Dampak Mental Glorifikasi Ideologis terhadap Nalar Kritis Umat Islam
INTIinspira - Saya menangkap “aroma” ketakutan dan kecurigaan atas penalaran-penalaran kritis filsafat ketika memasuki ruang kuliah para pelajar muslim tradisional.
Ketika membahas buah pikir filsuf atau pemikir di luar tradisi Islam, para pelajar cenderung “tidak sabar” untuk menampilkan kritik teologis dari teks Al-Qur’an.
Pemahaman teks Al-Qur’an dipahami secara literalistik sekaligus simplistik. Tuhan yang dimengerti oleh mereka adalah Tuhan yang diyakini begitu saja melalui informasi pihak lain, tanpa verifikasi pengalaman langsung.
Misalnya, ketika merespon dua kategori realitas (fenomena dan noumena) dalam pandangan Immanuel Kant, mereka langsung menangkap kesan, Kant bukanlah manusia beriman kepada Tuhan, sehingga tidak perlu didengar.
Padahal, melalui kategori tersebut, Kant bisa mengingatkan kita bahwa ilmu dan iman harus dibangun melalui pengalaman. Sebagaimana halnya validitas sains dibangun di atas pengalaman indrawi―berupa persepsi indrawi yang dikonstitusi akal murni, begitupun seluruh pengetahuan―termasuk iman, harus dibangun melalui pengalaman.
Dalam pandangan Kant, pengalaman iman tidak bisa diakses melalui pengalaman indrawi, namun seluruh pengetahuan itu dikatakan sebagai ilmu mana kala dapat diakses oleh pengalaman manusia.
Itulah mengapa, meski realitas pada dirinya sebagaimana adanya (noumena) tidak bisa diraih melalui akal murni, ada semacam “pintu belakang” yang disediakan oleh Kant bagi kemungkinan realitas metafisik dan Tuhan, yaitu refleksi penghayatan atas moral.
Kant menyebutnya akal praktis (practical reason). Di sini, Kant ingin mengajarkan kepada kita, bahwa realitas Tuhan haruslah hal yang dapat diakses oleh pengalaman manusia secara langsung, bukan taklid.
Meski ia tidak memberi rincian atas jalan mengakses realitas ketuhanan, namun Kant telah mengajarkan kriteria iman yang kokoh bagi kita. Ketika ini dijelaskan ke hadapan, sesuatu yang penting dari Kant ini tidak bernilai sama sekali bagi mereka. kewarasan akal telah tertutupi oleh apa yang saya sebut sebagai “mental glorifikasi”.
Mental Glorifikasi yang dimasud adalah memuliakan atau mengagungkan penafsiran tertentu hingga terkesan sempurna, tanpa cela, hingga berada di atas segala kritik.
Mental glorifikasi ini seringkali bermetamorfosis menjadi interpretasi ideologis atas Islam. Ideologi, dalam artian suatu kerangka berpikir yang kaku dan tertutup, yang cenderung memanipulasi ajaran agama untuk melayani tujuan-tujuan tertentu.
Ketika Islam dipahami sebagai sebuah ideologi, ia direduksi dari pengalaman kemanusian universal menjadi seperangkat prinsip rigid yang sempit dan subjektif. Inilah yang melahirkan perilaku apologetis.
Ajaran Islam yang sejatinya merespon kekayaan pengalaman manusia bersifat eksistensial dan universal, justru terdistorsi oleh lensa ideologis ini.
Wahyu yang seharusnya terbuka untuk diinterpretasikan secara mendalam, malah dibakukan dan disimplifikasi sedemikian rupa demi sesuai dengan narasi ideologis tertentu. Karenanya, antara glorifikasi Islam yang bersifat ideologis dan upaya menangkap esensi universal ajaran Islam adalah dua hal kontradiktif.
Fenomena ketakutan dan kecurigaan terhadap berfikir kritis dari para pelajar muslim tradisional di atas, merupakan representasi dari kesadaran mayoritas muslim di era kontemporer ini, bukan hanya di indonesia melainkan merata di seluruh dunia Islam.
Fenomena ini lahir dari keinginan luhur demi menjaga sakralitas agama, namun dilakukan dengan cara yang keliru. Mental glorifikasi ini justru berpotensi sebaliknya, yaitu menghambat upaya untuk menemukan kembali esensi Islam yang sakral itu sendiri.
Budaya dan konteks sejarah tertentu sebagai “bungkus temporer” harus dilepaskan dari esensi Islam universal yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, subjektivitas, kepentingan politik, ekonomi, dan teo-ideologis tertentu, juga harus dilepaskan dari pendakuan akan Islam.
Filsafat dan pemikiran kritis dapat membantu kita untuk melangsungkan proses ini, sehingga memungkinkan untuk tiba pada esensi Islam. Filsafat mengidentifikasi dan memisahkan mana Islam yang sakral itu dan mana subjektifitas profan atasnya. Itulah mengapa, filsafat dapat dinyatakan sebagai instrumen potensial dalam membantu proses menemukan kembali esensi Islam yang sakral. Namun, mental glorifikasi yang seringkali mewujud dalam interpretasi ideologis tertentu, justru menatap filsafat dan pemikiran kritis dengan mata curiga.
Ajaran Islam muncul dari pengalaman langsung yang bersifat dinamis. Ajaran Islam juga harus dimengerti sebagai perjalanan menempuh realitas pengalaman yang bersifat multi-dimensional, dengan langkah bersifat gradual. Upaya memetakan Islam ke dalam kerangka ideologis yang statis, akan menghambat moda mengalami kembali ajaran Islam.
Glorifikasi ideologis Islam ini menciptakan semacam tembok mental yang mencegah umat Islam untuk terlibat secara kritis dan reflektif demi menemukan kembali pengalaman kesejatian itu dalam realitas ke-kini-an dan ke-disini-annya. Mana kala ini terjadi, umat Islam terhambat dalam mengeksplorasi makna-makna yang lebih dalam, sekaligus gagal dalam beradaptasi dengan realitas yang terus berubah. Mental glorifikasi dogmatis berpotensi mencurigai keragaman pandangan, dan cenderung taklid pada status quo.
Dalam konteks muslim sebagaimana telah dinyatakan, mental glorifikasi ini berakar pada asumsi bahwa bentuk penafsiran atau praktik Islam tertentu, dalam seluruh aspeknya, adalah sempurna, tidak bercela, dan superior di atas segalanya.
Mentalitas ini seringkali mengarah pada penolakan terhadap kritik internal maupun eksternal, menutup pintu bagi penyelidikan rasional yang mendalam. Mentalitas ini juga mensimplifikasi serta mereduksi kompleksitas agama menjadi sekumpulan doktrin yang harus dipatuhi secara buta.
Ketika ajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipertanyakan, ruang untuk menalar agama secara waras menjadi tertutup. Kita juga tidak bisa mempertimbangkan sudut pandang eksternal sebagai bahan refleksi bagi keberagamaan kita.
Salah satu faktor penyebab terasingnya filsafat dan pemikiran kritis dalam alam pikiran umat Islam dewasa ini adalah konsekuensi langsung dari mental glorifikasi ini. Jika segala sesuatu dalam ajaran telah "sempurna" dan tidak perlu diuji melalui lensa rasional, maka upaya filosofis untuk memahami, menganalisis, dan bahkan mengkritisi asumsi dasar penafsiran tertentu menjadi tidak relevan.
Filsafat, yang secara inheren mendorong pertanyaan dan eksplorasi, dipandang sebagai ancaman terhadap sakralitas ajaran Islam. Akibatnya, Islam yang ada di dalam kesadaran umat kehilangan elan terpentingnya yaitu elan refleksi dan dialog. Refleksi bertujuan meninjau nasib personalnya sendiri, sementara dialog memperbarui pemahaman untuk beradaptasi di tengah situasi kontemporernya.
Dalam mengatasi mental glorifikasi ini, perlu menghidupkan kembali semangat penyelidikan dan keterbukaan intelektual―khususnya filsafat. Memperkenalkan kembali studi dan berfikir filosofis adalah langkah awal yang perlu diambil. Selaras dengan sahabat ‘Ali, al-Kindi pernah menyerukan "tetap terbuka terhadap ilmu pengetahuan tidak peduli dari mana asalnya", menjadi semakin relevan di era ini.
Langkah ini tidaklah dimaksudkan untuk mendekonstruksi dan mendesakralisasi ajaran Islam, melainkan justru untuk menguatkannya, merekonstruksinya lebih kokoh, melalui kritisisme dan refleksi filosofis.
Reflesi kritis filsafat ini berupaya membongkar cengkeraman ideologi sempit dan subjektif tersebut, dan kemudian membuka jalan bagi pemahaman yang lebih komprehensif, relevan, dan menyasar esensi dari ajaran Islam. Dengan langkah tersebut, secara intelektual dan moral, umat Islam mampu menghadapi tantangan zaman serta berkontribusi pada kemanusiaan global.
Penulis: Mulyani (Dosen Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Universitas PTIQ Jakarta)
Ilustrasi : Box with Brain inscription on head of anonymous woman/Pexels