Palestina, Amerika, dan China: Di Tengah Arus Perang Persepsi
INTIinspira - Dalam percakapan sehari-hari tentang Palestina, kita sering kali mendengar respon simpati dan empati terhadap penderitaan yang dialami rakyat Palestina. Konflik yang seolah tak berujung itu, telah merenggut hak-hak dasar kemanusiaan. Karena itu, doa-doa mengalir dari segala penjuru, penggalangan dana dilakukan, solidaritas disuarakan.
Namun, di saat yang sama, sebagian kita justru terang-terangan mengagumi negara seperti Amerika Serikat yang secara nyata mendukung pendudukan Israel atas Palestina. Aneh, kita menitikkan air mata untuk Palestina, tapi menyanjung penopang penjajahnya. Ironisnya, negara seperti China—yang justru konsisten mendukung Palestina dan menolak imperialisme global—sering kali dicurigai bahkan dibenci.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini memuji sikap China dalam membela Palestina. Dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri China, Li Qiang, pada 24 Mei 2025, Prabowo menyatakan bahwa China selalu menunjukkan konsistensi dalam membela negara-negara berkembang dan korban penjajahan. Ini sebuah pengakuan yang jarang terdengar dalam diplomasi Indonesia selama beberapa dekade terakhir.
Dukungan China terhadap Palestina bukanlah hal baru. Kebijakan luar negeri ini telah konsisten sejak era Mao Zedong.
China sejak tahun 1950-1970-an telah menjadi salah satu negara yang secara terbuka mendukung perjuangan pembebasan Palestina. Pada masa Perang Dingin, China mendukung berbagai gerakan pembebasan nasional di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, termasuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Mao Zedong secara tegas menyebut perjuangan Palestina sebagai bagian dari gerakan anti-imperialisme global.
Pada tahun 2000-an, China secara konsisten mendukung solusi dua negara berdasarkan garis perbatasan 1967, dan menolak pembangunan permukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan. China juga sering menggunakan posisinya di Dewan Keamanan PBB untuk menyeimbangkan tekanan terhadap Palestina.
Tahun 2021, saat Agresi Gaza pada Mei 2021, China kembali mengecam keras serangan udara Israel di Gaza dan mendesak gencatan senjata. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, menyatakan bahwa “keadilan tidak boleh absen” dalam penyelesaian konflik ini. China juga menyerukan diadakannya konferensi internasional untuk menyelesaikan isu Palestina.
Beberapa tahun terakhir ini 2023-2025, China lagi-lagi menyerukan penghentian kekerasan dan menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Palestina di tengah eskalasi baru dan serangan brutal Israel terhadap Gaza.
Data-data geopolitik tersebut secara terang telah menunjukkan bahwa China sedari dulu memegang posisi yang konsisten dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina, menolak penjajahan, serta menentang imperialisme global.
Namun, kenyataan ini seolah tidak mendapatkan tempat dalam kesadaran masyarakat kita. Fakta ini seolah tenggelam, dibungkam oleh narasi dominan yang dibangun oleh kepentingan politik dan kekuatan media.
Kenyataan ini mengingatkan penulis pada pernyataan Dahlan Iskan: “Fakta tidak lagi menjadi bagian dari kebenaran. Kebenaran baru dibentuk oleh persepsi, bukan oleh kenyataan.” Dalam lanskap politik dan media hari ini, apa yang dianggap benar sering kali tidak didasarkan pada fakta objektif, melainkan hasil framing, narasi, dan aksi dari para buzzer.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana kebenaran telah bergeser dari yang sebelumnya bersandar pada realitas objektif, kini menjadi konstruksi yang dibangun oleh opini dominan.
Dalam arus informasi yang dikendalikan oleh kekuatan politik dan ekonomi, persepsi lebih mudah dibentuk daripada pemahaman yang jernih. Akibatnya, ruang-ruang yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencarian kebenaran—seperti lembaga pendidikan dan diskursus akademik—ikut tergerus oleh arus persepsi yang dibentuk secara sistematis.
Akibatnya, fakultas-fakultas yang seharusnya menjadi tempat penyemaian kebenaran dan pencerahan—seperti Fakultas Dakwah—secara sinis disebut menjadi “Fakultas Persepsi.”
Label semacam ini mengindikasikan bahwa dominasi persepsi telah menggeser peran fakta sebagai penentu kebenaran. Akhirnya, kita hidup tidak lagi dalam dunia yang ditopang oleh fakta, melainkan dalam dunia yang ditopang oleh persepsi. Siapa yang paling kuat membentuk persepsi, dialah pemegang kebenaran.
Sebagai penutup, dari paparan tersebut, sudah saatnya kita merenung dan bertanya pada diri sendiri: apakah dukungan kita terhadap Palestina sungguh murni, atau sekadar bagian dari retorika emosional yang jauh dari pemahaman geopolitik? Apakah kita bersikap adil dalam menilai siapa kawan dan siapa lawan bagi perjuangan kemerdekaan Palestina?
Penulis: Muhammad Amin, S.H/Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Ilustrasi: Protest for Palestinian Rights Outside Mosque/Pexels
Namun, di saat yang sama, sebagian kita justru terang-terangan mengagumi negara seperti Amerika Serikat yang secara nyata mendukung pendudukan Israel atas Palestina. Aneh, kita menitikkan air mata untuk Palestina, tapi menyanjung penopang penjajahnya. Ironisnya, negara seperti China—yang justru konsisten mendukung Palestina dan menolak imperialisme global—sering kali dicurigai bahkan dibenci.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini memuji sikap China dalam membela Palestina. Dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri China, Li Qiang, pada 24 Mei 2025, Prabowo menyatakan bahwa China selalu menunjukkan konsistensi dalam membela negara-negara berkembang dan korban penjajahan. Ini sebuah pengakuan yang jarang terdengar dalam diplomasi Indonesia selama beberapa dekade terakhir.
Dukungan China terhadap Palestina bukanlah hal baru. Kebijakan luar negeri ini telah konsisten sejak era Mao Zedong.
China sejak tahun 1950-1970-an telah menjadi salah satu negara yang secara terbuka mendukung perjuangan pembebasan Palestina. Pada masa Perang Dingin, China mendukung berbagai gerakan pembebasan nasional di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, termasuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Mao Zedong secara tegas menyebut perjuangan Palestina sebagai bagian dari gerakan anti-imperialisme global.
Pada tahun 2000-an, China secara konsisten mendukung solusi dua negara berdasarkan garis perbatasan 1967, dan menolak pembangunan permukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan. China juga sering menggunakan posisinya di Dewan Keamanan PBB untuk menyeimbangkan tekanan terhadap Palestina.
Tahun 2021, saat Agresi Gaza pada Mei 2021, China kembali mengecam keras serangan udara Israel di Gaza dan mendesak gencatan senjata. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, menyatakan bahwa “keadilan tidak boleh absen” dalam penyelesaian konflik ini. China juga menyerukan diadakannya konferensi internasional untuk menyelesaikan isu Palestina.
Beberapa tahun terakhir ini 2023-2025, China lagi-lagi menyerukan penghentian kekerasan dan menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Palestina di tengah eskalasi baru dan serangan brutal Israel terhadap Gaza.
Data-data geopolitik tersebut secara terang telah menunjukkan bahwa China sedari dulu memegang posisi yang konsisten dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina, menolak penjajahan, serta menentang imperialisme global.
Namun, kenyataan ini seolah tidak mendapatkan tempat dalam kesadaran masyarakat kita. Fakta ini seolah tenggelam, dibungkam oleh narasi dominan yang dibangun oleh kepentingan politik dan kekuatan media.
Kenyataan ini mengingatkan penulis pada pernyataan Dahlan Iskan: “Fakta tidak lagi menjadi bagian dari kebenaran. Kebenaran baru dibentuk oleh persepsi, bukan oleh kenyataan.” Dalam lanskap politik dan media hari ini, apa yang dianggap benar sering kali tidak didasarkan pada fakta objektif, melainkan hasil framing, narasi, dan aksi dari para buzzer.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana kebenaran telah bergeser dari yang sebelumnya bersandar pada realitas objektif, kini menjadi konstruksi yang dibangun oleh opini dominan.
Dalam arus informasi yang dikendalikan oleh kekuatan politik dan ekonomi, persepsi lebih mudah dibentuk daripada pemahaman yang jernih. Akibatnya, ruang-ruang yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencarian kebenaran—seperti lembaga pendidikan dan diskursus akademik—ikut tergerus oleh arus persepsi yang dibentuk secara sistematis.
Akibatnya, fakultas-fakultas yang seharusnya menjadi tempat penyemaian kebenaran dan pencerahan—seperti Fakultas Dakwah—secara sinis disebut menjadi “Fakultas Persepsi.”
Label semacam ini mengindikasikan bahwa dominasi persepsi telah menggeser peran fakta sebagai penentu kebenaran. Akhirnya, kita hidup tidak lagi dalam dunia yang ditopang oleh fakta, melainkan dalam dunia yang ditopang oleh persepsi. Siapa yang paling kuat membentuk persepsi, dialah pemegang kebenaran.
Sebagai penutup, dari paparan tersebut, sudah saatnya kita merenung dan bertanya pada diri sendiri: apakah dukungan kita terhadap Palestina sungguh murni, atau sekadar bagian dari retorika emosional yang jauh dari pemahaman geopolitik? Apakah kita bersikap adil dalam menilai siapa kawan dan siapa lawan bagi perjuangan kemerdekaan Palestina?
Penulis: Muhammad Amin, S.H/Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Ilustrasi: Protest for Palestinian Rights Outside Mosque/Pexels