Dari Aksara Jawi Ke Misteri Makam: Ulasan Buku Hamzah Fansuri

Cover Buku Hamzah Fansuri
INTIinspira - Minggu lalu, aku memesan buku terbaru Ramli Cibro. Buku ini berjudul Hamzah Fansuri: Narasi yang Hilang dan Polemik Tasawuf Nusantara. Buku ini diterbitkan oleh Zahir Publishing pada Maret 2025, dengan ketebalan xiv + 156 halaman.

Hamzah Fansuri (selanjutnya kutulis saja: Hamzah) merupakan salah satu tokoh sufi yang aku kagumi.

Aku sudah berkenalan dengan beberapa syairnya sejak masih di bangku sekolah. Walaupun saat itu aku tidak tahu persis apa maksud dan tujuan dari syair-syair itu—dan nampaknya sampai sekarang pun masih begitu. 

Tapi yang jelas, aku menikmatinya. Dan entah bagaimana ceritanya, syair-syair pendek itu telah membuatku kagum pada pengarangnya.

Namun karena keterbatasan akses referensi, bacaanku tentang Hamzah sangatlah terbatas. Ini menjadi alasan utama mengapa aku sangat berbahagia menyambut kehadiran buku karya kawan yang satu ini. Apalagi, buku ini diserahkan langsung oleh penulisnya.

Penyerahan buku oleh penulisnya-Ramli Cibro
Seperti biasa, saat memegang sebuah buku, kebiasaanku adalah langsung membalikkan buku itu dari sampul depan ke sampul belakang—tujuannya satu, membaca blurb.

Bagiku, blurb menjadi gambaran awal tentang pembahasan yang akan kita temui dalam buku tersebut. Dan setelah membaca blurb-nya, aku makin penasaran untuk segera melepas segel dan langsung membacanya.

Setelah membuka bukunya, aku langsung mencari bagian Prakata Penulis. Di sini dijelaskan bahwa buku ini mengkaji lima aspek dalam kehidupan Hamzah Fansuri, yang meliputi:

Pertama, tentang perjalanan, kemisteriusan kehidupan, para murid, dan respons Hamzah terhadap konteks sosial di masanya.

Kedua, mengenai kehidupan para ulama yang bersentuhan langsung dengan Hamzah, atau yang muncul sebagai respons atas polemik pemikirannya.

Ketiga, aktor-aktor politik yang terlibat dalam membentuk konteks sosial, baik di masa Hamzah maupun sesudahnya.

Keempat, ulasan singkat tentang karya-karya Hamzah serta para peneliti yang pernah mengkaji tentangnya.

Kelima, timbulan-timbulan yang muncul dari pesona Hamzah—seperti keberadaan makamnya di Kota Subulussalam dan pengaruhnya terhadap corak kehidupan serta keagamaan di sana.

Setelah membaca keterangan tentang apa saja yang dibahas dalam buku ini, aku melanjutkan ke bagian Daftar Isi. Tiba-tiba, secara refleks, aku langsung membuka halaman 129 yang membahas tentang makam Hamzah, di bawah judul “Antara Oboh, Mekah, dan Ujong Pancu: Dimanakah Makam Hamzah Fansuri?” Hal ini terjadi karena sebelumnya penulis mengatakan bahwa “Jejak kaki Hamzah mudah ditemui, tapi makamnya penuh dengan misteri.

Selain itu, aku juga penasaran karena selama ini pendapat yang sering kudengar dari Miswari menyebutkan bahwa makam Hamzah itu ada di Ujong Pancu, Aceh Besar.

Dalam buku ini, menurutku penulis berhasil menyajikan berbagai argumentasi secara seimbang mengenai letak makam Hamzah yang memang penuh teka-teki.

Ada yang mengatakan makamnya berada di Oboh, Kota Subulussalam. Ada juga yang menyebutkan Ujong Pancu, Baitul Ma’la di Mekah, bahkan Langkawi, Malaysia. 

Pendapat terakhir ini datang dari pengakuan Muzakir Manaf yang, katanya, saat berkunjung ke Langkawi, masyarakat di sana menyebut bahwa terdapat makam Syekh Hamzah Fansuri di wilayah itu (hlm. 139).

Bagiku pribadi, di mana pun letak makam Hamzah, itu sama sekali bukan masalah. Yang terpenting adalah semangat Hamzah—warisan intelektual dan spiritualnya—dalam membentuk masyarakat kosmopolitan dan terus melahirkan karya. Itulah yang patut diwarisi oleh masyarakat Aceh saat ini.

Selanjutnya, bagian yang tak kalah menarik menurutku adalah fakta bahwa semua karya Hamzah ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawi. Penulis menjelaskan:
“…Hal ini berbeda dengan Hamzah Fansuri dimana karya prosa dan risalah tasawufnya hanya berbahasa Melayu walaupun disisipi dengan penggalan ayat, kalimat-kalimat berbahasa Arab dan Persia.” (hlm. 35).
Selama ini aku mengira bahwa ada satu atau dua karya Hamzah yang ditulis dalam bahasa Arab. Rupanya, anggapan itu tidak benar. Ternyata, yang menulis dalam bahasa Arab dan Melayu bukan Hamzah, melainkan Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, dan Abdurrauf Singkel.

Lalu, mengapa Hamzah tidak menulis dalam bahasa Arab? Bisa jadi pada masa itu belum ada anggapan bahwa ulama yang tidak menulis dalam bahasa Arab dianggap kurang keren atau belum mendunia.

Atau, mungkin ada sebab lain. Tapi yang jelas, Hamzah—menurut Abdul Hadi W. M.—dikenal sebagai Bapak Sastra Melayu. Di samping itu, bahasa Melayu juga pernah menjadi lingua franca—bahasa penghubung yang digunakan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang bahasa daerah—di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-15 hingga ke-17 Masehi.

Boleh jadi, penggunaan bahasa Melayu dalam penulisan karya-karya Hamzah dipengaruhi oleh luasnya keterjangkauan bahasa Melayu ketimbang bahasa Arab pada masa itu.

Yang jelas, sulit membayangkan kalau alasan Hamzah tidak menulis dalam bahasa Arab karena dia tidak mengerti bahasa Arab.

Bagian lain yang menarik dari buku ini ialah tentang hubungan antara Hamzah dan Abdurrauf. Di belakang nama mereka terdapat laqab “al-Fansuri”. Laqab ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari daerah yang sama, yaitu Fansur atau Barus.

Sebelumnya, aku mengira bahwa Hamzah merupakan paman dari Abdurrauf. Hal ini sesuai dengan cerita-cerita yang sering kudengar, bahwa ayah Abdurrauf, yaitu Ali al-Fansuri, merupakan abang dari Hamzah. Ali Hasjmy pun pernah mengatakan bahwa di antara keduanya terjalin hubungan guru dan murid.

Namun, pendapat Azyumardi Azra yang dikutip oleh penulis di halaman 91 menyebutkan:
“Saya tidak yakin apakah Abdurrauf Singkel benar-benar keponakan Hamzah, sebab tidak ada sumber lain yang mendukung hal itu. Tampaknya dia mempunyai semacam hubungan keluarga dengannya, sebab dalam sebagian dari karya-karyanya yang kini masih ada, nama As Singkili diikuti dengan pernyataan, “Yang berbangsa Hamzah Fansuri”.
Snouck Hurgronje juga menduga hal serupa—bahwa di antara keduanya memang terdapat hubungan keluarga—hanya saja Abdurrauf tidak pernah mengakuinya secara terbuka.

Pendapat lain datang dari Al-Attas. Ia menyatakan bahwa usaha Abdurrauf untuk mengasosiasikan diri dengan Hamzah bertujuan untuk memperkenalkan dirinya secara lebih cepat dan mendapatkan tempat di hati masyarakat, sebagaimana yang telah didapatkan oleh Hamzah. Namun, jelas sekali bahwa Abdurrauf sama sekali tidak menyatakan dirinya sepemikiran dengan Hamzah.

Dari beberapa pendapat yang belum final itu, penulis memosisikannya sebagai sebuah misteri yang perlu terus diteliti demi mendapatkan jawaban yang lebih meyakinkan.

Setelah membaca berbagai pandangan tentang hubungan antara Hamzah dan Abdurrauf tersebut, aku pun tidak lagi memfinalkan pandanganku sebelumnya—yang semula menganggap bahwa tidak ada perbedaan pandangan tentang status Abdurrauf sebagai keponakan Hamzah.

Membaca buku ini begitu mengasyikkan. Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik bagiku. Bahasanya mengalir dan mudah dipahami—ini karena memang oleh penulisnya, buku ini ditujukan kepada pembaca umum. Tidak membosankan. Banyak wawasan baru yang jarang kutemukan dalam buku-buku narasi sejarah yang pernah kubaca.

Sebagai penutup, ulasan ini tentu sangat berbeda dengan ulasan buku pada umumnya. Aku sepenuhnya menyadari itu. Untuk kritik atau saran, aku tidak tahu harus bilang apa. Ramli Cibro lebih produktif dariku, sehingga kritik yang paling pas justru kutujukan pada diriku sendiri: mengapa aku kurang produktif? Itu saja.

Kalau saran, satu saja: teruslah menulis dan melahirkan banyak karya, karena aku salah seorang yang menanti-nanti karyamu. Kalau aku belum bisa beli cash, setidaknya aku hutang dulu.

Terakhir, walaupun tidak nyambung, aku ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat yang kuambil dari bagian Prakata penulis, halaman x, baris ke-8, posisi paling kanan:
“Seorang manusia dalam menjalani kehidupan harus memiliki keberanian yang tinggi, ketulusan dalam amal, ketakwaan yang terberi, dan utuh dalam tawakalnya kepada Allah.”[]

Penulis: Arizul Suwar
Foto: Cover buku/Dokumen for INTIinspira
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan