Mereka Bertanya 'Untungnya Berapa?', Aku Menjawab 'Prosesnya Bagaimana?
INTIinspira - Dalam obrolan santai di warung kopi, aku sering kali mendapati orang-orang yang hanya berfokus pada hasil, sementara hanya sedikit yang mau menyoroti proses.
Contohnya begini, ketika aku menyampaikan sebuah ide—beternak ayam misalnya—respon yang paling sering kudapati adalah pertanyaan seputar berapa penghasilan yang bisa diperoleh. Bahkan ada yang langsung menyarankan untuk memelihara seribu ayam sekaligus, agar hasilnya secara prediksi tampak menjanjikan. Sangat sedikit dari mereka yang justru tertarik menggali persoalan-persoalan mendasar tentang proses, seperti bagaimana caranya memitigasi risiko kematian ayam, atau bagaimana membangun jejaring pasar agar saat panen tiba, ayam-ayam itu dapat terjual sesuai target.
Contoh lainnya, saat aku mengemukakan ide membuat taman baca atau rumah literasi untuk anak-anak, tanggapan yang muncul pun tak jauh berbeda. Sebagian besar merespons dengan nada pesimis: adakah yang masih mau membaca? Bukankah anak-anak sekarang sudah larut dalam HP dan tidak peduli lagi dengan buku? Hanya segelintir saja yang merespons dengan menggali potensi dari ide tersebut. Mereka bertanya lebih jauh: bagaimana membuat taman baca yang menarik perhatian anak-anak? Bagaimana menciptakan ruang yang membuat mereka merasa nyaman, senang, dan akhirnya tertarik untuk membaca?
Dari dua contoh kecil itu, tulisan ini ingin menyoroti kecenderungan penggunaan logika hasil dalam cara berpikir sebagian besar orang yang kutemui.
Logika hasil yang kumaksud di sini ialah kecenderungan untuk menilai suatu ide hanya dari potensi keberhasilan akhirnya, yang bisa dilihat atau dirasakan secara langsung. Logika ini dapat diperlawankan dengan logika proses—cara berpikir yang menilai sesuatu dari bagaimana ia dibangun, bagaimana prosesnya dijalani secara berkelanjutan, serta bagaimana kesabaran dan kesiapan menghadapi berbagai kemungkinan kegagalan, menjadi bagian penting dari perjuangan mewujudkan ide itu.
Merebaknya penggunaan logika hasil ini dapat ditelusuri dari beberapa sebab:
Pertama, adanya mentalitas cepat untung yang merupakan produk dari budaya instan. Budaya ini sudah lama mengakar: ingin cepat berhasil, ingin langsung tahu “untungnya berapa,” dan enggan menyentuh detail proses yang sebenarnya kompleks. Inilah yang tampak dalam tanggapan seperti, “langsung seribu ayam aja, biar untungnya besar.” Padahal kenyataannya, beternak ayam bukan sekadar menghitung hasil; ada risiko penyakit, cuaca, hingga pasar yang tak menentu—yang semua itu butuh strategi bertahap, bukan loncatan besar yang tergesa-gesa.
Kedua, minimnya tradisi berpikir kritis. Banyak orang tidak terbiasa bertanya “bagaimana?” dibanding “berapa?” Padahal, berpikir kritis bukan hanya soal tinggi tidaknya mengenyam pendidikan formal, melainkan soal kebiasaan berdiskusi secara mendalam, menghargai proses, dan memberi ruang bagi ide untuk tumbuh, meski hasilnya belum tampak jelas di depan mata.
Ketiga, adanya ketegangan antara cita-cita dan realita sosial. Ide-ide seperti taman baca sering kali terbentur oleh pandangan pesimis seperti, “anak-anak sudah tidak suka membaca.” Alih-alih melihat kemungkinan terjadinya perubahan, sebagian orang lebih mudah menerima keadaan yang ada dan cepat menyimpulkan kegagalan sebelum ide itu dijalankan. Mereka enggan membayangkan keberhasilan yang lahir dari kreativitas dan partisipasi.
Berangkat dari masalah ini, logika proses bisa menjadi tawaran cara berpikir yang lebih objektif dan mendalam. Logika ini tidak sebatas berfungsi untuk menggali sebab, tapi juga menyusun strategi dan merancang usaha berkesinambungan. Logika ini dapat mendidik orang untuk tidak sekadar berharap hasil akhir, tapi juga siap menjalani kompleksitas proses. Orang-orang yang bertanya: “Bagaimana mitigasi risiko kematian ayam?” atau “Bagaimana membuat taman baca yang menarik?” adalah mereka yang menghidupkan harapan dengan logika yang bertanggung jawab.
