Jalan Tengah Indonesia: Diplomasi di Antara Dua Kutub Dunia
INTIinspira - Dalam rentang waktu tidak sampai 30 hari, mulai dari minggu kedua Juni di Saint Petersburg hingga pertengahan Juli di Paris, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto tampil dalam dua momentum penting dunia: Forum Ekonomi Internasional Saint Petersburg (SPIEF) dan perayaan Bastille Day.
Di satu sisi, ia menghadiri Forum Ekonomi Internasional di Rusia—jantung poros Eurasia. Di sisi lain, ia menjadi tamu kehormatan dalam perayaan Bastille Day—ikon dari warisan republik modern di Barat.
Dua kota, dua kutub dunia, dua simbol kekuatan global yang saat ini saling berseberangan dalam arsitektur dunia multipolar.
Lebih dari sekadar safari diplomatik, perjalanan Prabowo adalah ekspresi dari posisi strategis Indonesia yang kembali menegaskan prinsip bebas aktif dalam bentuk yang lebih adaptif dan relevan dengan konteks zaman. Indonesia berdiri di posisi aktif menjembatani perubahan dunia.
Ketika Prabowo hadir di acara tersebut, ia membawa serta simbol bahwa Indonesia adalah bagian dari tradisi republik global. Kita adalah bangsa yang berdiri sendiri tanpa mahkota, berdasar pada kehendak rakyat, sebagaimana dicita-citakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.
Namun, menjadi republik hari ini tidak lagi cukup hanya dengan meniru sistem Barat. Dunia telah berubah. Republik harus menemukan bentuknya sendiri di tengah pergeseran tatanan global.
Di tengah sanksi dan tekanan geopolitik dari blok Atlantik, Rusia justru memperkuat posisinya sebagai pusat dari kebangkitan kekuatan non-Barat.
Di sini, poros baru sedang dibangun—berbasis pada kerja sama multilateral yang bebas dari dominasi dolar, keterhubungan infrastruktur, dan penegasan identitas nasional.
SPIEF 2025 mempertemukan tokoh-tokoh dari Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Eurasia. Indonesia, sebagai kekuatan regional dan republik demokratis terbesar ketiga di dunia, hadir bukan sebagai pengamat, tapi sebagai calon aktor utama dalam tatanan multipolar yang sedang dirintis.
Secara simbolik, urutan kunjungan—dari timur ke barat—menggambarkan cara pandang baru yang lebih selaras dengan realitas geopolitik kekinian: dunia tidak lagi dibaca dari lensa Washington atau Brussels saja, tetapi juga dari Moskow, Beijing, Riyadh, dan tentu saja, Jakarta.
Namun kini, kekuatan dunia tidak lagi linier. Selain kekuatan militer, muncul dimensi baru berupa kekuatan digital, teknologi hijau, energi alternatif, dan solidaritas global Selatan-Selatan.
Indonesia sebagai republik tidak bisa hanya menjadi penonton dari transisi ini. Bebas aktif harus diartikulasikan sebagai keaktifan dalam membentuk sistem dunia yang lebih setara, inklusif, dan berbasis nilai keadilan.
Republik di era multipolar bukanlah imitasi dari model Barat. Ia adalah bentuk baru dari kedaulatan politik dan budaya. Negara bisa demokratis tanpa kehilangan akar budaya dan religiusitas. Bisa menjunjung hukum tanpa harus membuang jati dirinya. Inilah tantangan dan peluang bagi Indonesia: menjadi model republik yang tidak hanya merdeka secara politik, tetapi juga berdaulat dalam peradaban.
Di tengah ketegangan global—perang di Ukraina, krisis Taiwan, perubahan iklim, dan konflik blok dagang—Indonesia memainkan peran sebagai bridge nation, penghubung antarperadaban yang mampu bicara kepada semua pihak tanpa kehilangan prinsipnya.
Eurasia menawarkan peluang besar: kerja sama infrastruktur, pangan, energi, dan mata uang alternatif.
Di sisi lain, Eropa tetap penting sebagai sumber inovasi teknologi, kemitraan pendidikan, dan nilai-nilai demokrasi. Keduanya bukan untuk dipilih, tetapi untuk dijadikan mitra.
Inilah esensi politik luar negeri Indonesia yang modern: tidak memilih kutub, tetapi membangun jati diri yang merdeka dan bermartabat.
Jejak Prabowo dari Petersburg ke Paris menunjukkan bahwa Indonesia ingin menegaskan kembali bahwa menjadi republik di dunia multipolar berarti tidak harus menjadi barat, tidak juga tenggelam ke timur, tetapi berdiri tegak di tengah dunia—berdaulat, terbuka, dan percaya diri.
Karena hanya republik yang berani menentukan jalannya sendiri, yang akan tetap kokoh dalam dunia yang terus berubah.
Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya membaca soal kunjungan presiden ke Rusia dan Prancis? Apa hubungannya dengan hidup kita sehari-hari yang penuh tagihan, pekerjaan, atau urusan dapur?
Pertanyaan itu wajar. Tapi justru di situlah letak pentingnya.
Karena arah yang diambil oleh pemimpin kita—ke mana ia pergi, dengan siapa ia berbicara—itu semua ikut menentukan jalan bangsa ini. Dan jalan bangsa bukan sesuatu yang jauh di awang-awang. Ia menyentuh harga sembako, akses pendidikan, lapangan kerja, hingga bagaimana anak-anak kita akan tumbuh dan hidup di dunia yang sedang berubah cepat ini.
Tulisan ini bukan untuk mengagungkan siapa-siapa. Tapi untuk mengajak kita melihat bahwa Indonesia sedang mencari bentuknya sendiri di tengah dunia yang makin rumit. Kita tidak harus jadi Barat, tidak juga larut ke Timur. Kita bisa berdiri di tengah—dengan kepala tegak—kalau kita tahu siapa diri kita.
Sebagai rakyat biasa, kita memang tidak duduk di meja perundingan. Tapi kita ada di ruang yang lebih penting yakni ruang kesadaran. Bagaimana cara kita berpikir, memilih, bicara—itu semua membentuk arah negara ini, perlahan tapi nyata.
Menjadi republik lebih dari sekadar sistem pemerintahan, ia juga soal cara hidup, berani menjadi diri sendiri, saling menghargai, dan percaya bahwa masa depan bisa kita bentuk bersama.
Dan untuk itu, memahami ke mana arah republik ini melangkah—itu bukan hal kecil. Itu bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga yang tidak cuma ikut hidup di negeri ini, tapi juga ikut menjaganya.[]
Di satu sisi, ia menghadiri Forum Ekonomi Internasional di Rusia—jantung poros Eurasia. Di sisi lain, ia menjadi tamu kehormatan dalam perayaan Bastille Day—ikon dari warisan republik modern di Barat.
Dua kota, dua kutub dunia, dua simbol kekuatan global yang saat ini saling berseberangan dalam arsitektur dunia multipolar.
Lebih dari sekadar safari diplomatik, perjalanan Prabowo adalah ekspresi dari posisi strategis Indonesia yang kembali menegaskan prinsip bebas aktif dalam bentuk yang lebih adaptif dan relevan dengan konteks zaman. Indonesia berdiri di posisi aktif menjembatani perubahan dunia.
Mengenang Akar Republik dari Paris
Bastille Day adalah peringatan terhadap jatuhnya Bastille pada 14 Juli 1789, simbol awal dari Revolusi Prancis yang menggulingkan monarki absolut dan melahirkan gagasan republik modern. Dalam semangat liberté, égalité, fraternité, dunia diperkenalkan pada ide bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan, bukan raja atau keturunan bangsawan.Ketika Prabowo hadir di acara tersebut, ia membawa serta simbol bahwa Indonesia adalah bagian dari tradisi republik global. Kita adalah bangsa yang berdiri sendiri tanpa mahkota, berdasar pada kehendak rakyat, sebagaimana dicita-citakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.
Namun, menjadi republik hari ini tidak lagi cukup hanya dengan meniru sistem Barat. Dunia telah berubah. Republik harus menemukan bentuknya sendiri di tengah pergeseran tatanan global.
Menyambut Poros Timur dari Saint Petersburg
Dua Minggu sebelum ke Paris, Prabowo terlebih dahulu mengunjungi Saint Petersburg untuk menghadiri Forum Ekonomi Internasional Rusia (SPIEF).Di tengah sanksi dan tekanan geopolitik dari blok Atlantik, Rusia justru memperkuat posisinya sebagai pusat dari kebangkitan kekuatan non-Barat.
Di sini, poros baru sedang dibangun—berbasis pada kerja sama multilateral yang bebas dari dominasi dolar, keterhubungan infrastruktur, dan penegasan identitas nasional.
SPIEF 2025 mempertemukan tokoh-tokoh dari Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Eurasia. Indonesia, sebagai kekuatan regional dan republik demokratis terbesar ketiga di dunia, hadir bukan sebagai pengamat, tapi sebagai calon aktor utama dalam tatanan multipolar yang sedang dirintis.
Secara simbolik, urutan kunjungan—dari timur ke barat—menggambarkan cara pandang baru yang lebih selaras dengan realitas geopolitik kekinian: dunia tidak lagi dibaca dari lensa Washington atau Brussels saja, tetapi juga dari Moskow, Beijing, Riyadh, dan tentu saja, Jakarta.
Republik dalam Dunia Multipolar
Di era Perang Dingin, dunia hanya mengenal dua kutub besar, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pilihannya biner—pro atau kontra.Namun kini, kekuatan dunia tidak lagi linier. Selain kekuatan militer, muncul dimensi baru berupa kekuatan digital, teknologi hijau, energi alternatif, dan solidaritas global Selatan-Selatan.
Indonesia sebagai republik tidak bisa hanya menjadi penonton dari transisi ini. Bebas aktif harus diartikulasikan sebagai keaktifan dalam membentuk sistem dunia yang lebih setara, inklusif, dan berbasis nilai keadilan.
Republik di era multipolar bukanlah imitasi dari model Barat. Ia adalah bentuk baru dari kedaulatan politik dan budaya. Negara bisa demokratis tanpa kehilangan akar budaya dan religiusitas. Bisa menjunjung hukum tanpa harus membuang jati dirinya. Inilah tantangan dan peluang bagi Indonesia: menjadi model republik yang tidak hanya merdeka secara politik, tetapi juga berdaulat dalam peradaban.
Diplomasi Simbolik, Politik Substansial
Kunjungan Prabowo ke Saint Petersburg dan Paris harus dibaca bukan sebagai langkah netral, tapi sebagai langkah strategis yang berani.Di tengah ketegangan global—perang di Ukraina, krisis Taiwan, perubahan iklim, dan konflik blok dagang—Indonesia memainkan peran sebagai bridge nation, penghubung antarperadaban yang mampu bicara kepada semua pihak tanpa kehilangan prinsipnya.
Eurasia menawarkan peluang besar: kerja sama infrastruktur, pangan, energi, dan mata uang alternatif.
Di sisi lain, Eropa tetap penting sebagai sumber inovasi teknologi, kemitraan pendidikan, dan nilai-nilai demokrasi. Keduanya bukan untuk dipilih, tetapi untuk dijadikan mitra.
Inilah esensi politik luar negeri Indonesia yang modern: tidak memilih kutub, tetapi membangun jati diri yang merdeka dan bermartabat.
Jalan Republik Indonesia
Indonesia hari ini tidak sedang mencari "posisi netral", tapi sedang membangun posisi strategis yang otentik—berbasis sejarah kolonialisme dan perjuangan rakyat, serta nilai-nilai gotong royong, keadilan sosial, dan kedaulatan.Jejak Prabowo dari Petersburg ke Paris menunjukkan bahwa Indonesia ingin menegaskan kembali bahwa menjadi republik di dunia multipolar berarti tidak harus menjadi barat, tidak juga tenggelam ke timur, tetapi berdiri tegak di tengah dunia—berdaulat, terbuka, dan percaya diri.
Karena hanya republik yang berani menentukan jalannya sendiri, yang akan tetap kokoh dalam dunia yang terus berubah.
Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya membaca soal kunjungan presiden ke Rusia dan Prancis? Apa hubungannya dengan hidup kita sehari-hari yang penuh tagihan, pekerjaan, atau urusan dapur?
Pertanyaan itu wajar. Tapi justru di situlah letak pentingnya.
Karena arah yang diambil oleh pemimpin kita—ke mana ia pergi, dengan siapa ia berbicara—itu semua ikut menentukan jalan bangsa ini. Dan jalan bangsa bukan sesuatu yang jauh di awang-awang. Ia menyentuh harga sembako, akses pendidikan, lapangan kerja, hingga bagaimana anak-anak kita akan tumbuh dan hidup di dunia yang sedang berubah cepat ini.
Tulisan ini bukan untuk mengagungkan siapa-siapa. Tapi untuk mengajak kita melihat bahwa Indonesia sedang mencari bentuknya sendiri di tengah dunia yang makin rumit. Kita tidak harus jadi Barat, tidak juga larut ke Timur. Kita bisa berdiri di tengah—dengan kepala tegak—kalau kita tahu siapa diri kita.
Sebagai rakyat biasa, kita memang tidak duduk di meja perundingan. Tapi kita ada di ruang yang lebih penting yakni ruang kesadaran. Bagaimana cara kita berpikir, memilih, bicara—itu semua membentuk arah negara ini, perlahan tapi nyata.
Menjadi republik lebih dari sekadar sistem pemerintahan, ia juga soal cara hidup, berani menjadi diri sendiri, saling menghargai, dan percaya bahwa masa depan bisa kita bentuk bersama.
Dan untuk itu, memahami ke mana arah republik ini melangkah—itu bukan hal kecil. Itu bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga yang tidak cuma ikut hidup di negeri ini, tapi juga ikut menjaganya.[]
Oleh: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT), penikmat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Geopolitics, Chess, Map royalty illustration/Pixabay.com
Ilustrasi: Geopolitics, Chess, Map royalty illustration/Pixabay.com