Bayang-Bayang Aliansi Timur dan Dunia yang Retak

INTIinspira - Pertemuan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, baru-baru ini bukanlah sekadar rutinitas diplomatik.

Di balik bahasa halus pernyataan resmi—tentang "pesan pribadi dari Presiden Putin" dan "persiapan kunjungan kenegaraan" tersimpan dinamika geopolitik yang semakin menggeliat tajam.

Dunia sedang berputar cepat menuju kutub-kutub baru kekuasaan, dan setiap gerakan Lavrov maupun Xi adalah sinyal bahwa kekuatan Eurasia tengah mengonsolidasikan diri menghadapi hegemoni Barat yang semakin rapuh namun agresif.

Sementara itu, dari pihak Amerika Serikat dan NATO, muncul narasi kontras. Duta Besar AS untuk NATO, Matthew Whitaker, menyatakan bahwa “kami telah memberikan Putin kesempatan untuk damai.”

Kalimat ini terdengar lebih seperti propaganda ketimbang itikad tulus untuk mengakhiri perang. Apalagi jika disandingkan dengan laporan di lapangan: eskalasi serangan drone terhadap wilayah Rusia, serangan balik Ukraina di Sumy dan Kharkiv, serta serangan udara intensif terhadap wilayah industri di Yelets, Lipetsk, dan Voronezh.

Ini bukan upaya damai, ini adalah babak baru dalam perang total yang dikendalikan dari jauh oleh pusat kekuatan Barat.

Selama lebih dari dua tahun, perang Ukraina telah menjadi proxy terbesar dalam sejarah pasca-Perang Dingin.

Barat menggunakan Ukraina bukan hanya untuk “melawan agresi Rusia,” tetapi juga untuk mencegah terbentuknya tatanan dunia baru yang tidak berpusat pada Washington dan Brussel.

Inilah inti dari konflik yang tak kunjung usai: pertarungan antara dunia unipolar yang sekarat dan dunia multipolar yang tengah lahir.

Dalam konteks ini, hubungan Rusia–Tiongkok menjadi semakin vital. Jika dalam Perang Dingin Tiongkok adalah pemain bebas yang kadang netral, kini ia menjadi mitra sejati dalam membangun arsitektur global baru.

Kunjungan Lavrov ke Beijing tidak hanya menyampaikan undangan atau nota diplomatik, melainkan juga menunjukkan bahwa koordinasi strategis antara dua kekuatan besar Eurasia tengah menyatu secara sistemik. Ini bukan hanya aliansi politik, tetapi juga persekutuan peradaban.

Dari sisi militer, laporan terbaru dari medan tempur menunjukkan bahwa Rusia mulai mengubah strategi. Dari pertahanan garis depan menjadi ofensif penuh, seperti yang terlihat di Petrovka, Mykolaivka, hingga Plavni.

Wilayah-wilayah penting yang selama ini menjadi benteng Ukraina mulai runtuh satu per satu. Bahkan laporan tentang pengibaran bendera Rusia di wilayah-wilayah perbatasan menunjukkan bahwa perang kini memasuki fase psikologis baru: pembentukan narasi kemenangan.

Yang menarik, serangan Ukraina pun masih terjadi—bukan hanya ke wilayah Donbas atau Krimea, tapi juga ke wilayah dalam Rusia, bahkan menyerang anak-anak dan warga sipil dengan UAV. Barat bungkam.

Tak ada kecaman, tak ada tekanan. Di sinilah standar ganda terlihat nyata. Ketika Rusia menyerang militer Ukraina, mereka disebut “penjahat perang.” Tapi ketika Ukraina menyerang desa-desa perbatasan Rusia, mereka disebut “pahlawan kebebasan.” Retorika ini sudah basi.

Bagaimana dengan Tiongkok? Xi Jinping tahu betul bahwa nasib negaranya terikat erat dengan hasil perang di Ukraina. Jika Rusia runtuh, maka giliran Tiongkok yang akan dikepung. Taiwan akan menjadi Ukraina berikutnya.

Inilah sebabnya mengapa Tiongkok tetap berhati-hati tapi tidak netral. Ia tak terlibat langsung, namun mendukung Rusia dalam logistik, ekonomi, dan narasi global. Dan ini cukup untuk mengubah keseimbangan.

Di tengah semua ini, dunia Islam dan negara-negara berkembang seperti Indonesia berada dalam posisi yang krusial.

Apakah kita akan terus menjadi pasar senjata, sumber bahan mentah, dan wilayah pengaruh yang diperebutkan? Atau kita berani menyuarakan tatanan dunia yang lebih adil, seimbang, dan menghargai kedaulatan bangsa lain?

Indonesia tidak harus memilih antara Rusia dan Barat. Tapi Indonesia harus memilih prinsip: bahwa dunia tidak bisa dikuasai oleh satu blok kekuatan yang memaksakan kehendaknya atas nama demokrasi dan HAM, tapi menutup mata terhadap penjajahan modern dan kekerasan imperial.

Bahwa dunia multipolar bukan ancaman, melainkan peluang untuk menata ulang dunia yang lebih adil dan berimbang.

Dari Lavrov dan Xi Jinping, kita belajar satu hal penting: bahwa diplomasi tidak hanya soal protokol dan jamuan makan malam. Ia bisa menjadi alat perjuangan peradaban, jika digunakan dengan tekad dan visi yang jelas.

Kini dunia sedang menentukan arah. Apakah kita hanya menjadi penonton, atau berani menjadi pemain sejarah?[]

Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)/Peminat sejarah dan geopolitik) 
Ilustrasi: Vintage Globe Showing Asia and Europe Continents/Pexels.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan