Filsafat Kritis Kant: Sintesis Rasionalisme dan Empirisme
INTIinspira - Semester ini kami mempelajari Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Mulyani. Dalam tulisan ini, saya ingin membagikan apa yang saya pahami dari perkuliahan tersebut, khususnya dialektika rasionalisme dan empirisme hingga kemudian mendapatkan sintesa kreatifnya dalam filsafat kritis Immanuel Kant.
Di awal era Modern, para pemikir dan filsuf mulai mengkaji ulang sumber-sumber pengetahuan. Mereka berangkat dari upaya memetakan kembali metode dan pendekatan dalam memperoleh pengetahuan. Apakah pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi atau melalui akal dan logika?
Jika kita lihat latar belakang perdebatan antara Rasionalisme dan Empirisme sekitar abad ke-16 dan 17, filsafat didominasi oleh alam pikiran Skolastik yang dipengaruhi oleh ajaran Gereja.
Ketika itu, pengetahuan dianggap datang dari otoritas teks-teks suci dan ajaran para teolog. Renaissance mulai menggeser itu dengan pemikiran kritis dan penemuan ilmiah.
Pemikiran kritis di era ini melahirkan dua pendekatan berbeda tentang sumber pengetahuan, yaitu Rasionalisme dan Empirisisme.
Perdebatan berawal dari tantangan terhadap alam pikiran skolastik yang menghubungkan ajaran agama dengan filsafat Aristoteles.
Filsuf yang dinobatkan sebagai “bapak modernitas” yang memainkan peran kunci dalam perdebatan ini adalah Rene Descartes (1596). Ia adalah seorang rasionalis, yang memulai langkah refleksi pengetahuannya dengan metode keraguan Radikal.
Demi membangun pengetahuan yang pasti, Ia mengambil langkah meragukan segala sesuatu, termasuk pengalaman indrawi.
Ia kemudian menyimpulkan bahwa pengetahuan sejati itu berasal dari akal atau pikiran. Ia berkata: “cogito ergo sum” (“aku berpikir maka aku ada”).
Aliran rasionalisme ini menyatakan, bahwa akal dan logika adalah sumber utama pengetahuan. Para rasionalis meyakini, bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan atau ide-ide yang dapat diakses melalui refleksi dan pemikiran. Deduksi penalaran logis itu bisa digunakan untuk mendapatkan pengetahuan
Merespon pandangan para rasionalis, kaum empiris seperti Doughnut (1632) dan John Lock berargumen, bahwa manusia adalah Tabula rasa. Manusia pada dasarnya adalah kertas kosong yang kemudian diisi oleh pengalaman.
Kaum empiris menolak gagasan tentang ide bawaan dan menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Kita memahami dunia melalui apa yang kita lihat, dengar, sentuh, cium, dan rasakan melalui indra.
Kaum empiris mengingkari adanya pengetahuan bawaan, karena semua pengetahuan bagi mereka diperoleh melalui pengalaman indrawi. Pengamatan indrawi dan eksperimen adalah sumber utama pengetahuan.
Pengetahuan adalah pengalaman langsung yang didapat melalui observasi dan dapat diuji secara empiris. Kebenaran harus didasarkan pada fakta dan data yang bisa diobservasi.
Apakah semua pengetahuan itu berasal dari pengalaman indrawi? Di sisi lain, apakah akal dan deduksi juga bisa menjadi sumber pengetahuan?
Kaum empiris berargumen, tanpa pengalaman kita tidak memiliki pengetahuan, seperti kita tidak bisa mengetahui apa itu dingin, tanpa pernah merasakan suhu rendah. Dengan pengalaman langsung mencicipi dan mengolah bahan makanan, kita baru mengetahui rasa dan cara memasak yang benar. Kita tidak bisa mengendarai sepeda melalui banyaknya teori yang kita baca tentang bersepeda, sampai kita mencobanya sendiri dan belajar melalui pengalaman jatuh dan bangun.
Sementara para rasionalis berpendapat, bahwa ada pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman, seperti konsep angka atau segitiga yang bisa dipahami melalui pemikiran logis, tanpa melihat contoh-contoh fisiknya. Seorang ahli matematika itu dapat menyelesaikan masalah kompleks tanpa perlu melihat contoh fisiknya.
Mereka menggunakan akal dan logikanya untuk menalar dan membuktikan rumus atau teorema-teorema matematika. Sebelum mengkonstruksi bangunan tertentu, seorang arsitek telah merancang desain dan perhitungan rinci di dalam kepalanya, meskipun bangunannya belum mewujud secara fisik.
Semua pengetahuan ini berasal dari kemampuan akal rasional dan logika, bukan dari pengalaman langsung.
Setelah mempelajari keduanya, saya menyimpulkan baik Empirisisme maupun Rasionalisme menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami realitas, namun dapat saling melengkapi.
Dalam praktek di dunia nyata banyak kenyataan yang menggunakan kombinasi keduanya. Kita tidak perlu jumud hanya melihat kebenaran dari satu sudut pandang saja. Itulah yang diajarkan Immanuel Kant (1724) ketika menyintesiskan kedua aliran epistemologi tersebut.
Ia tidak setuju sepenuhnya dengan dua pandangan tersebut. kedua aliran itu benar tapi juga ada keterbatasannya.
Ia menjelaskan, bagaimana akal manusia bekerja? apa saja yang bisa kita ketahui dari dunia ini? Sederhananya, kita bisa melihat sesuatu tapi tidak bisa tahu sesuatu itu apa adanya. Apa yang kita lihat itu cuma gejala dari sesuatu. Sesuatu itu sendiri luput dari pengetahuan kita.
Misalnya, kita melihat api dan merasakan panasnya. Apa yang terlihat dan terasa itu adalah gambaran dan gejala dari api, bukan api itu sendiri. Kita tidak bisa benar-benar tahu, apa sesungguhnya api itu. Jadi, kita cuma bisa mengetahui gejalanya bukan sesuatu itu secara utuh.
Kant menyebut penampakan dan gejala yang kita tangkap itu, dengan istilah fenomena, sedangkan realitas sesuatu yang luput dari pengetahuan kita, ia sebut noumena. Akal murni kita hanya bisa menangkap fenomena sementara realitas metafisiknya (noumena) tak terjangkau.
Immanuel Kant menyatakan, ruang dan waktu itu bukan sesuatu yang kita ketahui lewat pengalaman indrawi, tapi sudah ada di dalam diri kita sejak lahir. Ruang dan waktu itu sudah menjadi struktur dasar di dalam pikiran dalam diri kita.
Sesuatu yang sudah ada di dalam diri kita sebelum ada pengalaman indrawi untuk memahaminya ini, ia sebut “apriori”.
Immanuel Kant menyusun 12 kategori penilaian, semacam kotak-kotak pikiran yang membantu kita mengorganisir semua informasi yang kita dapat dari dunia luar.
Kategori kuantitas: misalnya seberapa banyak, kategori kualitas: misalnya seberapa bagus, kategori relasi: hubungannya apa?, begitu pun dengan kategori ruang dan waktu. Semua kategori ini membantu kita mengorganisir apa yang kita tahu.
Ketika melihat sesuatu, pikiran kita akan otomatis mengkategorikan atau menilai sesuatu itu. Misalnya, ketika melihat barang tertentu di mall, pikiran kita langsung mengkategorikan itu sebagai barang baru yang bagus, produksinya terbatas, hanya bisa dimiliki oleh “orang-orang kelas atas”. Penilaian otomatis itu terjadi karena dalam diri kita terdapat kategori-kategori tersebut.
Selain itu, Immanuel Kant menawarkan kejeniusannya dalam ranah etika. Ia mengajarkan kita bagaimana berpikir dan berbuat dengan cara yang benar, dengan tidak mengingkari hati nurani kita.
Kant menyatakan, moralitas itu bukan soal apa yang membuat kita nyaman atau apa yang kita sukai, tapi soal apa yang kita wajib lakukan karena dorongan hati nurani kita. Kant menyebut dorongan ini sebagai imperatif kategories.
Misalnya, kita lagi di jalan dan menemukan dompet orang jatuh. Kita mempunyai dua pilihan, antara mengambil dompet itu untuk diri kita atau mengembalikan ke orangnya.
Kant mengatakan, kita harus mengembalikan dompet itu, karena itu adalah hal yang benar, dan itu adalah kewajiban moral. Jika kita mengambil itu untuk diri kita, maka itu menentang Nurani kita sendiri.
Sebagaimana kita tidak ingin mendapat kerugian dari sikap moral orang lain, begitulah selayaknya kita bersikap. Memilih untuk bersikap sesuai hati nurani ini adalah keputusan rasional. Kita perlu patuh pada kehendak yang baik dan bebas, sesuai putusan akal dan hati nurani kita, meski kita tidak dihargai orang lain. Kita harus terbiasa menghargai diri kita sendiri.
Kita punya kebebasan untuk memilih bertindak benar atau salah. Kehendak bebas ini adalah bagian dari keberadaan kita sebagai manusia. Tanpa itu, kita bukan lagi manusia. Kita jadi seperti robot yang tidak bisa berpikir dan memutuskan.
Menurut Kant, kehendak bebas adalah hal apriori yang sudah ada sejak kita lahir. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar bebas mengeluarkan kehendak bebas kita? Kant yakin, keputusan rasional adalah kita harus menggunakan kehendak bebas kita untuk mencapai kebaikan universal bagi semua orang.
Di dunia nyata, banyak sekali sistem yang sepertinya membatasi kehendak bebas kita. Misalnya, seorang guru yang ingin mengajarkan hal baru di luar kurikulum tapi dibatasi oleh aturan yang ada. Seorang bawahan harus patuh kepada atasannya meskipun tidak setuju dan menentang hati nuraninya.
Kant menyeru, kita harus menggunakan kehendak bebas kita untuk bertindak sesuai dengan moralitas, dan bukan membiarkan diri kita tertekan dengan sistem yang tidak adil. Kehendak bebas yang terbelenggu bisa membuat kita terjajah dan tertekan. Ini adalah sebuah kejahatan.
Pemikiran Immanuel Kant tentang kehendak bebas ini bersifat universal, bukan hanya relevan di zamannya saja. Di dunia dengan kehidupan yang penuh dengan sistem dan praktik yang korup serta membelenggu seperti sekarang ini, kita perlu belajar pada komitmen moral yang diajarkan oleh Immanuel Kant.
Immanuel Kant mengingatkan kita agar tidak lupa dengan kebebasan berpikir dan tanggung jawab dalam bermoral dan berpikir kritis tentang apa yang telah kita ketahui, dan bertindak sesuai dengan prinsip moral universal yang bisa diterima semua orang.
Kehendak bebas menurut Immanuel Kant dikendalikan oleh tanggung jawab moral manusia. Melalui moral—yakni seperangkat aturan atau standar perilaku yang dianut oleh individu maupun kelompok—kita dapat membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk dalam konteks kehidupan sosial.
Moralitas sering kali dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut dalam keluarga, masyarakat, serta perkembangan zaman. Ia mencerminkan prinsip-prinsip yang mengatur bagaimana seseorang seharusnya bertindak, bersikap, dan bersosialisasi dengan orang lain di sekitarnya.
Pemikiran Kant tentang moralitas tetap relevan sepanjang zaman, karena aturan moral yang ia ajarkan selaras dengan suara hati nurani manusia. []
Penulis: Mawadah Warohmah (Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta)
Di awal era Modern, para pemikir dan filsuf mulai mengkaji ulang sumber-sumber pengetahuan. Mereka berangkat dari upaya memetakan kembali metode dan pendekatan dalam memperoleh pengetahuan. Apakah pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi atau melalui akal dan logika?
Jika kita lihat latar belakang perdebatan antara Rasionalisme dan Empirisme sekitar abad ke-16 dan 17, filsafat didominasi oleh alam pikiran Skolastik yang dipengaruhi oleh ajaran Gereja.
Ketika itu, pengetahuan dianggap datang dari otoritas teks-teks suci dan ajaran para teolog. Renaissance mulai menggeser itu dengan pemikiran kritis dan penemuan ilmiah.
Pemikiran kritis di era ini melahirkan dua pendekatan berbeda tentang sumber pengetahuan, yaitu Rasionalisme dan Empirisisme.
Perdebatan berawal dari tantangan terhadap alam pikiran skolastik yang menghubungkan ajaran agama dengan filsafat Aristoteles.
Filsuf yang dinobatkan sebagai “bapak modernitas” yang memainkan peran kunci dalam perdebatan ini adalah Rene Descartes (1596). Ia adalah seorang rasionalis, yang memulai langkah refleksi pengetahuannya dengan metode keraguan Radikal.
Demi membangun pengetahuan yang pasti, Ia mengambil langkah meragukan segala sesuatu, termasuk pengalaman indrawi.
Ia kemudian menyimpulkan bahwa pengetahuan sejati itu berasal dari akal atau pikiran. Ia berkata: “cogito ergo sum” (“aku berpikir maka aku ada”).
Aliran rasionalisme ini menyatakan, bahwa akal dan logika adalah sumber utama pengetahuan. Para rasionalis meyakini, bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan atau ide-ide yang dapat diakses melalui refleksi dan pemikiran. Deduksi penalaran logis itu bisa digunakan untuk mendapatkan pengetahuan
Merespon pandangan para rasionalis, kaum empiris seperti Doughnut (1632) dan John Lock berargumen, bahwa manusia adalah Tabula rasa. Manusia pada dasarnya adalah kertas kosong yang kemudian diisi oleh pengalaman.
Kaum empiris menolak gagasan tentang ide bawaan dan menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Kita memahami dunia melalui apa yang kita lihat, dengar, sentuh, cium, dan rasakan melalui indra.
Kaum empiris mengingkari adanya pengetahuan bawaan, karena semua pengetahuan bagi mereka diperoleh melalui pengalaman indrawi. Pengamatan indrawi dan eksperimen adalah sumber utama pengetahuan.
Pengetahuan adalah pengalaman langsung yang didapat melalui observasi dan dapat diuji secara empiris. Kebenaran harus didasarkan pada fakta dan data yang bisa diobservasi.
Apakah semua pengetahuan itu berasal dari pengalaman indrawi? Di sisi lain, apakah akal dan deduksi juga bisa menjadi sumber pengetahuan?
Kaum empiris berargumen, tanpa pengalaman kita tidak memiliki pengetahuan, seperti kita tidak bisa mengetahui apa itu dingin, tanpa pernah merasakan suhu rendah. Dengan pengalaman langsung mencicipi dan mengolah bahan makanan, kita baru mengetahui rasa dan cara memasak yang benar. Kita tidak bisa mengendarai sepeda melalui banyaknya teori yang kita baca tentang bersepeda, sampai kita mencobanya sendiri dan belajar melalui pengalaman jatuh dan bangun.
Sementara para rasionalis berpendapat, bahwa ada pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman, seperti konsep angka atau segitiga yang bisa dipahami melalui pemikiran logis, tanpa melihat contoh-contoh fisiknya. Seorang ahli matematika itu dapat menyelesaikan masalah kompleks tanpa perlu melihat contoh fisiknya.
Mereka menggunakan akal dan logikanya untuk menalar dan membuktikan rumus atau teorema-teorema matematika. Sebelum mengkonstruksi bangunan tertentu, seorang arsitek telah merancang desain dan perhitungan rinci di dalam kepalanya, meskipun bangunannya belum mewujud secara fisik.
Semua pengetahuan ini berasal dari kemampuan akal rasional dan logika, bukan dari pengalaman langsung.
Setelah mempelajari keduanya, saya menyimpulkan baik Empirisisme maupun Rasionalisme menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami realitas, namun dapat saling melengkapi.
Dalam praktek di dunia nyata banyak kenyataan yang menggunakan kombinasi keduanya. Kita tidak perlu jumud hanya melihat kebenaran dari satu sudut pandang saja. Itulah yang diajarkan Immanuel Kant (1724) ketika menyintesiskan kedua aliran epistemologi tersebut.
Ia tidak setuju sepenuhnya dengan dua pandangan tersebut. kedua aliran itu benar tapi juga ada keterbatasannya.
Ia menjelaskan, bagaimana akal manusia bekerja? apa saja yang bisa kita ketahui dari dunia ini? Sederhananya, kita bisa melihat sesuatu tapi tidak bisa tahu sesuatu itu apa adanya. Apa yang kita lihat itu cuma gejala dari sesuatu. Sesuatu itu sendiri luput dari pengetahuan kita.
Misalnya, kita melihat api dan merasakan panasnya. Apa yang terlihat dan terasa itu adalah gambaran dan gejala dari api, bukan api itu sendiri. Kita tidak bisa benar-benar tahu, apa sesungguhnya api itu. Jadi, kita cuma bisa mengetahui gejalanya bukan sesuatu itu secara utuh.
Kant menyebut penampakan dan gejala yang kita tangkap itu, dengan istilah fenomena, sedangkan realitas sesuatu yang luput dari pengetahuan kita, ia sebut noumena. Akal murni kita hanya bisa menangkap fenomena sementara realitas metafisiknya (noumena) tak terjangkau.
Immanuel Kant menyatakan, ruang dan waktu itu bukan sesuatu yang kita ketahui lewat pengalaman indrawi, tapi sudah ada di dalam diri kita sejak lahir. Ruang dan waktu itu sudah menjadi struktur dasar di dalam pikiran dalam diri kita.
Sesuatu yang sudah ada di dalam diri kita sebelum ada pengalaman indrawi untuk memahaminya ini, ia sebut “apriori”.
Immanuel Kant menyusun 12 kategori penilaian, semacam kotak-kotak pikiran yang membantu kita mengorganisir semua informasi yang kita dapat dari dunia luar.
Kategori kuantitas: misalnya seberapa banyak, kategori kualitas: misalnya seberapa bagus, kategori relasi: hubungannya apa?, begitu pun dengan kategori ruang dan waktu. Semua kategori ini membantu kita mengorganisir apa yang kita tahu.
Ketika melihat sesuatu, pikiran kita akan otomatis mengkategorikan atau menilai sesuatu itu. Misalnya, ketika melihat barang tertentu di mall, pikiran kita langsung mengkategorikan itu sebagai barang baru yang bagus, produksinya terbatas, hanya bisa dimiliki oleh “orang-orang kelas atas”. Penilaian otomatis itu terjadi karena dalam diri kita terdapat kategori-kategori tersebut.
Selain itu, Immanuel Kant menawarkan kejeniusannya dalam ranah etika. Ia mengajarkan kita bagaimana berpikir dan berbuat dengan cara yang benar, dengan tidak mengingkari hati nurani kita.
Kant menyatakan, moralitas itu bukan soal apa yang membuat kita nyaman atau apa yang kita sukai, tapi soal apa yang kita wajib lakukan karena dorongan hati nurani kita. Kant menyebut dorongan ini sebagai imperatif kategories.
Misalnya, kita lagi di jalan dan menemukan dompet orang jatuh. Kita mempunyai dua pilihan, antara mengambil dompet itu untuk diri kita atau mengembalikan ke orangnya.
Kant mengatakan, kita harus mengembalikan dompet itu, karena itu adalah hal yang benar, dan itu adalah kewajiban moral. Jika kita mengambil itu untuk diri kita, maka itu menentang Nurani kita sendiri.
Sebagaimana kita tidak ingin mendapat kerugian dari sikap moral orang lain, begitulah selayaknya kita bersikap. Memilih untuk bersikap sesuai hati nurani ini adalah keputusan rasional. Kita perlu patuh pada kehendak yang baik dan bebas, sesuai putusan akal dan hati nurani kita, meski kita tidak dihargai orang lain. Kita harus terbiasa menghargai diri kita sendiri.
Kita punya kebebasan untuk memilih bertindak benar atau salah. Kehendak bebas ini adalah bagian dari keberadaan kita sebagai manusia. Tanpa itu, kita bukan lagi manusia. Kita jadi seperti robot yang tidak bisa berpikir dan memutuskan.
Menurut Kant, kehendak bebas adalah hal apriori yang sudah ada sejak kita lahir. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar bebas mengeluarkan kehendak bebas kita? Kant yakin, keputusan rasional adalah kita harus menggunakan kehendak bebas kita untuk mencapai kebaikan universal bagi semua orang.
Di dunia nyata, banyak sekali sistem yang sepertinya membatasi kehendak bebas kita. Misalnya, seorang guru yang ingin mengajarkan hal baru di luar kurikulum tapi dibatasi oleh aturan yang ada. Seorang bawahan harus patuh kepada atasannya meskipun tidak setuju dan menentang hati nuraninya.
Kant menyeru, kita harus menggunakan kehendak bebas kita untuk bertindak sesuai dengan moralitas, dan bukan membiarkan diri kita tertekan dengan sistem yang tidak adil. Kehendak bebas yang terbelenggu bisa membuat kita terjajah dan tertekan. Ini adalah sebuah kejahatan.
Pemikiran Immanuel Kant tentang kehendak bebas ini bersifat universal, bukan hanya relevan di zamannya saja. Di dunia dengan kehidupan yang penuh dengan sistem dan praktik yang korup serta membelenggu seperti sekarang ini, kita perlu belajar pada komitmen moral yang diajarkan oleh Immanuel Kant.
Immanuel Kant mengingatkan kita agar tidak lupa dengan kebebasan berpikir dan tanggung jawab dalam bermoral dan berpikir kritis tentang apa yang telah kita ketahui, dan bertindak sesuai dengan prinsip moral universal yang bisa diterima semua orang.
Kehendak bebas menurut Immanuel Kant dikendalikan oleh tanggung jawab moral manusia. Melalui moral—yakni seperangkat aturan atau standar perilaku yang dianut oleh individu maupun kelompok—kita dapat membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk dalam konteks kehidupan sosial.
Moralitas sering kali dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut dalam keluarga, masyarakat, serta perkembangan zaman. Ia mencerminkan prinsip-prinsip yang mengatur bagaimana seseorang seharusnya bertindak, bersikap, dan bersosialisasi dengan orang lain di sekitarnya.
Pemikiran Kant tentang moralitas tetap relevan sepanjang zaman, karena aturan moral yang ia ajarkan selaras dengan suara hati nurani manusia. []
Penulis: Mawadah Warohmah (Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta)
Foto: Dokumen untuk INTIinspira