Rusia Tidak Boleh Kalah di Ukraina: Strategi Tiongkok dan Implikasinya bagi Indonesia
INTIinspira - Pernyataan blak-blakan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, kepada diplomat tinggi Uni Eropa Kaja Kallas bahwa “Tiongkok tidak bisa membiarkan Rusia kalah dalam perang Ukraina” mengejutkan banyak pihak di Brussel.
Meski Tiongkok secara resmi menyatakan diri sebagai pihak netral, pernyataan ini mengungkap arah kebijakan luar negeri Beijing yang sebenarnya: mempertahankan Rusia adalah bagian dari strategi global untuk menahan dominasi Amerika Serikat.
Pernyataan tersebut tidak hanya menyoroti kedekatan strategis antara Tiongkok dan Rusia, tetapi juga membuka mata dunia bahwa perang di Ukraina adalah bagian dari konstelasi geopolitik global.
Dalam kerangka ini, Indonesia sebagai kekuatan menengah di Asia harus mencermati dinamika tersebut dengan hati-hati.
Jika Rusia tumbang, maka Amerika akan memiliki keleluasaan untuk memfokuskan kekuatan politik, militer, dan ekonominya ke kawasan Indo-Pasifik.
Tiongkok melihat ini sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan nasionalnya, khususnya terkait Taiwan dan Laut China Selatan.
Dengan demikian, mempertahankan Rusia bukan soal solidaritas ideologis, melainkan bagian dari strategi realistis untuk menjaga keseimbangan kekuatan global. Ukraina dalam hal ini menjadi perisai tak langsung Tiongkok terhadap tekanan Amerika.
Ia juga membantah tuduhan bahwa Tiongkok mendukung Rusia secara militer atau finansial, sambil menyatakan bahwa “jika Tiongkok benar-benar mendukung, perang ini sudah lama selesai.” Kalimat ini mengandung makna ganda: sekaligus menyangkal, namun juga menunjukkan kekuatan pengaruh Tiongkok yang belum sepenuhnya digunakan.
Wang Yi bahkan mengancam akan mengambil langkah balasan jika UE bersikeras menjalankan kebijakan tersebut.
Di sisi lain, pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth elements) dan magnet oleh Tiongkok telah melumpuhkan sejumlah industri di Eropa. Uni Eropa menganggap langkah ini sebagai bagian dari perseteruan teknologi antara Tiongkok dan Amerika, di mana Eropa terjepit di tengah.
Indonesia harus bersiap menghadapi kemungkinan bergesernya poros kekuatan dunia ke Asia, dan menjaga posisi agar tidak terjebak dalam polarisasi yang hanya akan merugikan kepentingan nasional jangka panjang.
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)/Peminat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Wang Yi/Telegram Source
Meski Tiongkok secara resmi menyatakan diri sebagai pihak netral, pernyataan ini mengungkap arah kebijakan luar negeri Beijing yang sebenarnya: mempertahankan Rusia adalah bagian dari strategi global untuk menahan dominasi Amerika Serikat.
Pernyataan tersebut tidak hanya menyoroti kedekatan strategis antara Tiongkok dan Rusia, tetapi juga membuka mata dunia bahwa perang di Ukraina adalah bagian dari konstelasi geopolitik global.
Dalam kerangka ini, Indonesia sebagai kekuatan menengah di Asia harus mencermati dinamika tersebut dengan hati-hati.
1. Ukraina sebagai Benteng Pertahanan Timur Tiongkok
Dari sudut pandang Beijing, kekalahan Rusia dalam perang Ukraina akan memperkuat posisi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa.Jika Rusia tumbang, maka Amerika akan memiliki keleluasaan untuk memfokuskan kekuatan politik, militer, dan ekonominya ke kawasan Indo-Pasifik.
Tiongkok melihat ini sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan nasionalnya, khususnya terkait Taiwan dan Laut China Selatan.
Dengan demikian, mempertahankan Rusia bukan soal solidaritas ideologis, melainkan bagian dari strategi realistis untuk menjaga keseimbangan kekuatan global. Ukraina dalam hal ini menjadi perisai tak langsung Tiongkok terhadap tekanan Amerika.
2. Netralitas Retoris, Keberpihakan Strategis
Selama ini, Tiongkok konsisten menyatakan diri sebagai pihak yang netral dan menyerukan penyelesaian damai atas konflik Ukraina. Namun, pernyataan Wang Yi kepada Kaja Kallas membuka tabir baru: Tiongkok ternyata memihak secara strategis meski tidak secara langsung terlibat dalam konflik.Ia juga membantah tuduhan bahwa Tiongkok mendukung Rusia secara militer atau finansial, sambil menyatakan bahwa “jika Tiongkok benar-benar mendukung, perang ini sudah lama selesai.” Kalimat ini mengandung makna ganda: sekaligus menyangkal, namun juga menunjukkan kekuatan pengaruh Tiongkok yang belum sepenuhnya digunakan.
3. Ketegangan Tambahan: Sanksi, Retaliasi, dan Rare Earth
Hubungan antara Uni Eropa dan Tiongkok kini memasuki fase baru yang lebih tegang. Rencana Uni Eropa untuk memberikan sanksi kepada dua bank Tiongkok yang dianggap melanggar embargo terhadap Rusia disambut dengan peringatan keras dari Beijing.Wang Yi bahkan mengancam akan mengambil langkah balasan jika UE bersikeras menjalankan kebijakan tersebut.
Di sisi lain, pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth elements) dan magnet oleh Tiongkok telah melumpuhkan sejumlah industri di Eropa. Uni Eropa menganggap langkah ini sebagai bagian dari perseteruan teknologi antara Tiongkok dan Amerika, di mana Eropa terjepit di tengah.
4. Dampak Bagi Indonesia Jika Rusia Kalah
Indonesia, sebagai negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, tidak akan luput dari dampak berakhirnya perang Ukraina—terutama jika Rusia kalah. Beberapa kemungkinan dampak yang dapat terjadi antara lain:a. Fokus Amerika Serikat Berpindah ke Asia
Jika Rusia kalah, Amerika akan memindahkan fokus strategisnya ke Asia Timur. Ketegangan di Laut China Selatan dan kawasan sekitarnya akan meningkat, dan Indonesia akan berada di garis depan zona perbatasan yang diperebutkan secara geopolitik.b. Tekanan Geopolitik Terhadap ASEAN dan Indonesia
Indonesia dan negara-negara ASEAN akan menghadapi tekanan untuk memihak salah satu blok: Barat yang dipimpin AS, atau Tiongkok yang semakin defensif. Sikap netral akan menjadi semakin sulit dipertahankan.c. Penurunan Harga Komoditas Ekspor
Selama konflik berlangsung, Indonesia menikmati keuntungan dari tingginya harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan CPO. Jika perang berakhir, harga-harga ini bisa turun drastis, memengaruhi penerimaan negara dan stabilitas ekonomi daerah penghasil.d. Arus Investasi Global Berubah Arah
Kemenangan Barat atas Rusia akan membuat Eropa kembali menjadi tujuan utama investasi asing. Sementara kawasan Asia Tenggara bisa dianggap sebagai zona risiko tinggi akibat potensi konflik baru antara AS dan Tiongkok.e. Gangguan Rantai Pasok Teknologi
Jika ketegangan AS-Tiongkok meningkat pasca-kekalahan Rusia, maka Indonesia juga akan terdampak dalam hal rantai pasok teknologi, terutama di sektor kendaraan listrik, manufaktur, dan digitalisasi.5. Kesimpulan: Netralitas Aktif dan Kemandirian Strategis
Perang di Ukraina bukan hanya urusan Eropa. Dunia kini menghadapi babak baru pertarungan kekuatan global, dan Indonesia harus mengambil sikap yang cermat. Netralitas tidak cukup jika tidak dibarengi dengan diplomasi aktif, penguatan ekonomi dalam negeri, dan peningkatan kapasitas pertahanan nasional.Indonesia harus bersiap menghadapi kemungkinan bergesernya poros kekuatan dunia ke Asia, dan menjaga posisi agar tidak terjebak dalam polarisasi yang hanya akan merugikan kepentingan nasional jangka panjang.
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)/Peminat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Wang Yi/Telegram Source