Namun, jika logika proses ingin ditawarkan sebagai alternatif, maka pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana cara membangun logika ini? Dan bagi mereka yang sudah terlanjur berpikir dengan logika yang berorientasi hasil, adakah jalan agar mereka dapat menyadari pentingnya proses?
Pertama sekali, logika proses dibangun dari kesadaran bahwa segala hal butuh waktu. Tidak ada keberhasilan yang datang seketika atau bim salabim. Di balik berbagai cerita sukses, sering tersembunyi cerita jatuh bangun, kerja diam-diam, serta konsistensi yang kadang tidak dianggap penting oleh orang luar. Kita perlu membiasakan diri, dan orang-orang di sekitar kita, untuk melihat sisi-sisi itu. Kita perlu lebih sering berbagi cerita tentang proses, bukan sekadar hasil. Karena dari proseslah kita belajar memahami, menyesuaikan, dan bertahan.
Kedua, membangun logika proses juga berarti melatih diri untuk bertanya dengan cara yang berbeda. Alih-alih bertanya “berapa untungnya?”, cobalah bertanya “bagaimana caranya agar ini bisa berjalan berkelanjutan?” atau “apa saja tantangan yang akan dihadapi, dan bagaimana mengantisipasinya?” Pertanyaan semacam ini akan mendorong kita berpikir lebih dalam, lebih realistis, dan sekaligus lebih bertanggung jawab terhadap ide yang ingin kita wujudkan.
Ketiga, kita juga perlu mengubah cara kita memandang keberhasilan. Selama keberhasilan hanya dinilai dari capaian akhir, maka proses akan selalu tampak sebagai gangguan yang memperlambat, bahkan membosankan. Padahal, keberhasilan bisa juga berarti munculnya pengalaman, terbentuknya jejaring, atau bahkan keberanian untuk bangkit kembali setelah gagal. Semua itu adalah bentuk keberhasilan yang tidak bisa diukur dengan angka, tapi pengalaman yang sangat berharga dalam perjalanan hidup setiap orang.
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang sudah terbiasa berpikir dengan logika hasil? Apakah mereka bisa diajak bergeser?
Menurutku bisa. Tapi bukan dengan menyalahkan mereka, melainkan dengan mengajak mereka berdialog melalui contoh-contoh yang dekat. Saat seseorang berkata, “kenapa tidak langsung seribu ayam?”, kita bisa balik bertanya, “kalau seribu ayam itu mati karena kita belum siap, siapa yang menanggung rugi?” atau “apa tidak lebih baik mencoba sedikit dulu, supaya kita bisa belajar dari prosesnya?” Begitu pula saat ide taman baca ditanggapi dengan pesimisme, mungkin kita bisa menyodorkan pertanyaan, “memangnya anak-anak tidak bisa berubah? Bagaimana kalau kita coba dulu pendekatan yang berbeda?”
Selain itu, kita juga bisa mendorong orang untuk mencoba hal-hal kecil terlebih dahulu. Dari pengalaman sederhana itu, mereka sedikit demi sedikit akan menyadari bahwa proses tidak semudah menghayal. Bahwa justru dalam proseslah, segala hal diuji dan dimatangkan.
Dan satu hal yang tak kalah penting: kita perlu mengajak dengan bahasa harapan, bukan dengan nada mencemooh. Banyak orang yang terjebak dalam logika hasil karena kecewa, takut gagal, atau tidak pernah diberi ruang untuk mencoba. Maka, pendekatan yang perlu kita lakukan adalah pendekatan yang merangkul kebersamaan. Misalnya, “aku paham kamu ingin hasil yang besar, tapi kalau kita pikirkan prosesnya baik-baik, hasilnya akan lebih tahan lama. Mau kita rancang sama-sama prosesnya?”
Sebagai penutup, aku percaya bahwa gagasan, seberapa pun sederhananya, butuh ruang untuk tumbuh dan berkembang—bukan hanya dinilai dari prediksi hasil akhirnya, tapi dari kesungguhan dalam usahanya. Proses itu pembelajaran yang membentuk pengalaman. Dari situ, perubahan sedikit demi sedikit akan terlaksana.[]
Penulis: Arizul Suwar
Gambar: Ilustrasi diskusi tentang pentingnya proses di warung kopi/dibuat dengan Chat GPT