Nak, Kamu Hanya Tulang dan Bulu

Gambar sketsa hitam-putih dermaga kayu yang menjorok ke laut dengan ombak berlapis di bawahnya dan seekor burung camar terbang tinggi di langit, menyimbolkan kebebasan dan pencarian makna hidup di luar kebiasaan kawanan.
INTIinspira - Ini kisah tentang seekor camar. Camar yang panggilan jiwanya belajar terbang. Kecenderungan yang oleh kelompoknya dianggap sebagai “dosa”.

Ini kisah tentang seekor camar. Camar yang terusir bukan karena melakukan kejahatan, tapi karena tak sanggup mengikuti irama kawanan.

Kisah ini kusadur dari fabel Jonathan Livingston Seagull karya Richard Bach—tentang seekor camar muda yang lebih tertarik pada terbang daripada sekadar mencari makan.

Di tengah kawanan yang hidup dari kebiasaan dan takut mencoba hal baru, Jonathan memilih jalan berbeda. 

Jalan yang tak pernah dibayangkan oleh kaumnya—jalan yang ingin menjawab sejauh apa seekor camar bisa terbang, alih-alih sekadar tahu cara mendapatkan makan.

Syahdan, demikianlah kisahnya:

Kebanyakan burung camar tidak mau repot-repot belajar terbang. Bagi mereka terbang hanyalah untuk bergerak dari pantai menuju makanan dan kembali lagi setelahnya. Bagi kawanan camar yang terpenting bukan terbang tapi makan. 

Namun, bagi camar yang satu ini, bukan makan yang penting, tapi terbang. Lebih dari segalanya, Jonathan Livingston Seagull senang terbang.

Kenapa, Jon, kenapa? Tanya ibunya. Mengapa kamu tidak bisa terbang rendah, mengapa kamu tidak makan? Nak, kamu hanya tulang dan bulu!

Aku tidak keberatan menjadi tulang dan bulu, Bu. Aku hanya ingin tahu apa yang bisa kulakukan di udara dan apa yang tidak bisa kulakukan, itu saja. Aku hanya ingin tahu.

Lihat di sini Jonathan, ucap ayahnya. Musim dingin tidak lama lagi. Perahu akan sedikit, ikan-ikan di permukaan akan berenang jauh ke dalam. 

Jika kamu harus belajar, maka belajarlah tentang makanan, dan bagaimana cara mendapatkannya. 

Belajar terbang itu bagus, tapi kamu tak bisa makan sambil meluncur. Jangan lupa bahwa alasan kamu terbang adalah untuk makan.

Jonathan mengangguk patuh.

Selama beberapa hari berikutnya, ia mencoba bersikap seperti burung camar lainnya.

Ia benar-benar berusaha “normal”. Melengking dan berkelahi dengan kawanan di sekitar dermaga dan perahu nelayan, menyelam di atas sisa-sisa ikan dan roti. Tapi semua usaha itu gagal, Jonathan tidak bisa menjadi camar yang “normal”.

Semuanya sia-sia, batinnya. Jonathan sengaja menjatuhkan teri yang diperolehnya dengan susah payah kepada camar tua lapar yang mengejarnya. 

Dia terpikir, harusnya bisa saja waktu se lama ini kugunakan untuk belajar terbang. Banyak sekali yang harus dipelajari!

Tidak lama kemudian, Jonathan si Camar kembali terbang sendirian, jauh di lautan, lapar, bahagia, belajar. Dia terus belajar, sampai pada satu titik, dia hampir mati terhempas ombak.

Sampai malam, tiba-tiba dia mendengar suara dalam dirinya “aku seekor camar. Terbatas oleh sifat bawaan. Jika aku ditakdirkan untuk terbang cepat, tentu aku memiliki sayap layaknya elang. 
Namun, aku camar dan bukan elang. Aku harus melupakan kebodohan ini. Ayahku benar. Aku harus pulang ke kawanan dan merasa puas dengan keadaanku, sebagai camar yang terbatas.”

Dalam kegelapan itu, Jonathan menatap bulan dan bintang-bintang. Lampu-lampu berkelap-kelip di atas air. Batinnya bergemuruh, camar tidak pernah terbang dalam kegelapan, kalau aku memang ditakdirkan terbang dalam gelap, tentu aku akan memiliki penglihatan burung hantu.

Tapi tiba-tiba, dalam rasa sakit itu, Jonathan terpikir “sayap pendek elang, iya elang punya sayap pendek". Itu dia. 

Betapa bodoh aku selama ini! Yang aku butuhkan adalah sebuah sayap kecil yang mungil, aku harus melipat sebagian besar sayapku dan terbang dengan ujungnya saja! Sayap pendek.

Jonathan kembali mendaki dua ribu kaki di atas laut, tanpa berpikir tentang kegagalan dan kematian, dia merapatkan sayap depan ke tubuhnya, hanya menyisakan ujung sayap yang menjulur ke arah angin, dan jatuh menukik vertikal.

Dia menukik begitu cepat, tujuh puluh mil per jam, sembilan puluh, seratus dua puluh, dan lebih cepat lagi. Dia menyelam ke laut lalu melesat kembali ke atas bagaikan bola meriam abu-abu di bawah bulan.

Jonathan bersuka cita. Sumpah sebelumnya telah terlupa, dan tidak merasa bersalah karena melanggar janji yang telah dibuatnya sendiri. Menurutnya, siapa yang telah menyentuh kesempurnaan dalam pembelajaran, tak membutuhkan janji semacam itu.

Jonathan masih hidup, gemetar karena gembira, bangga karena rasa takutnya telah terkendali. 

Dia mulai melesat di ketinggian seribu kaki, ujung sayapnya berdentum dan hilang dalam angin raksasa, Jonathan menembaki tepat di tengah-tengah kawanan burung camar.

Pikirannya adalah kemenangan. Sebuah terobosan baru dan momen tunggal terbesar dalam sejarah kawanan burung camar. 

Dia berputar-putar untuk mendarat, Jonathan berpikir bahwa ini adalah sebuah terobosan dan kawanan akan bersorak dengan gembira.

Tapi, ternyata burung-burung camar itu bergerombolan datang ke pertemuan dewan.

“Jonathan Livingston Seagull, berdiri di tengah!” kata Tetua terdengar dengan nada tinggi. “Berdirilah di tengah-tengah karena malu di hadapan teman-teman camarmu!”

Rasanya seperti dipukul dengan papan. 

Lututnya lemas, bulu-bulunya mengendur, ada suara gemuruh di telinganya. Berpusat pada rasa malu? Mustahil, ini sebuah terobosan, mereka salah, mereka tidak mengerti!

“Karena kecerobohanmu yang tidak bertanggungjawab, melanggar martabat dan tradisi keluarga Camar … suatu hari nanti, Jonathan Livingston Seagull, kamu akan belajar bahwa sikap tidak bertanggungjawab tidak akan terbayar. Hidup adalah sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dapat diketahui, kecuali bahwa kita ditempatkan di dunia ini untuk makan, untuk tetap hidup selama mungkin.”

"Tidak bertanggung jawab? Saudara-saudaraku!" teriak Jonathan. 

"Siapakah yang lebih bertanggung jawab daripada burung camar yang menemukan dan mengikuti sebuah makna, sebuah tujuan hidup yang lebih tinggi? Selama seribu tahun kita telah berjuang mengejar kepala ikan, tetapi sekarang kita memiliki alasan untuk hidup, untuk belajar, untuk menemukan, untuk bebas! Beri saya satu kesempatan, biar saya tunjukkan apa yang telah saya temukan..."

Namun, kawanan itu mungkin telah menjadi batu, mereka menutup telinga dan berpaling darinya. Persaudaraan telah hancur.

Jonathan, kini terusir. Dia menghabiskan sisa-sisa harinya sendirian. Tapi kesedihannya bukan karena itu, melainkan karena burung-burung camar lain menolak percaya pada kemulian terbang, menolak untuk membuka mata dan melihat.

Apa yang dulu Jonathan harapkan untuk kawanannya, kini ia dapatkan untuk dirinya sendiri. Dia belajar terbang, dan tidak menyesal dengan harga yang harus ia bayar. 

Jonathan menemukan bahwa kebosanan, ketakutan, dan kemarahan adalah alasan mengapa hidup burung camar sangat singkat, dan dengan hilangnya hal-hal tersebut dari pikirannya, ia menjalani hidup yang sangat baik.[]

* Bersambung


Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Pier, Sea, Beach/Pixabay.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan