Belajar Filsafat, Belajar Menjadi Manusia : Sebuah Refleksi Stoic

INTIinspira - Pada semester ini, saya berkesempatan mengikuti mata kuliah Filsafat Ilmu. Awalnya, mata kuliah ini terasa begitu rumit bagi saya yang baru pertama kali belajar dan mengenal dunia filsafat. 

Dengan segala macam isu yang pernah saya dengar tentang filsafat, saya mencoba memahami perlahan makna dan pelajaran yang tersimpan di balik disiplin ilmu ini.

Sejak awal pembelajaran, saya langsung disuguhi pesan-pesan luar biasa bahwa seorang filsuf harus bersikap jujur dan kritis terhadap segala sesuatu. 

Kejujuran ini, terutama, harus datang dari diri sendiri. Kalimat tersebut mengingatkan saya pada nilai-nilai yang diajarkan sejak kecil: jujur, sabar, ikhlas, tawakal, dan sebagainya.

Dari kalimat sederhana itu, saya mulai menyadari bahwa filsafat bukanlah ilmu yang liar, menakutkan, dan rumit seperti yang saya bayangkan sebelumnya. 

Justru sebaliknya, filsafat terasa relevan sebagai penguat dan pengikat nilai-nilai agama dalam menjalani kehidupan.

Dalam tiga belas pertemuan mata kuliah ini, saya diajak mengenal berbagai aliran pemikiran besar, mulai dari Rasionalisme ala RenĂ© Descartes yang sangat mengagungkan akal. Baginya, segala sesuatu harus didasarkan pada pemikiran yang logis dan masuk akal. 

Pandangan ini berbeda dengan Empirisme yang dikembangkan David Hume. Hume menolak bahwa pengetahuan hanya berasal dari akal; menurutnya, semua pengetahuan harus berakar dari pengalaman langsung yang diperoleh melalui pancaindra.

Kemudian hadir Immanuel Kant, yang mencoba menjembatani dua pandangan ekstrem tersebut melalui pendekatan kritis. Ia menyatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, namun pengalaman itu sendiri dibentuk dan ditata oleh akal. 

Menurut saya, ketiga filsuf ini—Descartes, Hume, dan Kant—tidak saling meniadakan, melainkan justru saling melengkapi. Mereka memberikan fondasi penting dalam memahami ilmu pengetahuan yang relevan hingga saat ini.

Sementara itu, filsafat eksistensial mengajarkan kepada kita tentang kebebasan, pilihan, dan tentu saja tanggung jawab. Ajaran ini sarat akan makna dalam menjalani hidup ke depan. 

Pilihan hidup adalah milik kita sepenuhnya, dan kitalah yang harus mencari sendiri makna dari hidup itu, lalu menerima dan bertanggung jawab atas konsekuensi yang mungkin terjadi.

Filsafat eksistensial tidak serta-merta menawarkan solusi atas permasalahan hidup. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk lebih jujur menengok ke dalam diri, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, dan berdamai dengan ketidakpastian yang tak bisa dihindari. 

Meski begitu jelas dan mendalam landasan pemikiran para filsuf, masih banyak kesalahpahaman yang membuat filsafat kerap disalahartikan, bahkan ditakuti.

Tak jarang filsuf dan dunia filsafat dicap sebagai ilmu yang kaku, rumit, dan menyimpang. Ia dianggap bicara soal logika dan rasionalitas yang dipandang jauh dari nilai-nilai spiritual dan keberagamaan. 

Mungkin anggapan ini muncul karena lingkungan awam yang memandang filsafat sebagai produk Barat yang bertentangan dengan iman.

Padahal, jika kita menelusuri lebih jauh, banyak filsuf besar yang lahir dari rahim tradisi keagamaan, seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Sina. 

Menurut saya, orang yang takut terhadap filsafat bisa jadi adalah mereka yang merasa tidak cukup siap berpikir mendalam, takut kehilangan iman, atau takut menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Padahal justru di sanalah letak keindahan filsafat—mendorong kita berpikir, menelaah, dan memperkuat kesadaran dalam menjalani hidup.

Dari sekian banyak filsuf yang kami bahas dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah era baru yang disebut Hellenisme, yaitu masa ketika budaya Yunani menyebar ke berbagai penjuru dunia. 

Filsafat pada masa ini mulai menekankan pada makna hidup, ketenangan jiwa, dan kebahagiaan.

Salah satu aliran yang muncul pada era Hellenisme adalah stoisisme (Stoic), yang berfokus pada etika, khususnya dalam hal pengendalian diri, menghadapi orang lain, dan menerima hidup sebagaimana adanya. Dari pemikiran Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca, saya merasa tersentuh. 

Stoisisme mengajarkan hal sederhana namun mendalam, fokuslah hanya pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan lepaskan hal-hal yang berada di luar kuasa kita.

Yang membuat saya kagum, Stoic bukan tentang kepasrahan buta, melainkan tentang bagaimana hidup dengan tenang di tengah dunia yang tak sepenuhnya bisa kita kendalikan. 

Karena pada kenyataannya, kita memang tidak punya kendali penuh atas apa yang terjadi di sekitar kita. Saat merenungkan pemikiran Epictetus, saya tersadar bahwa kita tak bisa mengendalikan reaksi orang terhadap diri kita.

Kita juga tak bisa memastikan dunia akan selalu berlaku adil. Namun kita bisa memilih untuk tidak tenggelam dalam rasa kecewa, dan mulai bangkit perlahan. Kita belajar untuk bersikap ikhlas, menerima kenyataan, dan tetap berusaha dengan penuh kesadaran. Seperti yang dikatakan Marcus Aurelius, bahwa kedamaian batin muncul saat kita selaras dengan alam dan takdir.

Pemikiran ini mengingatkan saya pada firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 22–23:
"Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya…"

Ayat ini sejalan dengan semangat Stoic: menerima takdir dengan tenang dan bijaksana. Bukan menyerah, tapi tidak larut dalam kesedihan. 

Dalam tafsir al-Qur’an, seperti dalam Tafsir al-Maraghi dan Tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa ayat ini menanamkan sikap tawakal, pengendalian emosi, dan larangan untuk berlebih-lebihan dalam menyikapi nikmat maupun musibah.

Di sinilah kita menemukan pentingnya sikap jujur dan kritis ala filsuf terhadap diri sendiri. Kritis bukan berarti menentang, tapi berani memeriksa dan merefleksikan pengalaman hidup kita secara jujur. 

Pada dasarnya, keindahan filsafat lahir dari perenungan. Melalui refleksi yang mendalam, filsafat mengingatkan kita untuk lebih cermat dalam mengenali dan menyikapi sifat-sifat gelap yang tersembunyi di dalam batin kita.

Filsuf Marcus Aurelius pernah berkata, "Kita perlahan menjadi seperti apa yang kita pikirkan." Bagi saya, pernyataan ini sejalan dengan prinsip dalam Islam: “Ketahuilah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh…” (HR. Bukhari-Muslim).

Dua kalimat bijak ini sama-sama mendorong kita untuk mengendalikan pikiran dan perasaan dengan penuh kesadaran dan kesabaran. Kita diajak untuk menjaga apa yang ada di dalam—pikiran, hati, dan jiwa—karena itulah yang akan membentuk siapa diri kita.

Mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan, tanpa terjebak dalam reaksi emosional yang merusak, merupakan inti dari ajaran Stoic sekaligus ajaran Islam. 

Ini sejalan dengan nilai-nilai sabar, ridha, dan tawakal yang diajarkan dalam tradisi Islam—bahwa kekuatan sejati terletak pada ketenangan hati dan kebeningan pikiran dalam menghadapi hidup yang tak selalu pasti.[]


Penulis: Afny Afriana (Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta) 
Ilustrasi: Philosopher, Stoic, Stoicism image/Pixabay.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan