Menggugat Hegemoni Ekonomi: BRICS dan Jalan Menuju Tatanan Baru Dunia

INTIinspira - Dalam lanskap global yang kian kompleks, pertarungan terbesar abad ke-21 tidak lagi soal senjata atau invasi militer, melainkan soal siapa yang mengendalikan arus uang, perdagangan, dan narasi pembangunan. Kini, negara-negara di Global South—yang tergabung dalam koalisi BRICS dan mitra-mitranya—tengah merintis jalan keluar dari hegemoni ekonomi yang telah mencengkram selama ratusan tahun.

Hegemoni yang dimaksud bukan sekadar dominasi finansial, tapi juga sebuah sistem rente global yang melanggengkan ketimpangan melalui utang, pajak regresif, pengurasan bahan mentah, dan subordinasi teknologi. Inilah wajah lain dari imperialisme modern—yang oleh banyak pengamat disebut sebagai Kekaisaran Kekacauan.

Warisan Kolonial dalam Sistem Rente

Prof. Michael Hudson, menyoroti satu akar persoalan mendasar: sistem rente yang mengakar sejak masa penjajahan. Menurutnya, kunci untuk benar-benar membangun dan mengindustrialisasi bukan sekadar soal aliran investasi, tapi membongkar struktur ekonomi warisan kolonial yang masih bercokol hingga hari ini.

Dalam sistem rente ini, pola relasi ekonominya sangat jelas: investor asing datang dan menambang kekayaan dari sumber daya alam lokal—mineral, kayu, minyak, atau sawit—namun keuntungan besarnya dibawa keluar. Negara yang menjadi tuan rumah hanya mendapat sedikit remah dalam bentuk pajak atau royalti simbolis, yang seringkali tidak sebanding dengan dampak lingkungan maupun sosial yang ditinggalkan.

Ironisnya, elite lokal justru sering berperan sebagai perantara dalam proses ini. Mereka menjadi penghubung antara modal asing dan birokrasi domestik, tapi tidak memainkan peran sebagai motor pembangunan nasional. Alih-alih mendorong transformasi struktural, mereka justru memperkuat status quo. Hasilnya, banyak negara berkembang terjebak menjadi ekonomi ekstraktif yang menggantungkan diri pada ekspor komoditas mentah, tanpa membangun fondasi untuk menjadi ekonomi yang benar-benar produktif dan mandiri.

Tiongkok dan Alternatif yang Mungkin

Berbeda dari jalan yang diambil banyak negara berkembang pascakolonial, Tiongkok memilih jalur yang jauh lebih berdaulat setelah revolusi tahun 1949. Pemerintah Tiongkok secara sistematis membongkar kekuasaan kelas rentier di dalam negeri—mereka yang hidup dari rente tanah atau rente keuangan tanpa menghasilkan nilai tambah nyata.

Tidak berhenti di situ, negara juga mengambil alih kendali atas sistem keuangan, menjadikannya sebagai alat untuk pembangunan jangka panjang. Uang bukan sekadar berputar di pasar saham atau instrumen keuangan spekulatif, melainkan diarahkan untuk membiayai infrastruktur, membangun industri nasional, serta menciptakan sistem perumahan yang mampu menopang urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi.

Langkah-langkah ini kemudian diperluas lewat strategi yang mereka sebut “sirkulasi ganda”. Intinya, Tiongkok tidak hanya berfokus pada ekspor atau ketergantungan pada pasar luar negeri. Mereka juga membangun kekuatan pasar domestik yang besar dan dinamis, sambil mempererat kerja sama ekonomi dengan negara-negara di Global South—termasuk Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Strategi ini bukan hanya soal ekonomi; ia juga merupakan kebijakan geopolitik tingkat tinggi, yang secara halus menantang dominasi model pembangunan ala Barat.

BRICS: Laboratorium Tata Dunia Baru

Dalam dunia yang sedang bergolak mencari keseimbangan baru, BRICS—yang kini telah berkembang menjadi BRICS+—tampil sebagai laboratorium geopolitik alternatif. Di sinilah ide-ide baru tentang tata ekonomi global diuji, tidak hanya sebagai wacana, tapi dalam bentuk institusi dan kebijakan nyata.

Lihat saja pendirian New Development Bank (NDB), yang sengaja dirancang sebagai tandingan terhadap dominasi IMF dan Bank Dunia. Tidak berhenti di sana, BRICS juga mengusulkan mata uang regional berbasis komoditas, serta sistem pembayaran lintas negara yang independen dari SWIFT. Langkah-langkah ini mengarah pada satu tujuan: menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih adil, di mana negara-negara Global South tak lagi diposisikan sebagai obyek kebijakan global, tapi sebagai subyek aktif dalam penentuan arah sejarah.

Geoekonomi vs Militerisme

Kontras antara pendekatan BRICS dan Amerika Serikat sangat mencolok. Sementara AS menggelontorkan lebih dari satu triliun dolar setiap tahun untuk belanja militer, negara-negara BRICS justru sibuk membangun infrastruktur sipil: pelabuhan, jalan raya, jalur kereta cepat, kawasan industri, dan pusat logistik.

Ekonom Jeffrey Sachs pernah menggambarkan ironi ini dengan tajam: “Diplomasi memerlukan meja dan dua kursi. Militer memerlukan $1 triliun per tahun. Menurut Anda, mana yang lebih baik?”

Pernyataan itu menyentuh inti persoalan dunia saat ini: apakah masa depan akan dibentuk oleh diplomasi dan kerja sama, atau oleh senjata dan dominasi?

Sudah terlalu lama dunia disandera oleh kekuatan yang menggunakan destabilitas sebagai alat politik. Kini, muncul kekuatan-kekuatan baru yang menolak logika tersebut, dan memilih membangun dari bawah—dari infrastruktur, produksi, dan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan.

Langkah Strategis Menuju Kemenangan

Tentu, membangun tatanan dunia baru tidak cukup hanya dengan kritik. Ia menuntut langkah-langkah strategis dan keberanian politik. Negara-negara BRICS dan mitranya di Global South harus berani mengambil jalur yang menantang, namun esensial untuk masa depan:

1. Kedaulatan fiskal dan moneter

Ini berarti merebut kembali kendali atas bank sentral, mengurangi ketergantungan pada dolar AS, dan merancang instrumen pembiayaan nasional yang berpihak pada pembangunan, bukan pada spekulan.

2. Nasionalisasi sektor strategis

Energi, air, pertambangan, dan bahkan infrastruktur digital adalah fondasi kedaulatan ekonomi. Tanpa kendali atas sektor-sektor ini, mustahil berbicara tentang kemerdekaan sejati.

3. Aliansi Selatan-Selatan yang setara

Kerja sama antarnegara berkembang harus dibangun di atas prinsip keadilan, bukan hierarki baru. Ini termasuk membentuk rantai pasok dan ekosistem teknologi bersama yang mandiri dari pusat-pusat keuangan Barat.

4. Reformasi struktural di dalam negeri

Tidak ada tatanan global yang adil tanpa keadilan domestik. Ini berarti menghapus pajak regresif yang menekan rakyat kecil, membatasi rente tanah dan sumber daya, serta mendorong distribusi aset yang lebih merata.[]



Penulis: Muhammad Amin, S.H. (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Gambar: Telegram source 
Catatan: Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dalam kapasitas sebagai warga bangsa yang peduli terhadap kedaulatan ekonomi dan masa depan global yang berkeadilan.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan