Dunia Tinggalkan Dolar: Simbol Global yang Kian Kehilangan Relevansi
INTIinspira - 6 Juni 2025, dolar Amerika Serikat (AS) resmi memasuki usia ke-240. Sebuah usia yang dalam ukuran sejarah moneter tergolong luar biasa panjang. Namun seperti halnya simbol-simbol tua yang kehilangan pesonanya, dolar kini tampak lelah menopang dominasi, sementara dunia perlahan beranjak, mencari poros baru. Dari sini terlihat bahwa usia panjang tidak menjadi jaminan relevansi. Dunia terus berubah, simbol pun harus menyesuaikan diri atau kehilangan makna di tengah pergeseran zaman.
Di masa lalu, menyimpan dolar adalah tanda kewaspadaan. Namun saat ini, semakin banyak negara yang menyimpulkan bahwa ketergantungan pada dolar adalah risiko, bukan jaminan. Tahun ini saja, dolar telah melemah sekitar 9 persen, dengan penurunan signifikan sebesar 4,5 persen hanya pada April. Hal ini tak lepas dari kombinasi buruk: inflasi, pencetakan uang berlebihan, dan ketidakpastian fiskal di dalam negeri.
Investor global saat ini tidak lagi hanya melihat angka, tapi mereka melihat arah. Dan arah kebijakan moneter serta politik AS saat ini memberi satu pesan genting yaitu ketidakpastian.
Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat menggunakan dolar tidak hanya sebagai alat tukar, tapi juga sebagai senjata. Sanksi ekonomi, pembekuan aset, dan pemutusan akses ke sistem keuangan global telah digunakan sebagai instrumen tekanan terhadap negara-negara yang dianggap berseberangan. Tindakan-tindakan ini, yang dulu dianggap bentuk kepemimpinan global, kini justru terlihat sebagai bentuk pemaksaan yang membangkitkan perlawanan.
Di masa lalu, menyimpan dolar adalah tanda kewaspadaan. Namun saat ini, semakin banyak negara yang menyimpulkan bahwa ketergantungan pada dolar adalah risiko, bukan jaminan. Tahun ini saja, dolar telah melemah sekitar 9 persen, dengan penurunan signifikan sebesar 4,5 persen hanya pada April. Hal ini tak lepas dari kombinasi buruk: inflasi, pencetakan uang berlebihan, dan ketidakpastian fiskal di dalam negeri.
Investor global saat ini tidak lagi hanya melihat angka, tapi mereka melihat arah. Dan arah kebijakan moneter serta politik AS saat ini memberi satu pesan genting yaitu ketidakpastian.
De-dolarisasi: Dunia Tak Lagi Butuh Raja Tunggal
Negara-negara BRICS+ serta banyak negara di Global Selatan telah bergerak cepat dalam mengurangi penggunaan dolar. Kini, 95 persen perdagangan antara Rusia dan Tiongkok dilakukan dalam rubel dan yuan. Proses semacam ini bukan lagi efisiensi transaksi, tapi bentuk nyata resistensi terhadap dominasi yang terlalu lama dianggap mutlak.Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat menggunakan dolar tidak hanya sebagai alat tukar, tapi juga sebagai senjata. Sanksi ekonomi, pembekuan aset, dan pemutusan akses ke sistem keuangan global telah digunakan sebagai instrumen tekanan terhadap negara-negara yang dianggap berseberangan. Tindakan-tindakan ini, yang dulu dianggap bentuk kepemimpinan global, kini justru terlihat sebagai bentuk pemaksaan yang membangkitkan perlawanan.
Dolar dan Krisis Kepercayaan
Dolar dulunya adalah simbol kepercayaan. Namun kini, tarif perdagangan, ketegangan geopolitik, hingga pelemahan sektor manufaktur AS membuat status "safe haven" dolar mulai dipertanyakan.Eropa, Jepang, dan negara-negara Timur Tengah mulai mengalihkan sebagian cadangan devisa mereka, memecah dominasi dolar dan menciptakan ruang bagi euro, yen, dan bahkan emas dan aset digital.
Yang menarik, dolar bukan digulingkan melalui revolusi, melainkan perlahan-lahan ditinggalkan. Belum ada mata uang tunggal yang bisa menandingi kekuatan dan likuiditasnya. Tapi dunia tampaknya sudah cukup nyaman dengan alternatif, dan kenyamanan itu bisa menjadi awal dari pergeseran yang lebih dalam.
Yang menarik, dolar bukan digulingkan melalui revolusi, melainkan perlahan-lahan ditinggalkan. Belum ada mata uang tunggal yang bisa menandingi kekuatan dan likuiditasnya. Tapi dunia tampaknya sudah cukup nyaman dengan alternatif, dan kenyamanan itu bisa menjadi awal dari pergeseran yang lebih dalam.
Seperti cinta, kepercayaan tak bisa dipaksakan. Dunia kini menyaksikan bagaimana dolar, yang dulunya dijaga dan dijunjung tinggi, kini mulai dipertanyakan. Ketika sebuah mata uang lebih sering dipakai untuk menghukum daripada untuk memfasilitasi, orang mulai bertanya: apakah ini masih alat tukar, atau sudah menjadi alat kontrol?
Terlebih, bila kepercayaan terhadap dolar terus menurun, biaya untuk membiayai defisit dan utang nasional akan melonjak—karena dunia tak lagi ingin memegang utang dalam mata uang yang sudah rapuh.
Dolar tidak sedang diserang, hanya saja ia kini mulai kurang relevan dalam sistem global yang kian multipolar. Jika AS ingin menjaga posisi dolar, maka yang dibutuhkan bukan retorika kekuatan, tapi stabilitas, transparansi, dan tanggung jawab fiskal yang nyata.
Karena pada akhirnya, dalam ekonomi global yang saling terhubung, mata uang tak hanya dinilai dari nilainya—tapi juga dari rasa percaya yang menyertainya. Di usia 240 tahun, dolar tampak kelelahan memikul beban sejarah. Sementara itu, dunia mulai berjalan lebih ringan tanpa harus selalu menoleh ke belakang.[]
Penulis: Muhammad Amin, S.H. (Alumni Hukum Ekonomi Syari’ah STAI Tgk Chik Pante Kulu)
Ilustrasi: Dollar, Currency, Money image/Pixabay
Apa Arti Semua Ini bagi Amerika?
Sebagian ekonom melihat sisi cerah, dolar yang melemah membuat produk ekspor AS lebih kompetitif. Tapi keuntungan jangka pendek ini tak bisa menutupi risiko jangka panjang seperti import menjadi lebih mahal, potensi inflasi meningkat, dan daya beli rakyat Amerika bisa semakin tergerus.Terlebih, bila kepercayaan terhadap dolar terus menurun, biaya untuk membiayai defisit dan utang nasional akan melonjak—karena dunia tak lagi ingin memegang utang dalam mata uang yang sudah rapuh.
Dolar tidak sedang diserang, hanya saja ia kini mulai kurang relevan dalam sistem global yang kian multipolar. Jika AS ingin menjaga posisi dolar, maka yang dibutuhkan bukan retorika kekuatan, tapi stabilitas, transparansi, dan tanggung jawab fiskal yang nyata.
Karena pada akhirnya, dalam ekonomi global yang saling terhubung, mata uang tak hanya dinilai dari nilainya—tapi juga dari rasa percaya yang menyertainya. Di usia 240 tahun, dolar tampak kelelahan memikul beban sejarah. Sementara itu, dunia mulai berjalan lebih ringan tanpa harus selalu menoleh ke belakang.[]
Penulis: Muhammad Amin, S.H. (Alumni Hukum Ekonomi Syari’ah STAI Tgk Chik Pante Kulu)
Ilustrasi: Dollar, Currency, Money image/Pixabay