspira

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan